Dulu, saat Jakarta masih dipimpin oleh
Fauzi Bowo (Foke), tak tampak kerumunan warga yang menghadang sang gubernur --begitu
tiba di kantornya-- untuk mengadukan permasalahnnya. Apakah ini indikasi tak
ada masalah dalam kehidupan warga? Tentu tidak! Masalah dan urusan warga yang
butuh pemecahan dari aparat pemerintah Provinsi DKI Jakarta tentu ada. Mulai
dari ngurus KTP/KK; Akte
Kelahiran/Kematian; Izin domisili; sampai pada permasalahan saluran air (got)
yang mampet. Lalu apakah untuk urusan
yang ‘remeh temeh’ itu warga mengadu
ke Balaikota (Foke)? Tidak, saat itu cukup diselesaikan oleh Pak Lurah dan
stafnya saja.
Beda dengan Foke. Dimasa Ahok menjabat
sebagai gubernur, ia terlalu one man show.
Ibaratnya, bila tanpa Ahok maka pemerintahan Provinsi DKI Jakarta akan
berhenti. Itulah yang terjadi saat itu, setiap permasalahan, baik itu besar
atau kecil, warga maunya ngadu langsung
ke gubernur tanpa terlebih dahulu mengadu ke para stafnya (pejabat dibawahnya).
Jadilah saban hari kantor Balaikota
kebanjiran warga yang datang mengadu ke gubernurnya. Dari (permasalahan) yang ecek-ecek, hingga yang memang Ahok
sendiri yang harus turun tangan untuk mengeluarkan arahan (disposisi). Sayangnya, tak semua yang datang ke Balaikota memang
membutuhkan arahan dan pemecahan langsung oleh gubernur. Banyak juga yang datang
hanya untuk sekadar mencari popularitas (sensasi), diliput media, bahkan ada
warga Bekasi yang mengadu ke Gubernur DKI Jakarta, ckck.. dan, --tentu-- ber-selfi
dengan gubernur.
Dan inilah kesalahan sistem yang dibangun
oleh Ahok. Seharusnya ada mekanisme pengaduan yang tertata dengan baik,
sehingga permasalah itu dapat tersaring, hingga permasalahan tertentu (berat
dan penting) saja yang bisa naik hingga ke level gubernur. Maka menjadi
pertanyaan, apakah aparat pemerintahan di tingkat bawah tidak bekerja, sehingga
permasalahan warga harus sampai ke gubernur? Rasanya tidak! Tak ada
permasalahan, even berat sekalipun
yang tak dapat kami tangani. Selama ini sistem pelayanan kepada warga telah
berjalan dengan baik. Masing-masing jenis pelayanan/perizinan ada tingkatannya.
Contoh, untuk urusan nutup jalan buat
acara ngawinin anak, maka izinnya cukup
di tingkat kelurahan, agar nantinya Satpol PP tingkat kelurahan berkoordinasi
dengan Bhabinkamtibmas Polsek. Begitupun kalau ada warga yang hendak membangun
apartemen atau sarana olahraga (lapangan futsal) maka kewenangan perizinan itu
tentu ada di tingkat kota. Semuanya sudah ter-sistem dengan baik.
Selama saya bekerja di lapisan bawah
pemerintahan, tepatnya di kelurahan, saban
hari tak kurang puluhan warga datang ke kantor kelurahan. Beragam permasalahan
dan aduan yang mereka bawa ke kami, aparat pemerintah di kelurahan. Ada yang datang
hanya bersandal jepit, dengan busana ala ‘dasteran’,
adapula yang datang dengan harum parfum yang menggoda, memakai busana kerja dengan
sepatu tersemir mengkilap, menandakan dari kalangan mana mereka berasal. Dengan
profesional kami layani mereka tanpa pilah-pilih dalam memperlakukan mereka. Intinya,
semua yang datang harus tertib, ngantri,
menunggu pelayanan.
Dari berbaur dan merasakan terjun langsung dalam
pelayanan warga masyarakat di level terbawah pemerintahan (kelurahan), saya
jadi tahu pattern atau pola
permasalahan di masyarakat. Masalah yang ada dalam kehidupan mereka tak jauh
dari urusan ekonomi, yakni minta
keringanan. Keringanan dalam urusan apapun. Nah, permasalahan utama yang
sering terjadi dalam masyarakat dapat saya bagi kedalam empat bidang, yakni; Pendidikan;
Kesehatan; Kependudukan; dan Pertanahan (Perumahan).
Pendidikan misalnya, warga datang untuk
meminta keringanan SPP; Meminta agar di catat sebagai warga tidak mampu untuk
memperoleh KJP (Kartu Jakarta Pintar). Kesehatan pun demikian, warga meminta
surat keterangan keringanan biaya rumah sakit; Meminta dibuatkan KJS (Kartu
Jakarta Sehat) atau BPJS Kesehatan. Untuk masalah kependudukan: Mengurus KK/KTP;
Domisili/pindah; Surat Keterangan Kelahiran/Kematian, Surat Pengantar Nikah, dsb.
Adapun terkait pertanahan/perumahan: Balik nama/keringanan pembayaran PBB; Jual
beli tanah/rumah; Meminta jatah rusun; Izin mendirikan/merenovasi bangunan
(IMB), dsb. Tak ada yang keluar dari tuntutan (permintaan) seperti itu. Tak ada
permasalahan yang aneh-aneh, seperti permintaan memindahkan sarang lebah/tawon
dari rumah salah satu warga, yang, tentu untuk masalah ini, kami, pihak kelurahan
harus berkoordinasi dengan Dinas Pemadam Kebakaran, hehe..
Nah, laksana penyakit, maka aduan atau masalah yang
dihadapi warga masyarakat levelnya hanya sakit ‘demam (radang tengorokan) biasa’,
dan cukup diselesaikan di tingkat kelurahan saja. Lha, bila setiap ‘demam biasa’ warga mengadu ke gubernur, lalu
untuk apa fungsi Kelurahan/Kecamatan dan Kantor Walikota? Gubernur tentu tak
mesti meng-handle permasalahan yang ecek-ecek, justru gubernur dituntut
untuk bekerja secara professional. Mengeluarkan kebijakan pro rakyat yang
bersifat makro (global) sebagai guidance
bagi bawahannya. Memonitor kerja bawahannya. Jika ada yang tak beres dengan
arahan dan kebijakan gubernur, maka ia akan ‘menjewer’ bawahannya. Begitulah seharusnya managemen kepemimpinan yang
baik dan benar. Ada pembagian tugas dan wewenang.
Anies dan Sandi tampaknya tahu betul
bagaimana menjadi pemimpin yang baik, dan ini telah diterapkan oleh keduanya. Pendelegasian
wewenang, tugas dan tanggung jawab, misalnya. Anies dan Sandi yang paham hal
itu tentu tidak ingin show off dengan
menampilkan kesan ke masyarakat bahwa bawahan mereka tidak bisa bekerja dan hanya
mereka berdua yang hero dan smart. Untuk
itulah mekanisme pengaduan itu perlu dibuat agar fungsi Kelurahan, Kecamatan, Kantor
Walikota, serta seluruh Badan dan Dinas di pemerintahan Provinsi DKI Jakarta bisa
berfungsi dan bekerja secara optimal sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya
(tupoksi) sehingga tidak semua masalah diadukan ke Balaikota, ke kantor
gubernur.
Dan, justru disinilah Gubernur Anies
Baswedan ingin mewargakan warga Jakarta. Menempatkan warga Jakarta sebagai raja
dan tuan di rumahnya sendiri. Dan, bahwa bila ada permasalahan warga, maka mereka
cukup datang hanya sampai kantor Kelurahan/Kecamatan saja. Jadi, buat apa ke (Balaikota)
Gubernur bila permasalahan itu dapat ditangani oleh Lurah, Camat, Walikota atau
Kepala Dinas? Namun, bila mereka semua ‘angkat tangan’, maka Gubernur Anies-lah yang akan turun tangan langsung dan
memberikan arahan atau disposisi pada mereka. Inilah (sistem) yang dibangun
oleh Gubernur Anies Baswedan.
Kebijakan ini tentu bukan untuk membatasi
warga masyarakat bertemu atau mengadukan permasalahan (curhat) kepada gubernur idolanya, tidak! Gubernur Anies Baswedan
selalu welcome terhadap warga yang datang.
Namun ini dimaksudkan agar perangkat pemerintahan Kota Jakarta bekerja dengan
sistem yang tertata baik. Sebagai pemimpin, Anies percaya bahwa semua pegawai
pemerintah provinsi DKI Jakarta mulai dari tingkatan terendah hingga Sekda akan
bekerja secara sungguh-sungguh untuk kemajuan kota Jakarta. Melayani warga
Jakarta dengan sepenuh hati dan seoptimal mungkin demi kesejahteraan warga
Jakarta.
Akhirnya, mari kita bantu pekerjaan Gubernur
Anies Baswedan dengan tidak membebani beliau dengan urusan yang ecek-ecek, yang sejatinya urusan itu
bisa diselesaikan di kantor kelurahan saja. Mari kita bantu Gubernur Anies
Baswedan dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno agar konsentrasi bekerja untuk
meningkatkan harkat dan martabat kita sebagai warga Jakarta.
Sumber Foto:
https://news.detik.com/berita/3690397/anies-persilakan-warga-mengadu-seperti-era-ahok-djarot
http://megapolitan.kompas.com/read/2016/10/21/13151281/di.tengah.antrean.di.balai.kota.warga.bekasi.mengadu.ke.ahok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar