Sebagai negara dengan
landscape below sea level, maka
Belanda adalah ahlinya penataan air. Di Belanda, air dapat dikelola dan di
tundukkan. Nah, jika di negara asalnya Dutchman
sukses menjinakkan air yang ada, namun untuk di Jakarta tampaknya Belanda bisa
dibilang gagal. Sebagai bangsa yang telah lama ‘memerintah’ di Jakarta, Belanda
belum berhasil menaklukkan banjir yang kerap melanda Jakarta.
Hampir setengah wilayah
Jakarta berada pada dataran rendah. Hanya kawasan selatan yang relatif terbebas
dari ancaman banjir. Dengan topografi seperti itu menjadikan Jakarta rawan
bencana banjir. Banjir seakan telah menjadi kutukan bagi Jakarta. Beragam cara
dan upaya dilakukan pemerintah kota untuk menjinakkan air --yang mengalir dari
hulu di kawasan Puncak-- yang masuk ke Jakarta. Namun hasilnya, Jakarta tetap
banjir. Maka anekdot pun muncul, --selain macet-- bukan Jakarta namanya jika
tidak banjir.
Banjir yang menerjang Jakarta
datang tanpa pandang bulu dan pilih tempat. Jangankan kawasan kumuh dan
‘langanan tetap’ seperti Kampung Pulo, Jatinegara, bahkan kawasan elit dan prestigious pun tak luput dari sergapan
banjir. Kemang misalnya, kawasan ekspatriat ini bisa lumpuh total akibat luapan
kali Krukut yang mengalir persis di ujung jalan Kemang Raya. Begitu pun Pondok
Indah, kerap tak berdaya akibat luapan Kali Pesanggrahan.
Air yang mengalir dari hulu di
selatan menuju muara Jakarta tampaknya tidak atau belum bisa dikelola dan
dikendalikan dengan baik. Sudah berbilang gubernur yang memerintah Jakarta,
dari Gubernur Jendral zaman Jakarta Gemente hingga Gubernur DKI Jakarta yang
jendral pun, mereka tak sanggup mengatasinya. Banjir menjadi pekerjaan rumah
tanpa akhir setiap gubernur yang memerintah di kota kosmopolitan ini.
Dalam sejarahnya, banjir besar
tercatat pernah melanda kota Jakarta pada tahun 1621, 1654, 1873, 1918, 1979,
1996, 2002, dan terakhir pada 2007 lalu. Diluar tahun itu, bukan berarti
Jakarta bebas atau sama sekali tidak banjir, namun cakupan wilayah terdampak
banjir tidak sebanyak pada tahun-tahun diatas. Pasalnya, hampir saban musim
penghujan tiba, sudah dipastikan wilayah sekitar aliran kali Ciliwung akan
terkena banjir. Kampung Pulo, Jatinegara misalnya, jika di hulu (kawasan Puncak
dan sekitarnya) hujan, maka 8 jam kemudian kawasan ini akan banjir. Kawasan
terdampak lainnya bisa kita temukan di sepanjang bantaran Kali Krukut dan Kali Pesanggrahan.
Bahkan, pernah tercatat banjir
satu meter yang menggenangi seluruh kota di tahun 1873 yang memaksa dinas
pekerjaan umum Batavia, Burgeljke Openbare Werken (BOP), mendapat julukan baru
Batavia Onder Water. Bahkan di tahun 1918, luapan Sungai Ciliwung, merendam
Batavia selama tujuh hari tujuh malam. Dan saat itu, Belanda masih memerintah
di Jakarta, namun mereka tak dapat menaklukkan air Jakarta.
Meski banjir seakan menjadi eternal enemy bagi siapapun yang
memimpin Jakarta, namun perlu dicatat bahwa Pemerintah Kota tidak berpangku
tangan dan menyerah menghadapinya. Tercatat, sejak masa VOC, banjir coba
diatasi dengan pembangunan kanal-kanal. JP Coen, Sang Gubernur Jendral Hindia
Belanda saat itu telah membangunnya pada 1619 untuk mengaliri benteng sebagai
sarana transportasi dan suplai air minum. Kemudian, sekitar tahun 1830, aliran Sungai
Ciliwung, yang mengalir di tengah kota benteng Batavia coba diluruskan. VOC
--yang dinegara asalnya mahir membuat kanal-kanal-- mencoba untuk menambah
kanal yang membagi aliran Ciliwung menjadi dua, yaitu Kali Besar dan Ciliwung
yang diputar dari selatan melintasi timur dan utara tembok Batavia.
Tak cukup sampai disitu, VOC
kemudian membagi lagi aliran Ciliwung di sebelah selatan. Di lokasi Masjid
Istiqlal, Ciliwung disudet untuk membangun kanal baru ke arah barat, yaitu
Nordwijk (Jalan Veteran dan Juanda), lalu menuju ke utara melalui kanal
Molenvliet sampai ke Batavia dan Kali Besar. Kanal baru kemudian dibuat untuk
mengalirkan Ciliwung lurus ke timur melalui Kali Lio di Pasar Baru, lalu ke
utara sepanjang jalan Gunung Sahari hingga Ancol.
Pada awal abad ke 20, setelah
banjir besar melanda Jakarta di tahun 1918, pemerintah Belanda menugaskan ahli
tata airnya, yakni Prof. Herman van Breen untuk mencari solusi terbaik
mengatasi banjir. Maka sejak tahun 1920-an, dibuatlah kanal yang membelah wilayah
utara dan selatan Jakarta, mulai dari Manggarai hingga Muara Angke. Prinsipnya
aliran air sedapat mungkin di putar-putar, tidak langsung masuk ke dalam kota, namun
dialirkan ke arah barat. Kanal ini terkenal dengan sebutan Banjir Kanal Barat
(BKB). Sebagai pengatur aliran air, maka dibangunlah Pintu Air Manggarai dan
Pintu Air Karet. Sampai saat ini prasasti jejak peninggalan Prof. Herman van
Breen masih terpahat dengan baik di pintu air Manggarai, Jakarta Selatan.
Namun BKB tak berdaya
menampung limpahan air. Banjir masih juga kerap terjadi di Jakarta. Van Breen
kemudian mengusulkan pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) sebagai solusi tahap
kedua setelah BKB untuk membebaskan wilayah yang lebih luas dari banjir. Sejak
pertengahan 2000-an pembangunan BKT dengan panjang 23,5 kilometer dimulai.
Praktis, pengendalian banjir di Jakarta bertumpu pada kedua kanal besar yang
melingkari sebagian besar wilayah kota. Dengan BKB dan BKT seluruh arus air
dari selatan akan disalurkan dan dibuang ke laut.
Disamping kanal-kanal,
pembangunan waduk pun ditempuh. Ditahun 1965, Komando Proyek Pencegahan Banjir
Jakarta Raya (Koprol Banjir) membangun Waduk Melati, Setiabudi, Melati, dan
Tomang Barat sebagai penampungan banjir sementara. Pada masa Pemerintahan
Jokowi Ahok, program Revitalisasi situ dan waduk yang ada di Jakarta seperti Situ
di Kalibata, Situ Cilangkap, waduk Ria Rio, waduk Pluit, dan Situ Kelapa Dua
Wetan, coba ditingkatkan. Memang hasilnya belum begitu tampak, namun paling
tidak air yang berasal dari lingkungan domestic dapat dikendalikan dan tidak
langsung masuk ke pusat kota.
Dalam masa mutaakhir, tercatat
dalam ingatan akan peristiwa banjir besar yang terjadi pada tahun 2007, saat
itu Jakarta menjadi kota mati. Perekonomian lumpuh. Akses jalan-jalan dari dan
menuju ke Jakarta terputus. Lihat saja, bagaimana warga yang tinggal di Ciledug
Tangerang tidak dapat pulang ke rumahnya dikarenakan akses jalan ke sana yang
melalui jalan Cipurir Raya terputus akibat limpahan air dari Kali Pesanggrahan.
Begitu pun warga yang tinggal di bagian timur seperti wilayah Pondok Kelapa,
Duren Sawit, tidak dapat menyebrang ke tengah kota, terkunci akibat luapan
Ciliwung hingga memutuskan jalan Kampung Melayu/Jl. KH Abdullah Syafe’i. Hanya
kendaraan jenis besar saja yang mampu melewatinya.
Akibatrnya, kemacetan pun
terjadi dimana-mana. Banyak mobil dan kendaraan bermotor yang mogok, tak mampu
menahan dan melewati hadangan air. Walhasil, jalan tol pun dimampaatkan
pengendara untuk menghindari banjir yang ada di jalan regular (bawah). Ini
terjadi di sepanjang jalan by pass yang membentang dari jalan DI Panjaitan
hingga Ahmad Yani.
Bukan itu saja, bahkan banjir
sanggup melumpuhkan perjalanan kereta api. Stasiun kereta api Tanah Abang,
Stasiun Tanjung Priok dan beberapa stasiun yang berada di utara Jakarta menjadi
lumpuh lantaran rel dan pelataran stasiun terendam air.
Jika banjir besar terjadi
(seperti tahun 2007) maka hampir lebih dari 2/3 wilayah Jakarta akan terendam
air. Jakarta berubah menjadi waduk raksasa. Air ada dimana-mana. Tinggi
genangan bervariasi, 30 sentimeter hingga 1 meter. Dalam catatan media, sedikitnya
80 orang dinyatakan tewas selama 10 hari karena terseret arus, tersengat
listrik, atau sakit. Kerugian ekonomi diperkirakan mencapai 4,3 triliun rupiah.
Warga yang mengungsi mencapai 320.000 orang hingga 7 Februari 2007.
Inilah Jakarta. Denyut nadi
kehidupannya tidak dapat dilumpuhkan dengan demontrasi besar-besaran, tidak
pula dengan mogok buruh dan karyawan. Ia hanya dapat dilumpuhkan dengan banjir
besar.
Sumber:
2.
http://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_Jakarta_2007
3.
HU REPUBLIKA, Senin, 22 Juni 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar