Kamis, 23 Februari 2017

I Never Doubted His Love

Pada zaman sekarang, panggilan seorang anak kepada orang tuanya cukup beragam, mengikuti trend dan gaya yang ada. Mas Agus Yudhoyono misalnya, memanggil ayahnya dengan panggilan sayang: “Pepo”. Ipan anak Ji Udin Naseh memanggil ayahnya dengan panggilan (P)Api. Nah, bagi kami anak Kampung Kebon, Kemang, hanya ada 2 (dua) panggilan yang sering dipakai untuk memanggil bapak mereka, yakni Baba(e) dan Buya. Ketika itu di tahun 70-an, hampir tak ada yang memanggil umi dan abi; Bapak dan ibu; Atau papa dan mama. Maklum, kebanyakan dari kami bukan anak gedongan atau orang berpunya, bisa jadi orangtua kami jengah juga bila membiasakan anak-anaknya dengan panggilan papah mamah atau papi dan mami. Namun ada satu temanku bernama Abdurrahman Haji Abdul Majid, yang keluarganya rada Islami, memanggil orang tuanya dengan panggilan Umi dan Buya. Aku sendiri menyapa kedua orangtuaku dengan panggilan ibu dan Buya.

Bicara mengenai kedua orang tuaku, bila tahu sejarah hidup mereka tentu kita akan bercucuran air mata. Bayangkan, Papi dari Ibuku hilang diculik orang, tak tentu dimana jasad dan kuburnya. Ia yatim selagi dalam kandungan. Begitupun dengan Buya-ku. Beliau ditinggal mati ayahnya selagi masih kecil, belum bersekolah. Lantaran menjadi janda muda, kedua nenekku menikah lagi. Akibatnya, kedua orangtuaku pun diasuh oleh bapak tiri. Praktis Ibu dan Buyaku tak mengenal dan mengecap kasih sayang dan belaian ayah biologis mereka. Tak heran bila gaya dan cara mereka mendidik anak, tak meng-copy paste ajaran dan pola pendidikan dari ayah mereka. Kedua orang tuaku hanya dididik oleh ibu-ibu mereka. Tak ada prototype dan figure ayah dalam diri mereka berdua.

Mungkin karena ‘dendam’ lantaran tak menikmati belaian dan kasih sayang seorang ayah, aku, sebagai anak lelaki pertama-nya, sangat ia sayangi. Beragam permaianan meskipun tak banyak, pernah aku punyai. Bola, misalnya, (teman-teman) yang lain belum punya, aku sudah dibelikan. Seingatku, hanya aku yang punya bola kulit, yang rada bagus. Aku masih ingat, bola ku pernah dipinjam oleh uwakku, sepupu ibuku, untuk main bola anak-anak yang usianya jauh diatasku. Mereka bermain di Pusri, di pinggir kali kecil yang airnya masih sangat jernih. Sayangnya setelah dipinjam, bola itu tak kembali padaku. Bola itu hilang atau pecah(?) Sedih juga saat ibuku mencecarku dengan pertanyaan, bolanya mana? Aku hanya dapat menggeleng tanda tak tahu. Padahal bola itu dibelikan oleh Buyaku. Seperti anak-anak lainnya, sejak kecil aku suka main bola. Benda apa saja yang ada di depanku, pasti akan kutendang. Tahu anaknya suka bola, sebagai ayah yang baik dibelikannya aku bola.

Sama seperti anak tetangga depan rumahku di Condet. Dulu, selagi kecil aku paling suka naik motor. Sebelum Buyaku berangkat kerja, aku pasti minta dianterin jalan-jalan naik motor. Tak jauh, hanya  setengah kilo, keluar dari rumah. Dibonceng di depan, duduk di tangki bensin, adalah kebahagiaan tersendiri bagiku yang kala itu belum bersekolah. Senengnya bukan main. Maklum, tidak seperti Razi dan Ranza yang sering aku ajak piknik, keluargaku hidup di zaman susah. Masa kecilku jarang piknik. Seingatku, aku pernah piknik dengan Ibu dan Buyaku ke Jakarta Fair, di Gambir, Monas. Bertiga kami naik motor dari Kemang ke Monas. Seperti biasa, aku didudukkan didepan, diatas tangki bensin. Selepas Maghrib kami berangkat menyusuri Jalan Jenderal Sudirman yang masih sepi dengan bangunan menjulang. Aku masih ingat, hanya ada Show Room Toyota di dekat Dukuh Atas. Inilah mungkin salah satu moment terindahku saat kecil, dibonceng motor hingga jauh ke Monas oleh Buyaku.

Oh ya, saban sore, saat Buyaku pulang ke rumah, yang selalu kutanyakan adalah: “Bawa koran gak Yah?”
Tanpa berkata apa-apa, ia keluarkan lipatan koran dari balik jaket yang menutupi badannya. Aku memang baru lancar membaca. Apa saja pasti akan kubaca. Koran yang dibawa Buyaku adalah Pos Kota. Berita-berita pembunuhan dan kriminalitas di halaman satu, yang hurupnya tercetak besar dan bold, aku baca habis. Selain itu berita olahraga, terutama sepakbola tak luput dari amatanku.

Aku dan Buyaku memang jarang bercakap-cakap. Ia terlalu banyak diam. Berbicara kepadaku hanya seperlunya. We were opposite. We would ‘fight’ and argue. But, I never doubted his love. He would do anything for me. Tadinya ia berharap aku menjadi seorang ulama, hingga ia rela menyekolahkanku jauh ke pesantren. Karena aku tak tertarik menekuni agama, ia pun mengidamkanku menjadi seorang diplomat, agar bisa selalu pakai dasi dan berjas. 'Kan keliatan gagah dan selalu bepergian ke luar negeri, katanya. Sayang harapan itu tak terwujud. Mungkin kalau ia masih hidup dan menyaksikan aku pernah (diundang) pergi ke Amerika, ke negara yang paling jauh dari Kampung Kebon, Kemang, dan memakai jas berdasi, ia akan tersenyum melihatku.


Ada kebiasaan menarik yang dilakukan oleh Buyaku sebelum men-sela (memanaskan) motor di pagi hari. Ia akan menambal tangki bensinnya yang selalu bocor. Seharusnya tangki itu diganti, namun karena tak ada uang untuk menggantinya, terpaksa ditambal dengan sejenis (sabun?) batangan. Motornya sendiri sudah tua. Berwarna merah. Nah, pas Mandra, lewat sinetron Si Doel Anak Sekolahan sedang naik daun dan mengiklankan motor merk Honda keluaran terbaru, kebetulan pula ada kelebihan rezeki, Buyaku mengganti motor tuanya dengan motor “mandra’. Motor itu bertahan menemani pulang pergi Buyaku dari rumah ke Gandaria, hingga ia berpulang ke haribaan-Nya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar