Rabu, 28 Desember 2016

Tentang Uwak-ku

Desember tahun ini adalah liburan sekolah yang pertama bagi anakku, Razijed. Meski bila kencing masih aku angkat pinggangnya lantaran posisi urinoir yang tinggi, namun ia telah mengisi liburannya dengan banyak jalan-jalan ke beberapa kota di tanah air, pulang pergi naik Garuda. Saat ini ia tengah ikutan kemping bersama dengan teman-teman seusianya, Anak Baik Indonesia. Kebahagiannya nyaris sempurna. Ia berbeda denganku. Dulu aku mengisi liburan hanya dengan main bola di lapangan, seharian penuh. Praktis aku jarang keluar kampung.  Bagiku, anak Kampung Kebon, Kemang, yang tak punya apa-apa, bisa pergi ke luar kota untuk liburan adalah kenikmatan dan surga yang tiada tara. Kalaupun aku bisa pergi ke luar kota, itu pun sebatas hanya ke Puncak, Subang atau Bandung, nunut (ngintil) dengan uwak-ku, Ncang A min yang saban tahun rutin silaturahmi ke kerabat di sana. Maka bila sekarang ia bahagia menghadapi liburannya, itu akibat dendam kecilku yang memang kurang piknik, yang kulampiaskan pada anakku saat ini.

Nah, ketika usiaku remaja, saat SMP, teman dan pergaulanku pun bertambah luas tak hanya sebatas teman main di kampung saja. Usai liburan sekolah, tema obrolan kami tak jauh dari jalan-jalan mengisi liburan. Ada yang bercerita pergi ke Puncak bersama keluarganya (ahh yang ini mah terlalu mainstream), ada pula ada yang jauh pergi berlibur pulang kampung ke Sumatera ataupun jalan-jalan ke Jogjakarta dan Jawa Timur.

Nah, diantara cerita-cerita teman-teman itu ada cerita yang menarik minatku untuk menelisik lebih jauh yakni pergi berlibur dengan kereta api. Waktu itu ada diantara kami yang meng-organise untuk ber-plezier secara rombongan. Bersama teman-teman sekelas, mereka jalan-jalan ke Gontor, Ponorogo dengan Kereta Api. Cerita mereka sangat seru dan menarik. Menyesal rasanya tak bisa gabung dan ikutan dengan teman-temanku itu. Dengar mereka bercerita, ada perasaan mupeng dan iri. Wahh enak banget ya jalan-jalan naek kereta yang jauh, batinku. Asal tahu saja, aku belum pernah sekalipun naik kerata, dalam arti kereta sebenarnya. Memang sich kalau jalan-jalan ke Bogor selalu naik Kereta, namun bukan (naik) kerata itu yang aku impikan. Ke Bogor kan naik KRL atau KRD, tentu suasana dan chemistry-nya beda dengan kerata jarak jauh.

Setelah mendengar cerita teman-teman, aku menjadi terobsesi untuk bisa seperti mereka, pergi berlibur naik kereta. Tapi (pergi) kemana? Hendak kemana arah yang ingin kutuju? Naik kereta yang jauh tentu harus ada tujuan, dan saat itu belum ada tujuan dibenakku. Nah, sampai tibalah saat liburan besar tahun berikutnya, liburan kenaikan kelas dari kelas dua ke kelas tiga SMP. Ketika ngobrol-ngobrol dengan Kak Fuji, di Bawah, ia memberitahuku bahwa ada family atau kerabat kami yang tinggal di Malang, Jawa Timur. Namanya, Kwee Wie Hian. Kami memangilnya Wak Hian, lantaran ia adalah kakak sepupu dari mamiku. Mereka seumuran, sama-sama lahir tahun 48-an.
Kamu jalan-jalan ke Malang aja, Mat, ke rumah Tante Yanti (nama Indonesia-nya) di Malang,” begitu saran Kak Fuji padaku.
Oh, ternyata ada toh keluarga Mami-ku yang tinggal di Malang, batinku. Maklum saja, kami tak pernah bertemu sebelumnya. Jarak yang jauh memisahkan kami. Mamiku di Jakarta sedangkan keluarga besar dari Uwak-ku ada di Cirebon. Lantaran ikut sang suami yang bertugas sebagai pegawai di pabrik rokok Benteol, maka beliau pun hijrah ke Malang.

Rencana liburan ke Malang ini aku sounding ke sepupuku yang lainnya, yakni ke Hafiz, anak Ncang A min, abang dari mamiku. Lantaran pergi berdua dirasa kurang pede, maka Hafiz atas usulku mengajak sepupunya yang bernama Amma, panggilan akrab kami pada Ahmad Rudi. Akhirnya jadilah kami bertiga merencanakan liburan ke Malang. Hari H-nya pun ditentukan. Sebelumnya kami memesan tiket kereta api melalui travel yang berlokasi di pertigaan Sajam, Kemang Selatan. Sayang travel itu kini telah tutup. Tiketnya kalau tak salah sekitar 12 ribu rupiah. Kereta Matar Maja namanya.

Hari yang dinanti pun tiba. Kereta berwarna hijau lumut itu bergerak dari St. Gambir. Oh ya, Stasiun Gambir sendiri masih old style, dengan bangunan dan arsitektur yang lama, belum bertingkat dan di renovasi seperti sekarang. Aku ingat, waktu itu kereta telat masuk, akibatnya kami pun terlambat berangkat, dari jadwal yang seharusnya berangkat jam 14.00 menjadi jam 16.00.

Hari sebelum keberangkatan, Ncang-ku, berpesan agar kami berhati-hati selama di Malang. Ini lantaran Malang, meski tak sebesar Jakarta, namun kota ini termasuk salah satu kota besar di Jawa Timur. Kata Ncangku, luas kotanya seperti Kebayoran Baru, Jakarta. Sebelum berangkat tak lupa beliau menitipkan sebuah photo untuk nantinya diperlihatkan kepada kerabat kami itu. Bukan apa-apa, Ncangku ini khawatir bila Wak Hian tidak percaya kalau kami adalah saudaranya. Jadi, photo itu kami bawa sebagai bukti bahwa kami anak dari Ncang A min dan bersaudara dengan Wak Hian.

Saat naik kereta itulah akhirnya kami bertiga baru benar-benar merasakan liburan naik kereta. Asal tahu saja, kami bertiga mungkin satu-satunya penumpang anak yang tidak didampingi oleh orang dewasa. Kebanyakan yang naik adalah keluarga dengan anak disertai dengan orang dewasa. Hanya kami yang tanpa pendamping. Modal nekat. Anehnya, orang tua kami cukup berani juga mengizinkan kami, anak berumur 14 tahun, pergi jauh dengan tujuan (rumah) yang belum pasti lantaran kami memang belum pernah ke sana.

Seingatku, kereta banyak berhenti, baik di stasiun besar maupun kecil. Maklum kereta ekonomi, harus selalu mengalah. Tiba di Madiun pas hari telah terang, sekitar jam 10 pagi. Sangat terlambat. Dari informasi penumpang lainnya, biasanya kerata merapat di Madiun sekitar waktu Subuh. Akhirnya setelah beberapa kali berhenti untuk langsir yang biasanya memakan waktu 30 menit, kereta akhirnya tiba di st. Malang kota Lama. Kira-kira jam 17-an kami menapak emplasemem stasiun Malang Kota Lama.

Menjelang memasuki Malang, sebenarnya kami belum pasti mau turun dimana, mengingat kota Malang punya 2 (dua) stasiun yakni Stasiun Kota Lama dan Stasiun Kota Baru. Setelah tanya menanya, akhirnya kami putuskan untuk turun di St. Kota Lama, perhentian pertama di Kota Malang. Karena bingung mau melangkah kemana, maka setelah turun, kami langsung menuju ke pos polisi yang ada di stasiun dan menceritakan maksud kami. Oleh petugas yang baik hati itu kami dicarikan becak, sambil berpesan ke tukang becak agar mengantarkan kami, ketiga bocah ingusan ini ke perumahan karyawan pabrik rokok Bentoel di kawasan Janti, Malang. Untungnya St. Kota Lama lokasinya dekat dengan alamat yang kami tuju, hingga tak lebih seperapat jam tibalah kami di alamat Wak Hian.

Setelah sampai perumahan itu, kami lalu mencari nomor rumah seperti yang tertera di alamat yang kami simpan. Bel pun kami pencet. Lalu muncullah seorang wanita dengan tampang bingung, sama seperti kami, lantaran diantara kami memang tak saling kenal atau berjumpa sebelumnya.
“Kalian siapa? Mau ketemu siapa?” selidiknya.
Alhamdulillah ada orangnya batinku, saat kulihat seorang wanita membukakan pintu rumahnya, dan memberondong kami dengan pertanyaan menyelidik. Maklum saja, zaman dulu tak ada telepon, jadi kedatangan kami tentu tak kami kabarkan ke Uwak kami itu. Untungnya mereka ada di Malang, coba kalau mereka pergi ke luar kota tentu kami akan terkatung-katung di Malang tanpa tujuan, disebabkan kami tak bertelpon atau bersurat yang mengabarkan kami akan berlibur dan datang ke rumahnya.
Kami anaknya A min, dari Jakarta,” jawab Hafiz, sekenanya.
Wak Hian setengah kaget mendengar nama Ncang A min disebut. Maklum mereka sudah lama tak bersua, dan sudah lama pula diantara mereka tak bertukar kabar.

Begitu kami ceritakan siapa kami, wanita itu yang ternyata benar Uwak kami menpersilakan kami masuk. Disaat ngobrol dan menelisik lebih dalam siapa kami, Hafiz menyodorkan photo yang diberikan ayahnya untuk diperlihatkan pada Wak Hian.
Ohh kamu anaknya A min ya. Iya (photo) ini saya kenal. ini kan A min bersama Hong Nio,” serunya.
Ya, di potret itu tergambar dengan jelas A min dan supupunya yang lain yakni Hong Nio, ibu dari Beng Tek, juga sepupu kami. Mereka (A min, Hong Nio, dan Wak Hian) ini memang sepupuan, atau mempunyai kakek/nenek yang sama.

Keluarga Wak Hian ini pemeluk Khatolik yang taat. Setiap mau makan, beliau selalu berdoa dengan khusyuk. Di rumahnya yang asri di Malang terpampang dengan jelas simbol-simbol Khatolik. Meski keyakinan kami berbeda, selama di rumahnya, kami tak pernah kesulitan untuk beribadah. Menariknya, dirumahnya selalu terhampar sajadah untuk kami gunakan shalat. Kami diperlakukan dengan sangat baik. Mereka selalu mengingatkan kami untuk sholat, dan tak pernah memasak makanan berbahan babi. Diperhatikan pula makan dan kesehatan kami. Wak Mul, misalnya, Suami Wak Hian ini selalu melarang kami nyeker (tanpa alas kaki) meski pun berada di dalam rumah. Kami diingatkan agar selalu pakai sandal, karena Malang kota dingin, takut kami masuk angin, katanya. Setiap selesai makan pun kami selalu di tawari untuk minum vitamin, suatu kebiasaan yang tak pernah diterapkan di rumahku.  


Uwak kami ini punya dua orang anak, namanya Eko dan Euis. Eko se-umuran dengan kami. Lantaran seumuran itulah, kami, selama di Malang ditemeni jalan-jalan oleh Eko. Kami jalan-jalan keliling kota Malang. Oleh Eko kami juga diantar rekreasi ke Selekta, Sengkaling, dan Batu. Begitulah, akhirnya obsesiku untuk berlibur naik kereta yang jauh kesampaian. Dan itu terjadi saat usiaku 14 tahun, pergi ke Malang tanpa didampingi orang dewasa. Itulah pengalaman liburanku. Bagaimana denganmu?