Senin, 06 Februari 2017

Saat Aku dan Anakku Ber-khitan

Pas liburan sekolah, atau menjelang masuk tahun ajaran sekolah baru, pasti akan banyak orang tua yang meng-khitan-kan anak-anaknya. Tujuannya agar setelah ber-khitan (sunat), mereka cukup waktu untuk memulihkan  ‘senjata’nya dan tak perlu bolos sekolah. Lain halnya dengan anakku, Razijed. Ia baru saja berkhitan pada 04 Desember 2017 kemarin, saat libur sekolah telah lama usai. Usianya belum sempurna 7 (tujuh) tahun, masih kurang dua purnama, namun ia sudah kebelet pengen disunat karena merasa ter-provokasi lantaran saudaranya yang lain, yang usianya lebih muda darinya sudah sunat.

Sebagai orang tua, mau tak mau aku harus menuruti anak lelaki-ku ini. “Untung saja ia sudah mau sunat,” batinku. Tadinya aku rada sulit untuk membujuk-nya bersunat. Ia masih takut. Beragam iming-iming dan bujukan tak juga meluluhkan hatinya untuk berani ber-sunat. Nah, kebetulan pas ia minta sunat, dengan gerak cepat kusambar tantangan itu. Sebelum ia berubah pikiran, segera saja kudaftarkan ia di Rumah Sunat agar dapat dibuatkan appointment dengan dokter sunatnya. Dan, sehari sebelumnya, pada Jumat, (3/2) petugas sudah memberitahukanku bahwa jadwal sunat anakku pada esok hari, Sabtu, jam 10 pagi. Razijed bersunat di Rumah Sunat yang ada di Jl. Mampang prapatan XV.

Kami (aku dan istri) sengaja tak menggelar resepsi pesta khitanan anak kami. Disamping tak mau merepotkan sanak saudara, kami juga tak mau membebankan diri dengan sesuatu yang kami nilai kurang urgent. Toch yang penting doa-nya. Begitulah, tak ada kemeriahan pesta sebagaimana dilakukan sebagian masyarakat kita bila merayakan anaknya yang berkhitan. Razijed juga tak minta apa-apa. Ia hanya minta dibelikan hotwhels, mainan kesukaannya, itu saja.

Sorenya, selepas Ashar, sebagai rasa syukur Razijed telah ber-khitan, kami mengundang tetangga sekitar rumah untuk menggelar selamatan/tasyakuran sekaligus Maulid Nabi Muhammad SAW. Tadinya acara syukuran itu bakal digelar keesokan harinya, pada Ahad (5/2) pagi, namun lantaran berbarengan juga dengan tetangga depan rumah yang kebetulan juga mengadakan resepsi khitanan anaknya, maka mau tak mau, sebagai warga baru dan junior ketimbang tetanggaku itu, aku harus mengalah dan memajukan acara syukuran Razijed menjadi sabtu sore. Dengan dipimpin oleh ustaz setempat dan mengundang guruku, Habib Umar bin Ahmad Al-Hamid, kami sekeluarga memohon berkat dan doa dari yang hadir agar anakku menjadi anak yg sholeh.

Selesai meng-khitankan Razijed, legalah hati ini. Kini tuntas sudah salah satu kewajibanku sebagai ayah, dimana salah satu obligation itu adalah meng-khitankannya. Sekarang Razijed telah resmi menyandang predikat sebagai lelaki muslim, umat Nabi Muhammad SAW lantaran telah berkhitan. Menurut Guruku, Habib Umar, bahwa salah satu pembeda antara umat Nabi Muhammad SAW dan umat-umat lainnya adalah dalam hal ber-khitan.

Syahdan, ihwal ber-khitan ini telah termaktud dalam kitab-kitab Taurat dan Injil. Para rabi dan pendeta sebagai figur yang mendalami isi kandungan kedua kitab itu, sudah mengetahui bahwa akan ada nabi penutup akhir zaman yang salah satu cirinya antara lain, bahwa umat atau pengikutnya ber-khitan. Yang menjadi pertanyaan adalah, dimana nabi akhir zaman itu berada? Kapan dan dimana ia diutus? Tidak ada yang tahu, dan tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Namun sedikit clue atau petunjuk yang diketahui oleh para rabi dan pendeta itu adalah bahwa umat atau pengikut nabi akhir zaman itu ber-khitan. Hanya itu.

Dahulu kala, tentu kabar berita akan/telah datangnya seorang nabi atau orang yang mengaku sebagai nabi tidak mungkin dapat diketahui oleh umat manusia yang lain secara cepat, selain kabar dari mulut ke mulut. Namun demikian, setiap kali ada kafilah dagang yang mampir ke Syam, sebagai pusat bisnis dunia saat itu, para rabi dan pendeta selalu menelisik dengan menanyakan kepada para rombongan pedagang tentang siapa dari para kafilah atau rombongan dagang itu yang ber-khitan. Selidik punya selidik ternyata orang Arab (Makkah dan Madinah) kebanyakan penduduknya bersunat. Nah, begitu tahu informasi (clue) itu, para rabi dan pendeta itu spontan berseru bahwa nabi akhir zaman telah hadir dan berada di Makkah/Madinah. Begitulah kisahnya.

Berbicara tentang kisah bersunat, tidak seperti Razijed, aku ber-sunat ketika umurku belum genap enam tahun. Pada tahun 80-an, di kalangan para orang tua Betawi di Kampung Kebon, boleh dibilang tak ada anak-anak yang bersunat diatas usia 7 atau 8 tahun, apalagi selepas SD, seperti kebanyakan anak-anak dari etnis tertentu. Adalah pantangan bagi si anak, bila hendak mendaftar masuk sekolah dasar, belum bersunat. Ia akan di bully oleh teman-teman sebayanya yang telah bersunat. Maka menjelang masuk sekolah, oleh orang tuaku, aku diharuskan untuk bersunat dahulu. “Biar kalau pipis di WC sekolah gak meleber kemana-mana,” kata ibuku.

Sama seperti Razijed, saat aku kecil dulu, aku dan juga teman-temanku yang lain biasanya bersunat secara barengan. Bukan barengan dalam arti ikut sunatan massal, namun kami, anak-anak Kampung Kebon bersunat dengan mengajak kerabat atau sepupu yang kebetulan berumuran sama. Ya, biasanya kami bersunat berdua, bertiga atau berempat. Jarang ada yang berani sunat sendirian, mereka pasti ngajak teman atau saudaranya. Kalau sunat rame-rame, paling tidak bisa berbagi rasa takut, hehe.. Disamping itu, dengan sunat barengan, orangtua kami tentu dapat berhemat. Maklum, waktu itu zaman susah, tentu lebih ngirit bila acara sunatan digabung dengan saudara dekat. Aku bersunat bersama Hafiz, sepupuku dan Hamdi, sepupu si Hafiz.  Usia kami bertiga tak jauh beda, hanya selisih setahun. Hafiz paling tua diatara kami. Nah, Razijed juga sunat bertiga dengan sepupunya, yakni Naufal (8) dan Mada (5).

Seminggu sebelum sunat, aku dibelikan baju dan sarung serta kopiah hitam baru. Oleh orang tua, aku diajak pergi ke di Pasar Blok A. Seperti juga Razijed yang bahagia dibelikan hotwhels, aku pun bahagia dibelikan sarung dan peci hitam. Perlengkapan itu nantinya akan aku kenakan pas hari H-nya di sunat.

Pagi-pagi sekali saat hendak disunat, kami telah dibangunkan. Malam itu aku bermalam di rumah pamanku, Ncang Amin. Kesibukan di rumah Ncangku ini telah berlangsung sejak selepas Isya. Ibu-ibu memasak untuk hidangan selamatan di pagi hari. Mereka mempersiapkan nasi uduk lengkap dengan lauknya. Persiapan untuk acara sunat keesokan pagi telah disiapkan sejak sore harinya. Selepas subuh teng kami telah bersiap. Sudah dimandikan, sudah dipakaikan baju. Tatkala dipakaikan baju itulah kami dibisiki dengan aneka bujuk rayu dan kata-kata pembangkit semangat, bila selepas sunat akan makan makanan enak. Waktu itu ibuku bilang akan memberikan aku potongan paha ayam (kampung) jago yang besar. Ya, meski ayam goreng, namun makanan itu sudah tentu menjadi lauk yang termewah sepanjang hidupku lantaran jarang aku memakannya.

Bila Razijed memakai metode sunat Smart Clamp, dengan tenaga dokter terlatih, aku cukup hanya di dukun sunat. Sang dukun memotong ujung penisku tidak dengan pisau, tapi dengan buluh bambu yang tajam. Nama dukun sunatnya Bang Yadi. Ia tinggal di Mampang. Entah memakai jampi-jampi apa, yang pasti, proses pemotongan itu tak sampai 15 detik. Begitu Bang Yadi datang, biasanya ia akan memegang ujung kulit penis sambil berkata:
“Wah ini masih kecil blom boleh disunat.”
Kami yang mendengar kata “belum boleh disunat” tentu girang lantaran tak jadi sunat. Dan ajaib, sebelum ucapan itu rampung dengan sempurna, ujung kulit penisku sudah putus, dan darah mengalir. Dengan cekatan langsung ia berikan obat salfatilamit dan darah itu berhenti mengucur. Begitulah, proses sunat hanya berlangsung mungkin sekitar 7 detik saja.

Bila Razijed bersunat didampingi olehku sebagai ayahnya, maka saat aku sunat dulu, aku dipangku oleh ibuku. Hafiz dipangku oleh bibi dari ayahnya, Nenek Fat. Sedangkan Hamdi dipangku oleh ibunya. Saat sunat, agar mudah prosesnya, kami dipakaikan sarung, bukan celana. Diantara kami bertiga, kulihat Hafiz, paling berani. Ia sudah ‘koar-koar’ tak takut untuk disunat. Kalau aku, cukup tahu diri, aku lebih muda, takut sudah pasti, namun untuk menutupi ketakutan itu, aku tak banyak cakap. Nah, pas tiba disunat, ternyata si Hafiz yang nangis (teriak-nya) paling kencang. Darahnya-pun banyak keluar ketimbang kami berdua yang hanya menangis sesunggukan. Ia rupanya shocked mengetahui darah keluar banyak dari penis-nya. Untung disampingnya ada Nenek Fat yang menghiburnya. Selepas sunat, kami langsung berphoto. Ada tukang photo keliling yang mengabadikan moment bersejarah itu. Jepret.

Selesai prosesi ber-sunat itu, langsung para tetangga dan handai taulan datang ke rumah Ncang-ku. Sekira jam 08 pagi diadakan selamatan. Kami didoakan. Selepas acara, banyak orang memberikan kami uang jajan yang jumlahnya sangat banyak untuk ukuran anak kecil sepertiku. Saat itu memang tak lazim ada pesta seperti yang saat ini gencar dilakukan. Jadi, sesudah sunat hanya selamatan saja. Tidak dipajang di pelaminan seperti penganten sunat.


Setelah acara selamatan itu, selesai pula acara ritual sunatan kami. Sambil memakan potongan paha ayam goreng, makanan terlezat yang pernah aku santap, aku mulai menghitung uang pemberian dari para kerabat dan tetangga. Banyak pula rupanya uang yang aku peroleh. Oleh orang tua-ku, uang itu sebagian dibelikan mainan, sebagian ada yang ditabung. Itulah sekelumit kisah ber-khitan antara aku dan anakku, Razijed.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar