Senin, 27 Juni 2016

Pergi dan Pulang dengan Kejemuan

Untuk pergi ke benua Amerika, aku seperti juga para pelancong lainnya harus terlebih dahulu menuju ke negara-negara yang berada di kawasan utara, seperti Hongkong, Jepang, Taiwan, ataupun Korea (selatan). Maklum, tidak ada penerbangan langsung dari Jakarta menuju benua Amerika. Harus singgah di salah satu negara diatas. Kepergianku ke Amerika ini merupakan perjalanan pertama dengan pesawat yang akan memakan waktu tempuh yang lama. Selama ini paling lama aku berada dalam burung besi sekitar 2-3 jam. Belum pernah lebih dari itu.

Sebelum berangkat mengikuti program #IVLP d Amerika Serikat, pihak kedutaan Amerika Serikat di Jakarta mengundang aku untuk mengikuti briefing atau semacam technical meeting menjelang keberangkatanku ke negeri Paman Sam. Ya, ini adalah semacam pengenalan singkat tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama mengikuti program yang dibiayai dari pajak warga USA. Aku tiba Jum’at pagi (4 Maret 2016), di kantor sementara mereka di bilangan Budi Kemulyaan. Diterima dengan hangat oleh Bu Stephanie dan teamnya.

Setelah briefing selesai, bergegas aku menuju Condet, -setelah sebelumnya Jumatan di bilangan Otista- lantaran belum semua barang aku check dalam packing-an. Istriku di rumah sengaja mengambil cuti untuk mengantar kepergianku ke bandara. Rencananya kami akan berangkat dari Kemang, rumah ibuku. Setelah dirasa tak ada yang terlewat, kami meninggalkan Kemang menuju bandara pada pukul 15.30, persis setelah shalat ashar. Sengaja kami berangkat agak dini meski penerbanganku ke Tokyo pada pukul 21.25, khawatir jika tertinggal pesawat. Maklum ini adalah penerbangan pertamaku keluar negeri yang jauh. 

Penerbanganku menuju Amerika Serikat akan transit terlebih dahulu di Bandara Narita, Tokyo, Jepang.  Aku berangkat dengan menggunakan maskapai JAL. Direncanakan tiba keesokan paginya pada pukul 06.35 waktu setempat.  Penerbangan ini memakan waktu 7 jam lebih. Ya, waktu di Tokyo lebih cepat 2 jam ketimbang di Jakarta. Begitu mendarat, Para penumpang yang akan melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya akan melalui terminal transit. Dari sini aku menunggu penerbangan ke Dallas yang direncanakan akan terbang pada pukul 11.30 waktu setempat.

Sepanjang waktu menunggu penerbangan ke benua Amerika ini, kuhabiskan waktuku dengan menyusuri bandara Narita, yang seperti bandara lainnya diisi oleh aneka butik dan toko-toko pakaian, mainan, gadget, dan tentu warung makan. Seperti kebiasannku, sarapan adalah hal wajib. Aku sempat sarapan pagi di salah satu food court, membeli makanan sejenis lontong dengan campuran ikan tuna. Aneh rasanya. Meski demikian, kupaksakan masuk dengan menelan air sebagai pendorong agar sampai di kerongkongan.  Setelah bosan melihat sudut-sudut bandara, aku memutuskan untuk ke ruang tunggu tempat pesawat American Airlines terparkir.

Pesawat yang kutumpangi ini jenis pesawat berbada lebar, dengan komposisi tempat duduk kelas bisnis dan ekonomi dengan formasi seat 3 - 5 – 3 yakni masing-masing 3 seat dipinggir selasar dan 5 seat di lorong atau row tengah. Jenis Boeing, type 777. Aku duduk dibarisan tengah, jauh dari jendela. Meski demikian, sesekali aku bisa melihat angkasa luas dari balik jendela bila kebetulan ada penumpang yang membuka penutup jendela jauh disampingku.

Saat berangkat dari Narita Tokyo menuju Dallas USA (DFW). Rute yang dilalui adalah membelah Samudera Pasifik. Ya hampir 90 persen penerbangan itu berada diatas samudera nan luas. Perjalanan pergi ini memakan waktu 11 jam 40 menit. Hampir setengah hari penuh. Waktu yang sangat lama itu kuhabiskan dengan bengong, nonton film di layar kecil yang ada tepat di depan kursi duduk, denger music, bengong lagi, lalu mencoba tidur atau lebih tepatnya memejamkan mata, tidur sekejap, ngiler, bangun, bengong lagi. Begitu seterusnya. Bosan? Tentu saja. Ditambah lagi makanan yang di sajikan di dalam pesawat tak ada satupun yang menggugah selera. Semuanya hambar. Dilalahnya, kepalaku pun terasa pening dan sakit. Mungkin lantaran terbang di ketinggian atau bisa jadi kurang istirahat. Maklum, semalam saat terbang dari Jakarta ke Tokyo aku sulit tidur. Jadilah penerbangan 11 jam-an ini sangat menyiksa.

Hatta, sampai juga pagi di Amerika. Jam menunjukkan pukul 08.10 waktu Dallas. Pesawat mendarat dengan mulus di bandara yang sangat luas. Ya, sepertinya bandara ini berada di padang gurun yang luas lantaran tidak ada bangunan menjulang tinggi sebagai penanda ada kota deket-dekat situ. Yang tampak dimata hanya tanah lapang dengan langit yang biru bersih, persis seperti di Amerika, hehe.. Finally, sampai juga di Amerika.

Sedikit aku ingin bercerita tentang bandara Dallas Fort Wort atau DFW. Bandara ini adalah gerbangnya Amerika yang akan menghubungan para pelaju menju kota-kota lainnya di Amerika. Ia semacam bandara hub. Dari sini kita bisa terbang ke utara amerika, ke selatan, terus ke timur bahkan ke Negara tetangga USA lainnya. Ada 5 terminal, A sampai E. Untuk menuju terminal satu dengan yang lainnya, kita harus naik trem atau semacam kereta layang yang mengitari bandara. Bentuk bandaranya sendiri seperti daun atau jembatan semanggi, di Jakarta. Namun daun semanggi ini banyak jumlahnya. Bisa di lihat di

Itulah perjalanan atau keberangkatanku ke Amerika. Nah, lalu bagaiman adengan perjalanan atau kepulanganku dari Amerika? Berbeda tentunya, meski sama-sama dating dan pulang dari bandara Dalllas. Ini sedikit paragraf rute kepulanganku ke Jakarta.

Rute pulang dan pergi ku ke USA mengalami perbedaan yang cukup signifikan. Bila saat pergi hanya menempuh perjalanan terbang selama sekitar 11 jam 40 menit, nah ketika pulang ke Jakarta Via Hongkong, kami menempuh jarak 13.053 Km, dengan waktu terbang selama 16 jam 35 menit! Kok bisa lama? Inilah yang menggelitik keingintahuannku.

Yang namanya pulang, tentu sesuatu yang diidam-idamkan. Ingin cepat bertemu dengan keluarga di rumah. Kalau bisa, penerbangannya tak lama. Namun dari tiket yang kuperoleh, untuk kepulanganku ke Jakarta akan memakan waku tempuh selama 16 jam lebih, non stop!!

Jujur saja aku tidak nyaman dengan jadwal kepulanganku ini. Aku tidak puas dengan itinerary yang dibuat. Namun, mau bagaimana lagi. Dalam programku, kota terakhir yang kusambangi adalah Salt Lake City, Utah. Dari kota ini biasanya penerbangan keluar Amerika yang akan menuju kawasan Asia, akan melalui bandara di negara bagian California, di barat benua Amerika. Nah, lantaran menggunakan maskapai American Airlines, -untuk ke Jakarta- kami harus terlebih dulu kembali ke Dallas yang berada di tenggara Salt Lake City. Agar jelasnya, mungkin bisa aku gambarkan sebagai berikut; Bila kita hendak ke kawasan Timur Tengah atau Eropa dari Indonesia; Jika posisi kita saat itu ada di Palembang, maka tentu lebih dekat langsung ke Batam atau Singapura. Nah, kami dipaksa terbang dulu dari Palembang ke Jakarta untuk kemudian balik lagi ke arah barat, yang berarti akan terbang atau melintasi kembali wilayah Palembang atau Sumatera Selatan! Jika dilihat di peta, tentu akan lebih ekonomis bila dari SLC kami terbang ke San Francisco ataupun kota-kota di California untuk kemudian lompat ke barat, ke arah Jepang atau Pasifik.

Dan ternyata, sialnya pesawat tidak lurus terbang melawati Samudera Pasifik melainkan ke utara melalui Vancouver, Canada, Kutub Utara, Rusia, Korea, Cina dan berakhir di Hongkong. Total waktu tempuh yang digunakan 16 jam 35 menit, nonstop. Jadilah aku rugi 5 jam di udara, grrr grr..!!

Pesawat terbang dari DFW, Sabtu 26 Maret 2016 tepat pukul 12.25, siang hari. Saat mengudara, ada terbersit kekhawatiran bila tiba-tiba saja mesin pesawat mati. Ya, mungkin agak naïf dan konyol, aku sendiri tak tahu mengenai permesinan, tapi dengan 16 jam nonstop mesin dalam kondisi ON dan terus berfungsi, pikiran sederhanaku terbersit. “lha apa gak capek mesin bekerja hamper seharian penuh!” Batinku.

Sama seperti waktu berangkat, pulang pun tak banyak aktivitas yang kulakukan. Hanya duduk tenang, nonton, denger music, tidur, bengong, begitu seterusnya selama 16 jam lebih. Nyaris sepanjang perjalanan aku tidak menjumpa malam. Yang tampak dari balik jendela hanya warna terang, dengan daratan berselimut putih salju. Beruntung aku tak mengalami pusing dan sakit kepala seperti ketika waktu berangkat.

Akhirnya menjelang batas akhir senja, tepat pukul 18.00 waktu Hongkong, American Airlines mendarat dengan mulus. Lega rasanya. Masih tampak jelas kulihat suasana kota Hongkong dengan bangunan-bangunan tinggi menjulang dan posisi bandaranya yang terletak tepat di pinggir laut.

Bergegas kami berlari lantaran hanya tersisa waktu satu jam untuk pindah dan ganti pesawat yang akan membawa kami ke Jakarta. Kami terbang pukul 19.05, dengan Cathay Pacipic, dan direncanakan kami tiba di Jakarta tengah malam pada pukul 22.50. Di Jakarta, Razi dan Ranza telah menunggu. Pelukan dan sapaaan hangat mereka meluluhkan kepenatanku setelah seharian penuh terbang melintasi benua dan samudera. Welcome Jakarta!


Rabu, 15 Juni 2016

Pergilah Keluar, di Jamin Anda Tak Nyasar!

Sering kita merasa kebingungan bila baru datang di suatu tempat. Ingin pergi dan lihat-lihat suasana sekitar kota, namun tak tahu harus kemana. Tak ada petunjuk atau clue yang bisa jadi pegangan. Mau keluar atau pergi pun ada perasaan takut. Takut nyasar tepatnya. Mengingat saat check in dan tinggal di hotel, tak semua hotel menyajikan peta dan denah suatu kota, sebagai pegangan kita untuk melangkah. Akhirnya satu-satunya cara ya harus membuka applikasi google map, dan itu tidak lah seringkas bila ada peta saku yang tersedia.

Untuk menjelajahi suatu kota, adakalanya kita perlu adaptasi yang lama untuk mengenali dan menghapal nama-nama jalan di kota itu, dan itu tidaklah mudah. Maklum, nama-nama jalan di kota-kota di Indonesia sangat banyak dan beragam. Ada yang diberi nama tumbuhan, gunung, pulau, hewan, kota, bahkan bisa juga sebuah hurup. Dan anehnya, nama itu pun kadang tidak teratur. Misalkan saja sering kita jumpai untuk mengklasifikasikan jalan di satu kawasan, penamaannya dengan nama-nama bunga, (cendana, anyelir, kamboja, dsb), namun ajaibnya kadang terselip nama orang (pahlawan), gunung, bahkan binatang pada kawasan yang sama. Tidak ajek dan teratur.

Kelemahan atau kekurang cerdasan kita dalam penataan suatu kawasan atau jalan adalah ketidakdisiplinan kita dalam menerapkan aturan yang baku. Ya, contohnya seperti penamaan jalan atau kawasan itu. Ada yang berurutan atau dengan langgam yang sama, seperti nama-nama tumbuhan dan semacamnya, namun entah mengapa -ujug-ujug- bisa dijumpai penamaan itu keluar dari pakemnya.

Memang demikianlah adanya. Penamaan jalan-jalan di kota-kota di Indonesia tidak diatur berdasarkan hurup seperti A, B, C, dst, ataupun berupa angka seperti jalan 1, jalan 2, 3 dst yang merujuk kepada petunjuk dari satu blok berpindah ke blok sebelah atau blok lainnya, namun berupa nama-nama tertentu. Inilah yang membuat kita harus ektra hati-hati dalam mempelajari jalan dan lingkungan kota yang baru kita kunjungi, di Indonesia. Lalu, bagaimana dengan di negara maju? Adakah situasinya sama dengan di Indonesia? Tentu beda. Bagai langit dan sumur.

Saat aku berkesempatan di undang Department of State Amerika untuk menengok sisi-sisi kota mereka pada Maret 2016 silam, ketakjubanku, -seperti juga takjubnya orang kampung atau ndeso yang baru tiba dan pertama kali sampai di kota- adalah kesan “wah.” Dan semua yang terlihat adalah; Teratur, bersih, dan tertib.

Untuk jalan raya misalnya, tak akan dijumpai jalan yang tak lurus atau bengkok. Tiap persimpangan jalan, bisa menjadi enam bahkan hingga delapan simpang, seperti arah mata angin. Meski simpangannya banyak, namun pengaturan lalu lintas dapat dibuat teratur dan tertib. Tak ada antrian kendaraan di tiap persimpangan lampu merah, meskipun simpangannya lebih dari empat, seperti kebanyakan simpangan rata-rata di Indonesia.

Selain itu, ciri khas dari keteraturan tersebut adalah bentuk kotanya laksana ukuran kotak persegi. Kotak-kotak bergaris lurus. Jalan dan blok tertata jelas. Bisa dipastikan, kita tak akan kesasar bila berjalan seorang diri di rimbunan bangunan menjulang di DC ataupun Philadelphia, misalnya. Tak ada kawasan libirin yang membingungkan.

Oh ya, ini istimewanya, penamaan jalan di Amerika sangat berbeda dengan di tanah air. Penamaan jalan ditata dengan tertib. Jalan di belah menjadi blok dan sector. Lazimnya penanda jalan itu dimulai dari hurup atau angka yang berurutan. Misalkan saja namanya: Jalan 1SW, artinya jalan 1 dalam sektor South West. Maka tentu di blok berikutnya jalan 2SW, begitu seterusnya. Blok pun demikian. Bila di depan kita Blok A, tentu setelahnya Blok B, C, D berurutan dalam jejeran blok yang memancang.

Untuk peletakan plang jalan pun ada pakemnya. Di tiap persimpangan selalu terpampang nama jalan dengan posisinya yang menggantung di tengah-tengah jalan, atau bisa juga diletakkan disamping rambu lalu lintas. Dan ini sudah semacam SOP hingga kita tak akan kesasar bila menemukan persimpangan.

Disamping itu kenyamanan kota juga tergambar dari keteraturan bangunan yang ada di dalamnya. Di Washington DC misalnya, semua gedung bertingkat seragam tingginya, tidak ada yang boleh melebihi dari Washington Monument (WM), sebagai landmark kota. Semua bangunan seakan tunduk dan taat pada pimpinannya, yakni MW. Monas pun sebenarnya dicita-citakan seperti itu dimasanya. Oleh Bung Karno sebagai inisiator pembangunannya,  tidak beleh ada bangunan yang melebihi ketinggian Monas. Namun sayang, seiring perjalanan waktu, aturan dan konsep itu dilanggar.


Menurutku, keteraturan tata kota di Amerika lantaran kota itu direncanakan dan dibangun terlebih dahulu untuk kemudian ditempati. Beda dengan di Indonesia yang kesemuanya ditempati dulu baru kemudian di adjust atau disesuaikan dengan sesuatu yang telah ada. Bila kebetulan disitu telah ada lebih dulu pemukiman, maka jalan raya pun bisa dibelokkan, digeser menyamping. Akibatnya bentuknya tidak presisi atau lurus namun bengkok. Pertokoan dan perkantoran pun akan digeser letaknya lantaran sebelumnya telah ada sesuatu yang sulit digeser. Jadilah tata aturan kota yang diatas kertas bagus namun dalam tataran aplikasinya menjadi menyimpang dan tentu saja semrawut. Begitulah adanya. Mungkin inilah yang membedakan antara mereka dan kita. Dan, justru inilah keunikan kita dibandingkan mereka.

Minggu, 12 Juni 2016

Ban Depan Lurus Atau Miring, Siapa Peduli?

Seiring perkembangan kota yang melaju pesat, komplek atau kawasan pemukiman padat di pinggir dan bahkan di pusat kota banyak kita jumpai. Jakarta misalnya, akan banyak ditemui kawasan pemukiman padat dengan akses jalan masuk yang hanya dapat dilalui oleh kendaraan roda dua dan bahkan hanya bisa di lalui dengan bersenggolan badan, atau kerap di sebut gang senggol.

Kepadatan pemukiman akibat keterbatasan lahan yang ada tentu menimbulkan masalah yang cukup pelik bagi para perancang tata kota. Salah satu yang kerap muncul di pemukiman padat adalah minimnya lahan parkir kendaraan roda empat bahkan roda 2 sekalipun. Kesemrawutan ini bertambah ruwet manakala jalan yang sudah sempit, lalu digunakan untuk berdagang atau kadang jalan itu di tutup untuk nyunatin atau ngawinin warga sekitar. Dan ini menjadi pemandangan yang kerap kita lihat bila memasuki kawasan padat penduduk.

Untuk menyiasati keterbatasan lahan parkir, Ada saja akal para pemilik kendaraan roda empat atau mobil. Biasanya para penghuni yang tinggal di pemukiman padat penduduk memarkir kendaraannya di jalan-jalan sekitar tempat tinggalnya. Jadilah jalan-jalan masuk ke pemukiman padat itu penuh dengan parkiran mobil dan hanya menyisakan satu jalur mobil saja untuk lewat, dan itupun mesti hati-hati lantaran disebelahnya persis ada got. Kalau sampai terperosok, bakalan kelar urusan.
  
Bicara masalah parkir mobil, baik di Washington DC dan Philadelphia, Amerika Serikat pun memiliki masalah yang sama dengan di Jakarta. Meski pemukiman atau kawasan perumahan di kota-kota di Amerika Serikat ini sangat tertata dengan baik, dengan garis sepadan antar bangunan dan jalan raya dibuat lurus laksana bujur sangkar. Namun, -sama dengan di Jakarta- karena keterbatasan lahan, banyak kendaraan warga yang terparkir di pinggir jalan lantaran mereka tidak mempunyai garasi untuk memarkir mobilnya. Cuma bedanya, di Amerika space atau jarak antara jalan raya dengan mobil yang terparkir pinggir jalan cukup lebar, hingga kapasitas 5 (lima) lajur mobil.

Nah, aku ingin bercerita tentang budaya dan kebiasaan memarkir mobil di pinggir jalan (on the street) di kedua kota tersebut, saat aku berkunjung ke sana Maret 2016 silam. Tiap harinya, entah itu ketika jogging pagi atau saat berjalan di keremangan senja ‘tuk nyari warung makan di sekitaran Dupont Circle, Washington DC, ada yang membuat pandangan mata ini sedikit ‘tak nyaman’. Ada yang kurang sreg dalam amatan mata saat melihat deretan mobil yang terparkir di sisi trotoar tempat ku berjalan. Saat ngukur jalan, sering aku melihat posisi mobil yang terparkir di pinggir jalan tidak dalam posisi yang sebenarnya. Ya, posisi yang kulihat itu sepertinya tak pas dengan dengan pakem yang yang kuanut dalam memarkir mobil.

Di kampungku, di Jakarta, jika kita parkir di pinggir jalan, tentu ban depan mobil akan lurus, dan posisi rem tangan pun tidak terkunci. Gunanya agar memudahkan petugas parkir atau pengguna kendaraan lain yang hendak parkir di depan atau belakangnya, dapat mendorong mobil tersebut, agar mudah untuk ikutan nyempil parkir. Di Amerika, justru sering kali kulihat mobil-mobil yang terparkir di pinggir jalan dengan posisi ban depan mobil bengkok alias tidak lurus. “Kok bisa ya, si supir markir mobilnya seperti itu?” batinku.

Menurutku, ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan hal tersebut bisa terjadi; Pertama, lantaran terburu-buru ada urusan sehingga si supir malas untuk membetulkan letak dan posisi kemudi dengan benar. Kedua, bisa jadi si pengemudi tidak mengetahui dengan baik cara memarkir kendaraan yang benar, mungkin karena baru belajar atau memang ada sebab lainnya; Ketiga, di Amerika memang tidak ada petugas parkir di pinggir jalan seperti yang banyak kita lihat di jalan-jalan di Jakarta, sehingga tidak ada petugas yang mengarahkan dan mengatur letak dan posisi memarkir mobil dengan benar.

Di Amerika, sepertinya parkir dengan ban depan lurus ataupun dengan ban depan miring, bukan merupakan sesuatu yang prinsipil yang bisa dinilai benar atau salah. Terserah enaknya saja. Toh memang tak ada larangan atau aturan yang mengatur attitude mereka dalam berparkir. Berbeda dengan Jakarta, yang selalu ada petugas  parkir yang mengarahkan dan memberitahukan supir untuk meluruskan ban depan. Tujuannya tentu agar bisa di dorong, di maju mundurkan supaya bisa keluar/masuk mobil lainnya yang juga mau parkir.

Padahal, kalau dipikir-pikir space dan biaya parkir di kota-kota besar di Amerika disamping sangat terbatas, juga mahal. Sering kulihat ada papan pemberitahuan yang berisi bila parkir sembarangan akan di towed atau di derek. Papan pemberitahuan ini biasanya di pampang di lokasi-lokasi yang ramai lalu lalang orang dan di sudut-sudut jalan. Menariknya, meski tanpa ada petugas parkir on the street namun jarang terjadi kekisruhan dan pertikaian antar sesama pengguna parkiran. Sudah sama-sama waras tampaknya, hehe..  


Senin, 06 Juni 2016

Berkenalan Dengan Sirene 911

Aku tiba Sabtu siang, 05 Maret 2016, sekitar jam 13.32 waktu setempat, setelah sebelumnya menempuh perjalanan sekitar dua jam dari Dallas Ft Worth Intl’ Airport, Texas. Pesawat American Airlines mendarat mulus di bandara Ronald Reagen, di pusat  kota. Ya, bandara ini memang tak jauh dari White House dan Washington Monument. Dari kedua tempat itu, bila kita berjalan-jalan menyusuri indahnya kota, akan jelas terlihat body pesawat saat akan landing.

Saat tiba, Mba Nunu, penghubung kami selama program #IVLP di USA telah hadir untuk menjemput kami. Namun sebelum kami keluar dari bandara, ada kekisruhan yang terjadi lantaran koper-koper kami belum tampak di tempat pengambilan barang berjalan, hingga koper terakhir habis. Kami segera menuju counter lost and found untuk mengadukan masalah tersebut. Beruntung selagi kawanku mengantri, tampak koper-koper kami, bermunculan dari conveyor berjalan. Aku lantas berseru, “koperne wis teko.” Lega rasanya.

Setelah koper didapatkan, kami lalu keluar menuju mobil jemputan yang sudah disiapkan oleh pihak penyelenggara. Begitu keluar areal bandara, hawa dingin langsung menyergap. Maklum, musim salju baru saja usai. Hembusan angin yang bertiup kencang terasa sangat dingin, mampu membuat badanku yang hanya berbalut longjohn dan jaket tipis menggigil, meskipun sinar mentari menyorot badanku. Kulihat di temperature board, udara di luar berada pada kisaran 5 derajat celcius.

Lantaran koper yang telat datangnya itu membuat kami harus tertahan di bandara hampir 1 jam, akibatnya kami tiba di hotel sekitar jam 15.00. Lelah? Tentu saja. Setelah check in dan mendapatkan brosur dan jadwal kegiatan selama di DC dari recepsionis, aku bergegas naik ke lantai 8. Ingin rasanya segera istirahat, tidur diempuknya kamar Hotel One Circle yang lokasinya berseberangan jalan dengan Universitas George Washington. Dan malam ini adalah malam pertamaku tinggal di hotel, di Washington DC, setelah menempuh penerbangan hampir 20 jam dari Jakarta.

Malam ini dan malam-malam selanjutnya selama berada di ibukota Amerika ini aku tak bisa tidur nyenyak lantaran masih berada dalam suasana jetleg. Mata ini sulit terpejam. Kalaupun tertidur, paling lama hanya 3 jam, untuk kemudian bangun lagi di tengah malam. Maklum, ritme dan metabolisme tubuh belum menyesuaikan. Saat ini di Jakarta tentu siang hari, kebalikan dari DC yang tengah malam dengan selisih 12 jam. Begitu seterusnya hingga malam ke 5.

Sialnya, kesusahanku dalam tidur juga ditambah oleh rauangan sirene yang hampir saban setengah jam memecah keheningan malam kota DC. Bunyi sirine itu sangat menganggu. Raungan sirene itu seolah menyambut malam pertamaku di Washington DC. Sirine dari 911 itu meraung silih berganti dengan deru satu dua kendaraan yang kudengar.

Bicara mengenai raungan sirine, aku ingin berbagi kisah. Selama di ibu kotanya Amerika ini aku kerap melihat mobil merah ini berseliweran di jalan-jalan kota. Dengan peralatan dan sarana penunjang yang lengkap di dalamnya, si merah ini begitu lincah berliak liuk di padatnya jalan. Mobil merah ini beragam bentuk dan jenisnya. Ada yang berbody panjang, yakni mobil pemadam kebakaran. Biasanya kulihat ada minimal dua iringan yang menyertai perjalanannya. Satu mobil berukuran lebih kecil, sebagai pembuka jalan, dan satu lagi ukuran besar dengan peralatan yang lebih lengkap. Namun seringpula kulihat hanya satu mobil saja yang jalan. Disamping itu, adapula mobil ambulance, yang ukurannya lebih ringkas.

Tadinya kupikir raungan sirene itu milik mobil brandweer, tanda kebakaran di suatu tempat, namun dugaanku salah. Sirene itu bukan penanda kebakaran namun itu adalah bunyi sirene untuk segala kedaruratan yang terjadi dalam masyarakat. Jadi, apapun segala keluhan dan kekisruhan yang terjadi dalam masyarakat akan merujuk ke 911. Di Amerika Serikat, nomor ini adalah nomor pangglilan darurat untuk minta tolong.

Saking saktinya ini nomor, konon, pernah ada seorang nenek yang kehilangan anjing kesayangannya langsung menelpon 911 untuk meminta bantuan petugas mencari anjingnya yang hilang. Pun demikian bila kebetulan di rumah atau flat seseorang ada sesuatu yang mencurigakan, mereka dengan cepat menelpon 911, dan dengan responsif pula petugas 911 menjawab panggilan mereka.

Beruntung malam-malam berikutnya raungan sirine tak sesering yang kutemui seperti Sabtu malam itu. Mungkin saja suasana sudah aman terkendali. Atau -menurut dugaanku- karena malam minggu, dimana keesokan harinya adalah hari libur membuat banyak orang ngadain pesta dan melek semalaman. Akibatnya, mungkin ada yang mabok lalu jatuh ke got, dan butuh pertolongan dari 911, hehe..

Nah, saat pindah ke kota lainnya di Amerika Serikat, raungan sirene yang memekakkan telinga itu jarang kutemui, seperti di Helena maupun di Philadelphia dimana aku menghabiskan akhir pekanku di dua kota itu. Entah kenapa di DC seringkali terdengar raungan sirene. Baik itu pagi dinihari atau bahkan siang sekalipun. Bisa jadi lantaran DC adalah ibukota dimana semua warga dari berbagai kalangan ras dan etnis berkumpul. Dan karena berasal dari beragam latar belakang itu mungkin banyak kejadian yang harus melibatkan 911 untuk solusi pemecahannya.


Kredit photo;
http://dailycaller.com/2015/04/27/dc-fire-department-still-has-no-preventative-maintenance-program/

http://technical.ly/dc/2015/04/02/dc-fire-and-emergency-medical-services-fems-foia/

Rabu, 01 Juni 2016

Kesigapan Ladder 49

Seperti hari-hari kemarin, pagi itu, setelah bangun, kusingkap jendela kamar hotel, belum ada matahari terlihat, masih gelap. Dari jam kecil yang tertaruh di meja samping ranjang kulihat angka 5 am. Di Jakarta, waktu seperti ini tentu sudah masuk shubuh. Bergegas aku ke kamar mandi, wudhu dan subuh-an, yang, sekali lagi waktunya ku kira-kira.

Selesai sholat, seperti biasa kulepas colokan charger handphone yang sejak semalam penuh ter-charge. Saat ini tentu anak-anakku sedang bermain sore, lantaran beda waktu separuh hari antara tempat ku berpijak dengan di Jakarta. Sama dengan hari-hari yang lalu, aku rutin menelpon mereka menanyakan kabar hariannya. Setelah melepas rindu itu, kunyalakan TV dan melihat sekilas acaranya. Tak lama aku menatap tipi, bosan, atau mungkin juga aku memang tak begitu tertarik dengan tontonan TV selama berada di Philadelphia.

Biasanya, di Jakarta, pagi-pagi aku bersiap dan berkemas untuk aktivitas persiapan berangkat kantor, namun kebiasaan itu tak berlanjut selama aku mengikuti program #IVLP di USA. Senin pagi, 14 Maret 2016 cuaca di luar hotel kulihat sedikit mendung. Hujan rintik terbawa angin menyapu udara kota Philly. Dari ranjang tempatku berbaring, aku beringsut, kubuka kulkas, kuambil sisa makanan malam yang memang seperti biasa selalu tersisa lantaran makanan yang tersaji berporsi jumbo, dan itu tentunya tak sanggup tuk kuhabiskan. Sisa makanan malam tadi adalah roti cane khas india bercampur kari ikan salmon, dengan sedikit nasi berkuah yang kubeli di Reading Market, sore kemaren. Sangat enak, cocok dengan lidahku, apalagi bila disantap selagi hangat. Aku sangat eman ‘tuk menghabiskannya sekali santap. Sengaja kusisakan dengan membeli tambahan nasi seharga 3 dollar.

Beruntung, di tiap hotel yang kuinapi selama di USA selalu tersedia microwave. Benda ini sangat menolong sekali. Dengannya aku dapat berhemat, sehingga tak perlu membeli makan tiga kali sehari, namun cukup 2 kali saja, -siang dan malam- dengan sisa makan malam yang dapat dihangatkan keesokan paginya sebagai bekal sarapan, lantaran di hotel tak tersedia sarapan pagi.

Sebenarnya aku rada malas juga untuk menceritakan peristiwa memalukan ini, namun, nampaknya dari beragam peristiwa yang terjadi selama aku berada di Amerika, kejadian konyol inilah yang patut di catat dan sayang untuk di-delete dalam memory-ku yang sudah menurun daya ingatnya. Nah, gara-gara microwave inilah malapetaka bermula. Inilah awal ceritanya.

Kebiasaanku selama menggunakan mesin pemanas adalah, aku selalu menekan tombol bertuliskan Potato (kentang) sebagai ukuran durasi memanaskan sesuatu. Jadi, apapun jenis makanan yang kumasukkan dalam microwave, selalu aku pencet tombol potato. Di situ tertera bahwa untuk memasak potato diperlukan waktu 5 menit. Nah, aku tentu tak perlu menunggu hingga 5 menit untuk menghangatkan nasi atau makanan lainnya. Biasanya 2 hingga 3 menit saja makanan itu sudah hangat, dan langsung kutekan tombol stop. Namun entah mengapa, tampaknya keapesan pagi itu menimpaku. Seperti cerita di awal, aku ada sisa roti cane (berminyak). Roti ini sudah dingin, dan keras, perlu dihangatkan agar empuk. Seperti biasa, kumasukkan roti itu dengan kualasi tutup kotak makanan dari Tupperware. Kututup microwave itu, dan kutekan tombol bertuliskan potato. Beres, tinggal nunggu 2 hingga 3 menit saja untuk siap disantap.  

Selagi menunggu itu, aku sibuk dan asyik membaca dan membalas WA yang masuk. Banyak juga ternyata. Ditengah-tengah asyiknya ngobrol di WA, tiba-tiba saja muncul asap pekat dari balik microwave. Jarak dari kasur tempat ku ber-WA-an dengan microwafe yang berada di laci bawah televisi hanya sekitar 1,5 meter. Panik. Langsung aku melompat dan menekan tombol stop. Seketika mesin penghangat itu mati. Beres? Belum. Ternyata asap sangat banyak keluar menyembul dari sela-sela dalam microwave. Langsung kutekan open dan kubuka penutupnya, agar tidak berbahaya dan menimbulkan api. Sial, seketika keluar banyak asap langsung membumbung keatas, memenuhi kamarku. Lantaran kamar penuh dengan asap, saat asap sampai ke langit-langit hotel, maka terdeteksilah tanda kebakaran pada alat yang ada dilangit-langit kamarku. Bunyi alarm tanda bahaya pun meraung-raung. Ya, alarm itu memang sangat sensitive terhadap api dan asap.

Raungan alarm yang memekakkan telinga itu di timpali pula oleh suara mesin di koridor dan selasar hotel yang meminta para tamu untuk turun melalui tangga darurat dan tidak menggunakan lift. Kepanikan di lantai 11 Club Quarter Hotel pun seketika terjadi. Banyak rekan penghuni kamar sebelah, depan, kiri kanan yang langsung bergegas turun dengan tenang. Ada yang baru bangun tidur dengan piyama yang masih melekat dibadan, ada pula yang hanya memakai baju luar saja tanpa jas tanda belum siap untuk keluar hotel.

Jujur, saat itu aku stress berat. Bukan stess karena kebakaran, karena aku tahu kondisi kamarku, yang tidak ada api melainkan asap saja, dan situasinya pun dapat kukendalikan. Aku telah mematikan listrik dari benda sial itu. Stress lantaran, asap pekat yang hanya berputar-putar di kamarku tanpa sanggup keluar karena jendela kamar yang sulit terbuka. Walhasil, alarm masih meraung-raung dan bunyi tanda peringatan bahaya masih menggema, dan itu tentu menimbulkan kepanikan semua orang. Bagi yang tidak tahu tentu bertanya-tanya ada apa ini? Ada kebakaran (api) dikamar berapa?

Dalam situasi itu, yang bisa kuperbuat hanya pasrah menunggu di kamar. Menunggu hingga petugas datang ke kamarku. Kulihat semua penghuni kamar di lantai 11 telah turun kebawah, hanya aku dan beberapa petugas hotel yang tersisa, yang memantau kamarku sebagai sumber alarm yang berbunyi. Sejurus kemudian, kira-kira 10 hingga15 menitan dari mulai tanda alarm berbunyi, muncul lah beberapa petugas pemadam kebakaran, persis seperti di film Ladder 49. Selain beberapa petugas pemadam kebakaran, ada pula petugas hotel yang menemani mereka. Dengan sigap mereka mencari sumber asap dan tentu itu mengarah ke kamarku. Mereka pun memeriksanya.

Kutunjukkan pada mereka sumber asap yang diakibatkan oleh microwave. Saking merasa malu dan bersalahnya, Aku hanya bisa mengatakan “overcook” sembari menunjuk ke arah microwave  pada mereka. Tampaknya mereka maklum, dan sepertinya sudah sering menghadapi kasus kayak gini. Lalu mereka mencoba mengeluarkan asap dengan berusaha membuka jendela kamarku. Sial, sama sepertiku, mereka pun kesulitan membukanya. Untung ada cleaning service hotel, dan dengan arahannya, akhirnya jendela kamarku dapat dibuka, dan asap pun berangsur-angsur keluar. Seiring dengan keluarnya asap, tak lama kemudian bunyi alarm pun berhenti. Lega.

Setelah dirasa kondisi dapat ditangani, petugas pemadam keluar dari kamarku. Dengan wajah penuh rasa bersalah, aku berkata. “Sorry. It’s my fault. I overcook.” Mereka cukup simpatik, Sambil mengulurkan tangan salah seorang dari mereka berkata: “No problem, it’s ok.” Setelah itu, para tamu hotel yang berada di lantai 11 mulai berdatangan ke kamar masing-masing. Lift berfungsi. Kegaduhan sekitar setengah jam di pagi itu pun berangsur hilang. Aktivitas normal pun kembali hadir seolah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.

Setelah kondisi normal, aku mandi dan bergegas ke lobby hotel untuk menjalani agenda di hari senin. Di lift, selainku banyak tamu yang juga turun untuk beraktivitas. Dan, tampaknya mereka yang di lift maupun di lobby tidak tahu bahwa akulah penyebab masalah di pagi itu. Di lobby, saat menunggu lift ke lantai dasar, samar-samar kudengar ada beberapa tamu yang menanyakan penyebab ‘kebakaran’ atau lebih tepatnya penyebab berbunyinya alarm kepada petugas hotel. Mereka menjawab dengan merujuk microwave sebagai penyebabnya. Sekilas kudengar “Overcook” dari mulut petugas hotel.

Saat kejadian, jujur saja aku takut dan panic. Bukan ketakutan kamarku akan terbakar, namun aku takut akan berurusan panjang setelahnya. Ya, kekhawatiran bakal di bawa ke kantor aparat entah itu kepolisian atau aparat di county untuk kemudian di perbal atau di BAP menghantui pikiranku. Pasti aku akan diinterogasi dan ditanya-tanya perihal kecerobahannu yang dapat menyebabkan bahaya, dan itu tentu tidak dapat ditolerir. Namun tampaknya kekhawatiranku tidak terjadi. Setelah kejadian, tak ada petugas yang datang kekamarku. Tak ada petugas yang menanyakan ini itu. Setelahnya fine-fine saja, seolah tak pernah ada kehebohan. Business as usual.

Dalam mobil baru aku bercerita pada rekan-rekanku sesama peserta #IVLP bahwa penyebab kehebohan di pagi itu adalah aku. “Oo ternyata Pak Rachmat toch,” sahut mereka, berbarengan. Dengan tersenyum tanda memaklumi, Mba Nunu, penghubung kami selama program berlangsung berkata: “Saya sudah menyangka pasti kejadian lagi hal seperti ini. Setiap ini (overcook akibat penggunaan microwave) terjadi, Saya selalu berharap ini adalah kejadian yang terakhir, namun sayangnya selalu saja ini berulang.” Dengan masih menyantap roti sebagai bekal sarapannya, Mba Nunu menambahkan bahwa aku bukan orang pertama dari Indonesia yang seperti ini.

Kalimat terakir dari Mba Nunu sedikit menghiburku. Ya, aku bukanlah yang pertama yang pernah bermasalah dengan mesin penghangat dan membuat heboh di hotel, ada orang-orang ceroboh sepertiku sebelumnya. Dan, semoga saja doa Mba Nunu terkabulkan, cukup akulah orang terakhir. The lesson
today is, kita harus lebih hati-hati menekan tombol di negeri orang, jangan sampai overcook, hehe..

#the fact
  1. Baru aku tahu kemudian ternyata roti cane yang kuhangatkan itu berminyak, sehingga akibat overcook dapat menimbulkan asap yang pekat.
  2. Pemadam kebakaran kota Philly mengerahkan 4 unit mobil pemadam di depan hotel.
  3. Satu lagi, percaya atau tidak, kamar hotelku adalah 1109. Angka ini jika dibalik sama dengan 911, tanda atau symbol bahaya di Amerika.