Pas liburan sekolah, atau
menjelang masuk tahun ajaran sekolah baru, pasti akan banyak orang tua yang
meng-khitan-kan anak-anaknya. Tujuannya agar setelah ber-khitan (sunat), mereka
cukup waktu untuk memulihkan ‘senjata’nya
dan tak perlu bolos sekolah. Lain halnya dengan anakku, Razijed. Ia baru saja
berkhitan pada 04 Desember 2017 kemarin, saat libur sekolah telah lama usai. Usianya
belum sempurna 7 (tujuh) tahun, masih kurang dua purnama, namun ia sudah kebelet pengen disunat karena merasa
ter-provokasi lantaran saudaranya yang lain, yang usianya lebih muda darinya
sudah sunat.
Sebagai orang tua, mau tak mau
aku harus menuruti anak lelaki-ku ini. “Untung
saja ia sudah mau sunat,” batinku. Tadinya aku rada sulit untuk
membujuk-nya bersunat. Ia masih takut. Beragam iming-iming dan bujukan tak juga
meluluhkan hatinya untuk berani ber-sunat. Nah, kebetulan pas ia minta sunat,
dengan gerak cepat kusambar tantangan itu. Sebelum ia berubah pikiran, segera saja
kudaftarkan ia di Rumah Sunat agar dapat dibuatkan appointment dengan dokter
sunatnya. Dan, sehari sebelumnya, pada Jumat, (3/2) petugas sudah
memberitahukanku bahwa jadwal sunat anakku pada esok hari, Sabtu, jam 10 pagi.
Razijed bersunat di Rumah Sunat yang ada di Jl. Mampang prapatan XV.
Kami (aku dan istri) sengaja
tak menggelar resepsi pesta khitanan anak kami. Disamping tak mau merepotkan
sanak saudara, kami juga tak mau membebankan diri dengan sesuatu yang kami
nilai kurang urgent. Toch yang
penting doa-nya. Begitulah, tak ada kemeriahan pesta sebagaimana dilakukan
sebagian masyarakat kita bila merayakan anaknya yang berkhitan. Razijed juga
tak minta apa-apa. Ia hanya minta dibelikan hotwhels, mainan kesukaannya, itu
saja.
Sorenya, selepas Ashar, sebagai
rasa syukur Razijed telah ber-khitan, kami mengundang tetangga sekitar rumah untuk
menggelar selamatan/tasyakuran sekaligus Maulid Nabi Muhammad SAW. Tadinya
acara syukuran itu bakal digelar keesokan harinya, pada Ahad (5/2) pagi, namun
lantaran berbarengan juga dengan tetangga depan rumah yang kebetulan juga mengadakan
resepsi khitanan anaknya, maka mau tak mau, sebagai warga baru dan junior
ketimbang tetanggaku itu, aku harus mengalah dan memajukan acara syukuran
Razijed menjadi sabtu sore. Dengan dipimpin oleh ustaz setempat dan mengundang
guruku, Habib Umar bin Ahmad Al-Hamid, kami sekeluarga memohon berkat dan doa
dari yang hadir agar anakku menjadi anak yg sholeh.
Selesai meng-khitankan
Razijed, legalah hati ini. Kini tuntas sudah salah satu kewajibanku sebagai
ayah, dimana salah satu obligation
itu adalah meng-khitankannya. Sekarang Razijed telah resmi menyandang predikat
sebagai lelaki muslim, umat Nabi Muhammad SAW lantaran telah berkhitan. Menurut
Guruku, Habib Umar, bahwa salah satu pembeda antara umat Nabi Muhammad SAW dan
umat-umat lainnya adalah dalam hal ber-khitan.
Syahdan, ihwal ber-khitan ini
telah termaktud dalam kitab-kitab Taurat dan Injil. Para rabi dan pendeta sebagai
figur yang mendalami isi kandungan kedua kitab itu, sudah mengetahui bahwa akan
ada nabi penutup akhir zaman yang salah satu cirinya antara lain, bahwa umat
atau pengikutnya ber-khitan. Yang menjadi pertanyaan adalah, dimana nabi akhir
zaman itu berada? Kapan dan dimana ia diutus? Tidak ada yang tahu, dan tidak
ada yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Namun sedikit clue atau petunjuk yang diketahui oleh
para rabi dan pendeta itu adalah bahwa umat atau pengikut nabi akhir zaman itu
ber-khitan. Hanya itu.
Dahulu kala, tentu kabar berita
akan/telah datangnya seorang nabi atau orang yang mengaku sebagai nabi tidak
mungkin dapat diketahui oleh umat manusia yang lain secara cepat, selain kabar
dari mulut ke mulut. Namun demikian, setiap kali ada kafilah dagang yang mampir
ke Syam, sebagai pusat bisnis dunia saat itu, para rabi dan pendeta selalu menelisik
dengan menanyakan kepada para rombongan pedagang tentang siapa dari para kafilah
atau rombongan dagang itu yang ber-khitan. Selidik punya selidik ternyata orang
Arab (Makkah dan Madinah) kebanyakan penduduknya bersunat. Nah, begitu tahu informasi
(clue) itu, para rabi dan pendeta itu spontan berseru bahwa nabi akhir zaman telah
hadir dan berada di Makkah/Madinah. Begitulah kisahnya.
Berbicara tentang kisah
bersunat, tidak seperti Razijed, aku ber-sunat ketika umurku belum genap enam
tahun. Pada tahun 80-an, di kalangan para orang tua Betawi di Kampung Kebon, boleh
dibilang tak ada anak-anak yang bersunat diatas usia 7 atau 8 tahun, apalagi selepas
SD, seperti kebanyakan anak-anak dari etnis tertentu. Adalah pantangan bagi si
anak, bila hendak mendaftar masuk sekolah dasar, belum bersunat. Ia akan di
bully oleh teman-teman sebayanya yang telah bersunat. Maka menjelang masuk
sekolah, oleh orang tuaku, aku diharuskan untuk bersunat dahulu. “Biar kalau pipis di WC sekolah gak meleber
kemana-mana,” kata ibuku.
Sama seperti Razijed, saat aku
kecil dulu, aku dan juga teman-temanku yang lain biasanya bersunat secara
barengan. Bukan barengan dalam arti ikut sunatan massal, namun kami, anak-anak Kampung
Kebon bersunat dengan mengajak kerabat atau sepupu yang kebetulan berumuran
sama. Ya, biasanya kami bersunat berdua, bertiga atau berempat. Jarang ada yang
berani sunat sendirian, mereka pasti ngajak
teman atau saudaranya. Kalau sunat rame-rame, paling tidak bisa berbagi rasa
takut, hehe.. Disamping itu, dengan sunat
barengan, orangtua kami tentu dapat berhemat. Maklum, waktu itu zaman susah,
tentu lebih ngirit bila acara sunatan
digabung dengan saudara dekat. Aku bersunat bersama Hafiz, sepupuku dan Hamdi,
sepupu si Hafiz. Usia kami bertiga tak
jauh beda, hanya selisih
setahun. Hafiz paling tua diatara kami. Nah,
Razijed juga sunat bertiga dengan sepupunya, yakni Naufal (8) dan Mada (5).
Seminggu sebelum sunat, aku
dibelikan baju dan sarung serta kopiah hitam baru. Oleh orang tua, aku diajak
pergi ke di Pasar Blok A. Seperti juga Razijed yang bahagia dibelikan hotwhels,
aku pun bahagia dibelikan sarung dan peci hitam. Perlengkapan itu nantinya akan
aku kenakan pas hari H-nya di sunat.
Pagi-pagi sekali saat hendak
disunat, kami telah dibangunkan. Malam itu aku bermalam di rumah pamanku, Ncang
Amin. Kesibukan di rumah Ncangku ini telah berlangsung sejak selepas Isya.
Ibu-ibu memasak untuk hidangan selamatan di pagi hari. Mereka mempersiapkan
nasi uduk lengkap dengan lauknya. Persiapan untuk acara sunat keesokan pagi
telah disiapkan sejak sore harinya. Selepas subuh teng kami telah bersiap. Sudah dimandikan, sudah dipakaikan baju.
Tatkala dipakaikan baju itulah kami dibisiki dengan aneka bujuk rayu dan
kata-kata pembangkit semangat, bila selepas sunat akan makan makanan enak.
Waktu itu ibuku bilang akan memberikan aku potongan paha ayam (kampung) jago
yang besar. Ya, meski ayam goreng, namun makanan itu sudah tentu menjadi lauk
yang termewah sepanjang hidupku lantaran jarang aku memakannya.
Bila Razijed memakai metode
sunat Smart Clamp, dengan tenaga dokter terlatih, aku cukup hanya di dukun
sunat. Sang dukun memotong ujung penisku tidak dengan pisau, tapi dengan buluh
bambu yang tajam. Nama dukun sunatnya Bang Yadi. Ia tinggal di Mampang. Entah memakai
jampi-jampi apa, yang pasti, proses pemotongan itu tak sampai 15 detik. Begitu Bang
Yadi datang, biasanya ia akan memegang ujung kulit penis sambil berkata:
“Wah ini masih kecil blom boleh disunat.”
Kami yang mendengar kata “belum
boleh disunat” tentu girang lantaran
tak jadi sunat. Dan ajaib, sebelum ucapan itu rampung dengan sempurna, ujung
kulit penisku sudah putus, dan darah mengalir. Dengan cekatan langsung ia
berikan obat salfatilamit dan darah itu berhenti mengucur. Begitulah, proses
sunat hanya berlangsung mungkin sekitar 7 detik saja.
Bila Razijed bersunat
didampingi olehku sebagai ayahnya, maka saat aku sunat dulu, aku dipangku oleh
ibuku. Hafiz dipangku oleh bibi dari ayahnya, Nenek Fat. Sedangkan Hamdi
dipangku oleh ibunya. Saat sunat, agar mudah prosesnya, kami dipakaikan sarung,
bukan celana. Diantara kami bertiga, kulihat Hafiz, paling berani. Ia sudah
‘koar-koar’ tak takut untuk disunat. Kalau aku, cukup tahu diri, aku lebih
muda, takut sudah pasti, namun untuk menutupi ketakutan itu, aku tak banyak
cakap. Nah, pas tiba disunat, ternyata si Hafiz yang nangis (teriak-nya) paling
kencang. Darahnya-pun banyak keluar ketimbang kami berdua yang hanya menangis
sesunggukan. Ia rupanya shocked
mengetahui darah keluar banyak dari penis-nya. Untung disampingnya ada Nenek
Fat yang menghiburnya. Selepas sunat, kami langsung berphoto. Ada tukang photo
keliling yang mengabadikan moment bersejarah itu. Jepret.
Selesai prosesi ber-sunat itu,
langsung para tetangga dan handai taulan datang ke rumah Ncang-ku. Sekira jam
08 pagi diadakan selamatan. Kami didoakan. Selepas acara, banyak orang
memberikan kami uang jajan yang jumlahnya sangat banyak untuk ukuran anak kecil
sepertiku. Saat itu memang tak lazim ada pesta seperti yang saat ini gencar
dilakukan. Jadi, sesudah sunat hanya selamatan saja. Tidak dipajang di
pelaminan seperti penganten sunat.
Setelah acara selamatan itu,
selesai pula acara ritual sunatan kami. Sambil memakan potongan paha ayam
goreng, makanan terlezat yang pernah aku santap, aku mulai menghitung uang
pemberian dari para kerabat dan tetangga. Banyak pula rupanya uang yang aku
peroleh. Oleh orang tua-ku, uang itu sebagian dibelikan mainan, sebagian ada
yang ditabung. Itulah sekelumit kisah ber-khitan antara aku dan anakku,
Razijed.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar