Desember
tahun ini adalah liburan sekolah yang pertama bagi anakku, Razijed. Meski bila
kencing masih aku angkat pinggangnya lantaran posisi urinoir yang tinggi, namun ia telah mengisi liburannya dengan banyak
jalan-jalan ke beberapa kota di tanah air, pulang pergi naik Garuda. Saat ini
ia tengah ikutan kemping bersama dengan teman-teman seusianya, Anak Baik
Indonesia. Kebahagiannya nyaris sempurna. Ia berbeda denganku. Dulu aku mengisi
liburan hanya dengan main bola di lapangan, seharian penuh. Praktis aku jarang
keluar kampung. Bagiku, anak Kampung
Kebon, Kemang, yang tak punya apa-apa, bisa pergi ke luar kota untuk liburan
adalah kenikmatan dan surga yang tiada tara. Kalaupun aku bisa pergi ke luar
kota, itu pun sebatas hanya ke Puncak, Subang atau Bandung, nunut (ngintil) dengan uwak-ku, Ncang A
min yang saban tahun rutin silaturahmi
ke kerabat di sana. Maka bila sekarang ia bahagia menghadapi liburannya, itu
akibat dendam kecilku yang memang kurang piknik, yang kulampiaskan pada anakku
saat ini.
Nah,
ketika usiaku remaja, saat SMP, teman dan pergaulanku pun bertambah luas tak
hanya sebatas teman main di kampung saja. Usai liburan sekolah, tema obrolan kami
tak jauh dari jalan-jalan mengisi liburan. Ada yang bercerita pergi ke Puncak
bersama keluarganya (ahh yang ini mah
terlalu mainstream), ada pula ada yang jauh pergi berlibur pulang kampung
ke Sumatera ataupun jalan-jalan ke Jogjakarta dan Jawa Timur.
Nah,
diantara cerita-cerita teman-teman itu ada cerita yang menarik minatku untuk
menelisik lebih jauh yakni pergi berlibur dengan kereta api. Waktu itu ada diantara
kami yang meng-organise untuk ber-plezier secara rombongan. Bersama
teman-teman sekelas, mereka jalan-jalan ke Gontor, Ponorogo dengan Kereta Api. Cerita
mereka sangat seru dan menarik. Menyesal rasanya tak bisa gabung dan ikutan
dengan teman-temanku itu. Dengar mereka bercerita, ada perasaan mupeng dan iri. Wahh enak banget ya jalan-jalan naek kereta yang jauh, batinku. Asal
tahu saja, aku belum pernah sekalipun naik kerata, dalam arti kereta
sebenarnya. Memang sich kalau
jalan-jalan ke Bogor selalu naik Kereta, namun bukan (naik) kerata itu yang aku
impikan. Ke Bogor kan naik KRL atau
KRD, tentu suasana dan chemistry-nya
beda dengan kerata jarak jauh.
Setelah
mendengar cerita teman-teman, aku menjadi terobsesi untuk bisa seperti mereka, pergi
berlibur naik kereta. Tapi (pergi) kemana? Hendak kemana arah yang ingin
kutuju? Naik kereta yang jauh tentu harus ada tujuan, dan saat itu belum ada
tujuan dibenakku. Nah, sampai tibalah saat liburan besar tahun berikutnya, liburan
kenaikan kelas dari kelas dua ke kelas tiga SMP. Ketika ngobrol-ngobrol dengan Kak
Fuji, di Bawah, ia memberitahuku bahwa ada family atau kerabat kami yang
tinggal di Malang, Jawa Timur. Namanya, Kwee Wie Hian. Kami memangilnya Wak Hian,
lantaran ia adalah kakak sepupu dari mamiku. Mereka seumuran, sama-sama lahir
tahun 48-an.
“Kamu jalan-jalan ke Malang aja, Mat, ke
rumah Tante Yanti (nama Indonesia-nya) di
Malang,” begitu saran Kak Fuji padaku.
Oh,
ternyata ada toh keluarga Mami-ku yang tinggal di Malang, batinku. Maklum saja,
kami tak pernah bertemu sebelumnya. Jarak yang jauh memisahkan kami. Mamiku di
Jakarta sedangkan keluarga besar dari Uwak-ku ada di Cirebon. Lantaran ikut
sang suami yang bertugas sebagai pegawai di pabrik rokok Benteol, maka beliau
pun hijrah ke Malang.
Rencana
liburan ke Malang ini aku sounding ke
sepupuku yang lainnya, yakni ke Hafiz, anak Ncang A min, abang dari mamiku.
Lantaran pergi berdua dirasa kurang pede,
maka Hafiz atas usulku mengajak sepupunya yang bernama Amma, panggilan akrab
kami pada Ahmad Rudi. Akhirnya jadilah kami bertiga merencanakan liburan ke
Malang. Hari H-nya pun ditentukan. Sebelumnya kami memesan tiket kereta api
melalui travel yang berlokasi di pertigaan Sajam, Kemang Selatan. Sayang travel
itu kini telah tutup. Tiketnya kalau tak salah sekitar 12 ribu rupiah. Kereta Matar
Maja namanya.
Hari
yang dinanti pun tiba. Kereta berwarna hijau lumut itu bergerak dari St.
Gambir. Oh ya, Stasiun Gambir sendiri masih old style, dengan bangunan dan
arsitektur yang lama, belum bertingkat dan di renovasi seperti sekarang. Aku
ingat, waktu itu kereta telat masuk, akibatnya kami pun terlambat berangkat,
dari jadwal yang seharusnya berangkat jam 14.00 menjadi jam 16.00.
Hari
sebelum keberangkatan, Ncang-ku, berpesan agar kami berhati-hati selama di Malang.
Ini lantaran Malang, meski tak sebesar Jakarta, namun kota ini termasuk salah
satu kota besar di Jawa Timur. Kata Ncangku, luas kotanya seperti Kebayoran
Baru, Jakarta. Sebelum berangkat tak lupa beliau menitipkan sebuah photo untuk nantinya
diperlihatkan kepada kerabat kami itu. Bukan apa-apa, Ncangku ini khawatir bila
Wak Hian tidak percaya kalau kami adalah saudaranya. Jadi, photo itu kami bawa
sebagai bukti bahwa kami anak dari Ncang A min dan bersaudara dengan Wak Hian.
Saat
naik kereta itulah akhirnya kami bertiga baru benar-benar merasakan liburan
naik kereta. Asal tahu saja, kami bertiga mungkin satu-satunya penumpang anak
yang tidak didampingi oleh orang dewasa. Kebanyakan yang naik adalah keluarga
dengan anak disertai dengan orang dewasa. Hanya kami yang tanpa pendamping. Modal
nekat. Anehnya, orang tua kami cukup berani juga mengizinkan kami, anak berumur
14 tahun, pergi jauh dengan tujuan (rumah) yang belum pasti lantaran kami
memang belum pernah ke sana.
Seingatku,
kereta banyak berhenti, baik di stasiun besar maupun kecil. Maklum kereta
ekonomi, harus selalu mengalah. Tiba di Madiun pas hari telah terang, sekitar jam
10 pagi. Sangat terlambat. Dari informasi penumpang lainnya, biasanya kerata
merapat di Madiun sekitar waktu Subuh. Akhirnya setelah beberapa kali berhenti untuk
langsir yang biasanya memakan waktu 30 menit, kereta akhirnya tiba di st.
Malang kota Lama. Kira-kira jam 17-an kami menapak emplasemem stasiun Malang
Kota Lama.
Menjelang
memasuki Malang, sebenarnya kami belum pasti mau turun dimana, mengingat kota Malang
punya 2 (dua) stasiun yakni Stasiun Kota Lama dan Stasiun Kota Baru. Setelah
tanya menanya, akhirnya kami putuskan untuk turun di St. Kota Lama, perhentian
pertama di Kota Malang. Karena bingung mau melangkah kemana, maka setelah turun,
kami langsung menuju ke pos polisi yang ada di stasiun dan menceritakan maksud
kami. Oleh petugas yang baik hati itu kami dicarikan becak, sambil berpesan ke
tukang becak agar mengantarkan kami, ketiga bocah ingusan ini ke perumahan
karyawan pabrik rokok Bentoel di kawasan Janti, Malang. Untungnya St. Kota Lama
lokasinya dekat dengan alamat yang kami tuju, hingga tak lebih seperapat jam
tibalah kami di alamat Wak Hian.
Setelah
sampai perumahan itu, kami lalu mencari nomor rumah seperti yang tertera di
alamat yang kami simpan. Bel pun kami pencet. Lalu muncullah seorang wanita dengan
tampang bingung, sama seperti kami, lantaran diantara kami memang tak saling kenal
atau berjumpa sebelumnya.
“Kalian
siapa? Mau ketemu siapa?” selidiknya.
Alhamdulillah
ada orangnya batinku, saat kulihat seorang wanita membukakan pintu rumahnya, dan
memberondong kami dengan pertanyaan menyelidik. Maklum saja, zaman dulu tak ada
telepon, jadi kedatangan kami tentu tak kami kabarkan ke Uwak kami itu. Untungnya
mereka ada di Malang, coba kalau mereka pergi ke luar kota tentu kami akan
terkatung-katung di Malang tanpa tujuan, disebabkan kami tak bertelpon atau
bersurat yang mengabarkan kami akan berlibur dan datang ke rumahnya.
“Kami anaknya A min, dari Jakarta,” jawab
Hafiz, sekenanya.
Wak
Hian setengah kaget mendengar nama Ncang A min disebut. Maklum mereka sudah
lama tak bersua, dan sudah lama pula diantara mereka tak bertukar kabar.
Begitu
kami ceritakan siapa kami, wanita itu yang ternyata benar Uwak kami menpersilakan
kami masuk. Disaat ngobrol dan menelisik lebih dalam siapa kami, Hafiz
menyodorkan photo yang diberikan ayahnya untuk diperlihatkan pada Wak Hian.
“Ohh kamu anaknya A min ya. Iya (photo) ini
saya kenal. ini kan A min bersama Hong Nio,” serunya.
Ya,
di potret itu tergambar dengan jelas A min dan supupunya yang lain yakni Hong Nio,
ibu dari Beng Tek, juga sepupu kami. Mereka (A min, Hong Nio, dan Wak Hian) ini
memang sepupuan, atau mempunyai kakek/nenek yang sama.
Keluarga
Wak Hian ini pemeluk Khatolik yang taat. Setiap mau makan, beliau selalu berdoa
dengan khusyuk. Di rumahnya yang asri di Malang terpampang dengan jelas
simbol-simbol Khatolik. Meski keyakinan kami berbeda, selama di rumahnya, kami tak
pernah kesulitan untuk beribadah. Menariknya, dirumahnya selalu terhampar
sajadah untuk kami gunakan shalat. Kami diperlakukan dengan sangat baik. Mereka
selalu mengingatkan kami untuk sholat, dan tak pernah memasak makanan berbahan babi.
Diperhatikan pula makan dan kesehatan kami. Wak Mul, misalnya, Suami Wak Hian ini
selalu melarang kami nyeker (tanpa
alas kaki) meski pun berada di dalam rumah. Kami diingatkan agar selalu pakai
sandal, karena Malang kota dingin, takut kami masuk angin, katanya. Setiap selesai
makan pun kami selalu di tawari untuk minum vitamin, suatu kebiasaan yang tak
pernah diterapkan di rumahku.
Uwak
kami ini punya dua orang anak, namanya Eko dan Euis. Eko se-umuran dengan kami.
Lantaran seumuran itulah, kami, selama di Malang ditemeni jalan-jalan oleh Eko.
Kami jalan-jalan keliling kota Malang. Oleh Eko kami juga diantar rekreasi ke Selekta,
Sengkaling, dan Batu. Begitulah, akhirnya obsesiku untuk berlibur naik kereta
yang jauh kesampaian. Dan itu terjadi saat usiaku 14 tahun, pergi ke Malang tanpa
didampingi orang dewasa. Itulah pengalaman liburanku. Bagaimana denganmu?
ini jalan2 nya tahun berapa?
BalasHapusKayaknya tahun 1989, Man.
Hapus