Beberapa kali kapal cepat
bermesin lima buah merk Suzuki 250 yang kami tumpangi berhenti, dengan mesin
tetap menyala. Gelombang sedang tinggi. Biasanya setelah angkat sauh dari Dermaga
Marina, satu jam lewat sekian menit, kapal akan merapat di dermaga Pulau Pramuka.
Namun kali ini sudah lewat satu setengah jam, kapal belum ada tanda-tanda
mendekat, Pramuka masih jauh terlihat. Setelah dirasa aman, kapal mulai mengambil ‘ancang-ancang’
memilih jalur yang ‘ramah’ dari terjangan ombak. Kembali mesin bergemuruh
menerjang ombak-ombak yang datang menghantam buritan. Para penumpang kembali terjungkal-jungkal.
Beruntung tak lama, gelombang tinggi mereda, dermaga Pramuka pun semakin dekat.
Akhirnya sampai juga di pulau, tempat dimana kantor bupati Kabupaten
Administrasi Jakarta Kepulauan Seribu berada. Syukur Alhamdulillah kami selamat. Nasib tak beruntung dialami kapal
milik instansi sejawat yang jalan tak berselang lama dengan kami. Kapal itu
tenggelam, karam diterjang ganasnya ombak Laut Jawa. Beruntung semua
penumpangnya selamat.
Biasanya kami berangkat Senin
pagi, dan kembali ke darat, rabu atau kamis sore, tergantung kebutuhan dan
beban kerja melayani warga pulau. Namun ada pula pegawai yang memilih untuk
pulang pergi. Artinya, pergi pagi hari, dan pulang dengan kapal predator milik
swasata sekitar jam 15. Biasanya, yang seperti ini tiket perjalanannya sudah
dianggarkan oleh kantor. Namun, tak banyak dinas (kantor) yang mengalokasikan
biaya perjalanan tersebut, tergantung kebutuhannya. Bagi pegawai yang berdinas
sebagai pamong, guru, atau tenaga kesehatan, dan melayani langsung masyarakat,
biasanya mereka lebih lama stay di
pulau. Diatas kertas, jadwal kerja seperti itu, namun cuaca atau kebutuhan
orang pulau kadang tak bisa dikira. Jika cuaca buruk, bersiaplah tinggal lebih
lama di pulau menunggu ombak reda. Praktis, waktu mereka untuk berkumpul dengan
keluarga di darat menjadi berkurang. Itulah resiko dan pengorbanan (baca: pengabdian)
pegawai bagi negara, pengorbanan yang harus dinikmati. #eaa
Dalam bekerja, kami terserak
di beberapa pulau. Ada yang ditugaskan di ujung nun jauh di utara, di pulau
Sebira. Ada pula yang ‘cukup beruntung’ di tempatkan di pulau Untung Jawa yang
letaknya hanya setengah jam dari daratan. Rumusnya, dimana ada penduduk,
disitulah kami bertugas. Selain dua pulau itu, pulau-pulau yang menjadi medan
tugas kami adalah pulau Panggang, Pulau Kelapa; Pulau Harapan; Pulau Tidung;
Pulau Pari; Pulau Lancang, dan pulau-pulau lain disekitarnya.
Bagi kami yang ditempatkan di
pulau, jangan berharap bakal segera ditarik ke darat bila konduite dan kinerja kami tak optimal. Kalau hanya bekerja menurut
rata-rata orang kerja maka hanya ada dua penantian untuk meninggalkan pulau, yakni
menunggu pensiun atau menunggu mati (tenggelam). Tak ada pilihan yang
menyenangkan memang, namun itulah garis dan suratan takdir yang harus kami
jalani. Bila koneksi dan channel tak banyak,
jangan berharap akan dilirik pejabat di darat (balaikota) untuk segera ditarik
ke darat. Terimalah nasib, bersiap menunggu usia pensiun tiba atau –paling
apes-- ajal menjemput untuk keluar dari pulau. Asal kalian tahu, ditugaskan di
pulau itu berat, tak banyak pegawai yang kuat, biar kami saja yang memikulnya!
Kalian gak kan kuat!
Kami yang bertugas di pulau
tentu maklum, kerja (ditugaskan) di darat pasti lebih bergengsi, lebih
menantang, more complex ketimbang di
pulau. Bila ada pilihan, hampir semua pegawai mungkin akan menghindar bila
ditawari berkarier di pulau. Camat Kramat Jati, misalnya tentu lebih mentereng
ketimbang jabatan yang sama di kecamatan Kepulauan Seribu Utara, meskipun
keduanya sama-sama eselon tiga. Begitupun kepala rumah sakit Pasar Rebo lebih
ada dignity ketimbang mengepalai
rumah sakut sejenis yang ada di pulau Pramuka. Begitulah, meski pangkat,
tunjangan dan gaji relatif tak jauh berbeda, namun gensi kerja atau menjadi
pejabat di darat akan mempunyai makna yang bisa membuat dada bertepuk lebih
nyaring ketimbang berkarier di pulau.
Namun menariknya, setelah
dijalani bulanan hingga berbilang tahun, ternyata menurut rekan-rekan kami yang
lama berkarier di pulau, kerja di pulau itu enak, tidak ‘dikejar-kejar’ seperti
bila kerja di darat. Kerja bisa dibawa nyantai
sembari liburan. Kalau sudah cinta pulau, dijamin takkan mau bila ditarik ke darat.
Pulau bagi mereka sudah seperti rumah kedua. Seminggu tak dinas ke pulau seperti
setahun tak pulang kampung ‘tuk berlebaran. Sayangnya, tak banyak model pegawai
‘aneh’ macam gini. Rata-rata bila
ditawari balik ke darat, pasti kami ngucap
syukur.
Sore hari selepas jam kerja,
kami biasanya bermain dipinggir pantai, berenang, ataupun sekedar membasahkan
telapak kaki agar tersapu ombak laut yang tenang. Yang hobi snorkling, tentu tak menyia-nyiakan
kesempatan ini. Keindahan ikan-ikan di perairan sekitar pulau Pramuka, Harapan,
Tidung, dan Pulau Karya sangat layak untuk dicumbu. Oh ya, hanya berjarak
hisapan sebatang rokok, Pulau Karya dapat ditempuh dengan menumpang ojek kapal
bertarif tiga ribu perak dari Pramuka. Pulau Karya ini adalah pulau tanpa
penduduk yang memang diperuntukkan untuk mess pegawai dan aktivitas sebagian roda
pemerintahan. Selain renang, memancing adalah kegiatan yang cukup banyak membantu
untuk mengatasi kejenuhan bekerja.
Kadang kami tertawa geli
ketika mendengar celotehan tamu/mitra kerja ketika kami undang hadir ke Pulau.
“Wah, enak ya pak Rachmat, kerja sambal
liburan..”
Whattt,
loe piker gw piknik?? Grrgrrr..
Begitulah, bagi orang luar melihat kami enak, namun coba saja sebulan bolak
balik pulau-darat, dijamin badan renteg…
Salam dari pulau!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar