Pada zaman sekarang, panggilan seorang anak kepada
orang tuanya cukup beragam, mengikuti trend dan gaya yang ada. Mas Agus Yudhoyono
misalnya, memanggil ayahnya dengan panggilan sayang: “Pepo”. Ipan anak Ji Udin Naseh
memanggil ayahnya dengan panggilan (P)Api. Nah, bagi kami anak Kampung Kebon,
Kemang, hanya ada 2 (dua) panggilan yang sering dipakai untuk memanggil bapak
mereka, yakni Baba(e) dan Buya. Ketika itu di tahun 70-an, hampir tak ada yang
memanggil umi dan abi; Bapak dan ibu; Atau papa dan mama. Maklum, kebanyakan
dari kami bukan anak gedongan atau orang berpunya, bisa jadi orangtua kami jengah
juga bila membiasakan anak-anaknya dengan panggilan papah mamah atau papi dan
mami. Namun ada satu temanku bernama Abdurrahman Haji Abdul Majid, yang keluarganya
rada Islami, memanggil orang tuanya dengan panggilan Umi dan Buya. Aku sendiri
menyapa kedua orangtuaku dengan panggilan ibu dan Buya.
Bicara mengenai kedua orang tuaku, bila tahu sejarah
hidup mereka tentu kita akan bercucuran air mata. Bayangkan, Papi dari Ibuku hilang diculik
orang, tak tentu dimana jasad dan kuburnya. Ia yatim selagi dalam kandungan.
Begitupun dengan Buya-ku. Beliau ditinggal mati ayahnya selagi masih kecil,
belum bersekolah. Lantaran
menjadi janda muda, kedua nenekku menikah lagi. Akibatnya, kedua orangtuaku pun
diasuh oleh bapak tiri. Praktis Ibu dan Buyaku tak mengenal dan mengecap kasih sayang dan
belaian ayah biologis
mereka. Tak heran bila gaya dan cara
mereka mendidik anak, tak meng-copy
paste ajaran dan pola pendidikan dari ayah
mereka. Kedua
orang tuaku hanya dididik oleh ibu-ibu mereka. Tak ada prototype dan figure ayah dalam diri
mereka berdua.
Mungkin karena ‘dendam’ lantaran tak menikmati belaian
dan kasih sayang seorang ayah, aku, sebagai anak lelaki pertama-nya, sangat
ia sayangi.
Beragam permaianan meskipun tak banyak, pernah aku punyai. Bola, misalnya, (teman-teman)
yang lain belum punya, aku sudah dibelikan.
Seingatku, hanya aku yang punya bola kulit,
yang rada bagus. Aku masih ingat, bola ku pernah dipinjam
oleh uwakku, sepupu ibuku, untuk main bola anak-anak yang usianya jauh
diatasku. Mereka
bermain di Pusri, di pinggir kali kecil yang airnya masih sangat jernih. Sayangnya setelah dipinjam, bola itu tak
kembali padaku. Bola itu hilang atau pecah(?) Sedih juga saat ibuku mencecarku
dengan pertanyaan, bolanya mana? Aku hanya dapat menggeleng tanda tak tahu. Padahal
bola itu dibelikan oleh Buyaku. Seperti
anak-anak lainnya, sejak kecil aku suka main bola. Benda apa saja yang ada di
depanku, pasti akan kutendang. Tahu
anaknya suka bola, sebagai ayah yang baik
dibelikannya aku bola.
Sama seperti anak tetangga depan rumahku di Condet. Dulu, selagi kecil aku paling suka naik motor. Sebelum Buyaku
berangkat kerja, aku pasti minta dianterin jalan-jalan naik motor. Tak jauh,
hanya setengah kilo, keluar dari rumah. Dibonceng di depan, duduk di
tangki bensin, adalah kebahagiaan tersendiri bagiku yang kala itu belum
bersekolah. Senengnya bukan main. Maklum, tidak seperti Razi dan Ranza yang
sering aku ajak piknik, keluargaku hidup di zaman susah. Masa kecilku jarang
piknik. Seingatku, aku pernah piknik dengan Ibu dan Buyaku ke Jakarta Fair, di
Gambir, Monas. Bertiga kami naik motor dari Kemang ke Monas. Seperti biasa, aku
didudukkan didepan, diatas tangki bensin. Selepas Maghrib kami berangkat
menyusuri Jalan Jenderal Sudirman yang masih sepi dengan bangunan menjulang.
Aku masih ingat, hanya ada Show Room Toyota di dekat Dukuh Atas. Inilah mungkin
salah satu moment terindahku saat kecil, dibonceng motor hingga jauh ke Monas oleh
Buyaku.
Oh ya, saban
sore, saat Buyaku pulang ke rumah, yang selalu kutanyakan adalah: “Bawa
koran gak Yah?”
Tanpa berkata apa-apa, ia keluarkan lipatan koran
dari balik jaket yang menutupi badannya. Aku memang baru lancar membaca. Apa
saja pasti akan kubaca. Koran
yang dibawa Buyaku adalah Pos Kota. Berita-berita pembunuhan
dan kriminalitas di halaman satu, yang hurupnya tercetak besar dan bold, aku baca habis. Selain itu berita
olahraga, terutama sepakbola tak luput dari amatanku.
Aku dan Buyaku memang jarang bercakap-cakap. Ia
terlalu banyak diam. Berbicara kepadaku hanya seperlunya. We were opposite. We would ‘fight’ and argue. But, I never doubted his
love. He would do anything for me. Tadinya ia berharap aku menjadi seorang
ulama, hingga ia rela menyekolahkanku jauh ke pesantren. Karena aku tak
tertarik menekuni agama, ia pun mengidamkanku menjadi seorang diplomat, agar
bisa selalu pakai dasi dan berjas. 'Kan keliatan gagah dan selalu bepergian
ke luar negeri, katanya. Sayang harapan itu tak terwujud. Mungkin kalau ia
masih hidup dan menyaksikan aku pernah (diundang) pergi ke Amerika, ke negara
yang paling jauh dari Kampung Kebon, Kemang, dan memakai jas berdasi, ia akan
tersenyum melihatku.
Ada kebiasaan menarik yang dilakukan oleh Buyaku
sebelum men-sela (memanaskan) motor di pagi hari. Ia akan menambal tangki
bensinnya yang selalu bocor. Seharusnya tangki itu diganti, namun karena tak
ada uang untuk menggantinya, terpaksa ditambal dengan sejenis (sabun?)
batangan. Motornya sendiri sudah tua. Berwarna merah. Nah, pas Mandra, lewat
sinetron Si Doel Anak Sekolahan sedang naik daun dan mengiklankan motor merk Honda
keluaran terbaru, kebetulan pula ada kelebihan rezeki, Buyaku mengganti motor
tuanya dengan motor “mandra’. Motor itu bertahan menemani pulang pergi Buyaku
dari rumah ke Gandaria, hingga ia berpulang ke haribaan-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar