Rabu, 27 Desember 2017

Menempatkan Tim Gubernur atau Apalah Namanya

Sebelum era Reformasi, Indonesia hanya mengenal Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) sebagai pemilihan langsung yang melibatkan seluruh rakyat di suatu desa. Namun kini, tak hanya Kades, dari mulai Presiden RI, hingga Ketua RT pun dilakukan pemilihan langsung. Dan, semenjak itulah kita mengenal apa yang disebut Tim Sukses (Timses) atau Relawan dari pasangan calon pemimpin. Masing-masing kandidat membentuk Timses untuk memastikan agar ia dapat memenangi pemilihan tersebut.

Tak hanya Presiden atau Gubernur, bahkan saat ini, untuk pemilihan level RT dan RW di Jakarta pun masing-masing kandidat pasti memakai jasa Timses. Saya pun pernah menjadi tim sukses salah satu calon, --yang kebetulan kerabat saya--, untuk pemilihan RT di Jakarta. Lantaran jagoan saya menang, sebagai ‘imbalannya’ saya di dapuk sebagai Sekretaris RT. Ketua RT terpilih rupanya tahu kapasitas saya, dan jabatan itu memang pantas untuk saya emban.

Dulu, --untuk menjadi Gubernur/Bupati/Walikota--, memang kita tak mengenal Tim Sukses (Timses), seperti yang marak akhir-akhir ini. Kalaupun ada Timses, itu hanyalah kumpulan beberapa teman dari Si Kandidat yang bertugas me-lobby ‘bos besar’ agar Si Kandidat dapat ditunjuk menduduki suatu posisi/jabatan. Tim lobby inipun hanya dua atau tiga orang teman dekat kepercayaan Si Kandidat saja. Nah, ketika lobby yang dilakukan gol, sebagai imbalannya, biasanya mereka di tempatkan sebagai staf (penasehat) pribadi Si Pejabat. Sebutannya bisa staf ahli (Menteri/Gubernur/Bupati). Ya, tim lobby memang dibutuhkan lantaran dulu, pemimpin itu ditunjuk dan/atau mereka yang memperoleh restu untuk menduduki jabatan itu.

Yang namanya Timses tentu tugas pokoknya adalah bagaimana memastikan agar jagoannya memenangi pemilihan. Mereka mulai bekerja sejak Si Kandidat secara mantap hati me-nawaitu-kan dirinya untuk ikut ajang pemilihan. Kerja-kerja spartan pun dimulai. Dari kerjaan sederhana, seperti mencetak, mendistribusikan, hingga memasang spanduk dukungan, sampai pekerjaan yang membutuhkan otak dan pemikiran tingkat dewa, seperti menyusun jargon, program, dan janji-janji Si Kandidat yang akan di tuangkan dalam rencana strategi dan aksi yang nantinya akan diwujudkan bila Si Kandidat menang. Semua itu adalah Job-Desk dari Timses.  

Nah, setelah Si Kandidat berhasil memenangkan pertarungan, apakah mereka melupakan Timsesnya? Biasanya tidak. Si Kandidat tentu takkan melupakan peran dan jasa besar Timses-nya. Mereka tak ingin di-cap sebagai kacang yang lupa pada kulitnya. Si Kandidat tentu tidak akan ‘membuang’ peran, dan hasil kerja keras para Timses, yakni mereka yang banting tulang bekerja tanpa lelah untuk kesuksesan Si Kandidat. Seperti yang dilakukan oleh Jokowi, misalnya. Setelah berhasil memenangi Pilpres RI, maka beliau tidak lupa kepada Timsesnya. Sebagai ungkapan ‘terima kasih,’ banyak Timses yang ditempatkan pada posisi terhormat, entah itu sebagai menteri, Kepala Lembaga Negara, Duta Besar, ataupun komisaris di berbagai BUMN.

Begitupun yang terjadi pasca Pilkada (Gubernur/Bupati/Walikota). Siapapun yang memenangi Pilkada, maka ia akan mengakomodir kepentingan Timses-nya agar dapat berperan, tidak hanya sebelum dan di saat pemilihan berlangsung, namun juga masa ketika Si Kandidat telah memenangi pemilihan itu. Setelah Si Kandidat menang, maka kerja Timses tidak lantas berhenti, namun terus berlanjut. Tentu dengan misi yang berbeda. Setelah menang, maka misinya adalah bagaimana memastikan janji-janji, program, dan kebijakan Si Kandidat dapat direalisasikan dan berjalan dengan baik dan benar.

Lho, bukankah sudah ada para PNS yang akan melaksanakan kebijakan dan janji-janji si Kandidat? Ya, tentu, sebagai aparatur sipil Negara tugas mereka lah memberikan pelayanan terbaik pada masyarakat. Namun apakah kebijakan itu dapat berjalan dengan baik tanpa pengawalan dan supervisi?

Nah disinilah ruang atau celah yang dapat diisi oleh Timses. Tak semua masalah, kebijakan, dan janji-janji program dapat ia (Si Kandidat terpilih) tangani berdua dengan wakilnya. Ia butuh bantuan Tim kerja yang solid. Tim kerja ini bisa dari PNS ataupun para professional yang ahli dibidangnya. Nah, agar kesolidan tim kerja ini berjalan dengan baik, maka anggota-anggotanya harus dikenal dengan baik oleh Si Kandidat. Dan yang dikenal dengan baik tentu bekas atau mantan Timsenya. Nah, tugas “Tim” inilah yang akan memastikan bahwa arah, langkah, dan kebijakan Si Kandidat terpilih dapat dikerjakan oleh para Kepala Dinas/Badan (para PNS) dengan baik, sesuai kebijakan yang digariskan Si Kandidat terpilih.

“Tim’ ini tentu harus mempunyai ‘rumah’. Nah, ‘rumah’ inilah, --entah itu namanya Tim (Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota) Untuk Percepatan Pembangunan, ((T(P/G/B/W/)UPP)), sejatinya adalah untuk memastikan agar arah kebijakan dari Si Kandidat dapat diimplentasikan dengan baik oleh para PNS atau jajaran birokrasi. ‘Rumah/Tim’ ini bisa diisi oleh para PNS yang memang ahli dalam suatu bidang tertentu, bisa pula oleh para mantan Timses Si Kandidat yang memang benar-benar punya kemampuan dan keahlian di bidangnya. Karena dari segi kualitas, mereka pun (para mantan Timses) sangat mumpuni. Datang dari berbagai latar belakang disiplin keilmuan, professional di bidangnya, mulai dari yang tamatan SMA hingga S3.

Kita tentu berharap jangan sampai orang-orang yang berada dalam “Tim” itu, mereka yang tak punya kapasitas. Sebut saja si Udin. Meskipun di Timses, Udin bertugas sebagai koordinator pemasangan bendera dan atribut Si Kandidat, ia tak serta merta bisa masuk “Tim”. Lihat dulu kemampuan Si Udin. Kalau Si Udin cuma jago ngurusin spanduk, misalnya, ya gak cocok untuk masuk di “Tim” yang nantinya akan men-suvervisi program “Ada Apa Dengan Jomblo”, misalnya. Mungkin bisa dicari figur lain yang expert dibidang itu. Begitulah contoh sederhannya. Jangan sampai terjadi “Tim” itu hanya kedok untuk ‘menggaji bulanan’ para Udin-Udin lainnya sebagai ungkapan terima kasih Si Kandidat lantaran sudah dibantu mereka untuk memenangi pemilihan.

Agar kerja “Tim” itu tidak terkesan ‘pasukan/tim siluman’ yang hanya diketahui oleh pihak-pihak tertentu, maka Si Kandidat harus men-transparansi-kan “Tim”-nya. Keterbukaan itu misalnya, dimulai dari masalah pendanaan, dimana anggaran Tim diambil dari pos yang resmi APBN/D. Mereka digaji dengan nominal yang jelas, dengan masa kontrak kerja yang jelas pula. Jangan sampai terjadi dimana, mungkin gaji atau honor seseorang yang membantu kerja Si Kandidat berbeda satu dengan yang lainnya. Tak hanya itu, “Tim” justru diisi oleh para pencari pengalaman kerja, yang tak kredibel di bidangnya, lantaran baru lulus kuliah, dan hanya jago program komputer saja.


Maka, marilah kita berikan kesempatan kepada Si Kandidat terpilih, --siapapun ia-- mulai dari level Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota untuk membuktikan janji-janjinya. Meskipun, untuk menunaikan janji itu dengan cara membentuk “Tim” yang entah namanya apa. Kawal “Tim” itu. Pastikan mereka yang ada di “Tim” adalah pribadi-pribadi (PNS atau Non-PNS) yang benar-benar kompeten (expert) di bidangnya. Bagi Si Kandidat, “Tim” Ini adalah pertaruhan bagi karier politiknya. Karena, begitu ia salah dalam menempatkan figur/seseorang dalam suatu Tim, maka akan berimbas pada kerja dan pemenuhan (janji) program dan kebijakan Si Kandidat. Jika ia berhasil, maka dipastikan ia akan terpilih kembali lima tahun mendatang. Bila gagal, maka wassalam..

Enakan Bos Pria Atau Wanita?

Yang namanya pimpinan atau bos, tentu harus dituruti. Dituruti perintah dan arahannya. Bagi yang pernah jadi bawahan, tentu merasakan suka dukanya punya pimpinan, dengan beragam tipe, pembawaan, dan sifat yang berbeda. Kalau kebetulan dapat bos yang enak, tentu kerja kita akan nyaman. Tidur nyenyak, gaji lancar. Sialnya, kita tak dapat memilih bos, sedangkan bos dapat memilih (kita) anak buah. Tidak fair memang, namun begitulah hukum tak tertulis dari dunia kerja. Kalau kerja kita oke, tentu kita akan dipakai oleh bos manapun. Namun cilakanya, kalau bos gak becus kerja, kita tak dapat mengganti bos, yang ada hanya dapat menggerutu: Kok nasib gw apes banget ya, dapat bos o’on, hehhe..

Selama saya bekerja di kantoran dan jadi bawahan, ada belasan orang yang pernah menyuruh-nyuruh saya. Merekalah atasan langsung saya. Resiko jadi bawahan tentu harus siap untuk disuruh-suruh. Dari mulai yang kerenan, seperti di suruh hadir rapat atau mewakili pimpinan, hingga yang terkesan di’nista’kan, seperti diperintah untuk nyupirin bos, manakala bos meminta saya untuk sekalian menemaninya rapat. Begitulah umumnya nasib para bawahan, kadang diperlakukan enak, kadang pula tak di orangkan.

Nah, meski saya bukan seorang psikolog, namun lantaran sudah lama bekerja sebagai (pegawai) bawahan, maka saya jadi tahu karakter, sifat, dan sikap bos-bos saya. Ada yang baik, ada pula yang jutek. Ada yang ngayomi, ada pula yang masa bodoh. Ada yang enak, ada pula yang tidak, it’s depend on his/her character, dan bagaimana kita ngadepin bos dengan karakter yang --masing-masing-- tentu punya keunikan.

Karena saya pria, tadinya saya pikir punya bos wanita, apalagi cantik, tentu akan menyenangkan. Ya, ketertarikan dengan lawan jenis tentu hal yang manusiawi bagi pria normal seperti saya. Namun diluar hal itu, ternyata punya bos wanita lebih banyak ‘sengsara’-nya ketimbang senangnya. Pengalaman saya tentu berbeda dengan anda. Bisa jadi, anda merasakan sebaliknya. Saya pribadi, kalau boleh milih, tentu lebih nyaman dipimpin oleh pimpinan pria ketimbang wanita. Preferensi saya tentu berbeda dengan anda. Namun yang saya alami, setelah gonta ganti pimpinan, saya jadi tahu kelebihan dan kekurangan dari bos wanita dan bos pria. Mau tahu ulasannya? Begini.

Kodrat (kebanyakan) wanita adalah penakut. Sebaliknya, pria (kebanyakan) adalah pemberani.  Nah, lantaran punya sifat penakut inilah bos wanita tak berani atau lamban dalam mengambil keputusan. Kurang tegas, dan cenderung bermain aman. Kita, yang menjadi anak buahnya kadang gregetan dengan sifat bos (wanita) kayak gini. Akibatnya, seringkali keputusan-keputusan yang sifatnya strategis dan harus diputuskan dengan sesegera mungkin menjadi tertunda lantaran si bos seringkali menunggu arahan dari pimpinan di atasnya. Ia tidak berani memutuskan sendiri.

Oh ya, karena (banyakan) takut, akibatnya bila dihadapkan pada suatu masalah atau tantangan yang butuh pemecahan, ia (bos wanita) gampang panikan. Sifat panikan ini bisa juga diakibatkan karena ia tak punya kompetensi dalam bidang atau urusan yang ia tangani atau pimpin. Apalagi kelemahan ini diperparah dengan ketidakbecusannya dalam hal leadership atau kepemimpinan. Jadilah kita, yang jadi anak buah pontang panting kerja. Ia bisanya hanya ‘meneror’ kerja bawahannya. Menyiapkan kegiatan A, misalnya, si bos wanita akan men-direct kita, harus ini, harus itu. Harus begini, harus begitu. Akhirnya, pekerjaan tak bisa dibawa nyantai.

Sifat panikan inilah yang selalu saya temui tatkala dipimpin oleh wanita. Entah mengapa sifat panik itu selalu muncul, terlebih bila si bos wanita ini di push oleh atasannya untuk memenuhi target kerja. Oh ya, satu lagi. Sifat (kebanyakan) wanita yang penurut dan tak ngeyel-an atau protes-an ketimbang pria. Maka, begitu ia menerima arahan dari atasannya yang lebih tinggi, ia akan selalu berkata “yes”, tanpa pernah berani berkata “No!”. Akibatnya, karena tak berani protes, maka ketika bekerja dan menemui hambatan, akan timbul (sifat) kepanikan lagi. Begitu seterusnya.

Adapun pria, (kebanyakan) suka tantangan. Mereka selalu berani menerima tantangan, even pekerjaan sesulit apapun akan dianggap mudah olehnya. Karena sudah terbiasa menerima tantangan, maka sesulit apapun tantangan kerja, bukan merupakan beban. Irama kerja pun lebih bisa dibuat ‘nyantai’. Nyantai disini bukan berarti kita malas atau asal kerja, namun kerja kita tidak melulu diburu deadline. Selain itu, karena saya pria, maka bila mendapatkan bos pria, ia bisa menjadi partner atau rekan dalam segala hal. Teman diskusi, hobby, bahkan bisa diajak asik.

Terlepas dari itu semua, tentu masing-masing kita bebas berimajinasi. Membayangkan punya bos idaman yang ganteng/cantik, ngayomi, punya leadership, enak, bisa diajak asik, dan tentu membuat para anak buahnya nyaman dalam bekerja. Dan, jangan sampai imajinasi kita rusak gara-gara mendapatkan pimpinan yang tidak hanya lemah leadership-nya namun juga minim kapabilitas. Ibaratnya, bagaimana ia akan mengarahkan anak buah yang sering mondar-mandir Jakarta-London, jika pergi ke Singapura saja ia belum pernah, misalnya. Kalau itu sampai terjadi, hanya ada dua pilihan, anda resign atau terima nasib. Kasian dech loe! hehe..

Sumber Foto: 

Beragam Cara Menjilat Atasan

Bagi para pejabat yang sedang menjabat, agar jabatannya itu aman, maka beragam cara dan upaya dilakukan untuk mempertahankan jabatannya. Ada yang menggunakan cara-cara positif, ada pula yang negatif. Positif berarti bahwa ia akan berusaha semaksimal mungkin bekerja dengan menunjukan prestasi (performa) dan catatan kerja yang baik. Bila sebelum itu kerjanya lamban, misalnya, maka agar posisinya aman, ia akan bekerja lebih cepat dan lebih baik. Tentu bos takkan memecat anak buah yang bekerja baik. Pada akhirnya, pimpinan atau bosnya tetap mempertahankannya. Jabatannya aman.

Cilakanya, bagi mereka (pejabat) yang memang asalnya gak becus kerja, tentu mempunyai masalah tersendiri. Mau kerja bener, gak mampu. Mau menunjukkan prestasi, gak tau apa yang mesti ditunjukkan. Lha wong ia memang tak punya kemampuan. Nah, untuk tipe pejabat seperti ini maka biasanya mereka menggunakan cara negatif untuk mempertahankan jabatannya. Pokoknya segala cara, --kalau perlu pergi ke dukun-- agar jabatannya aman. Tak hanya itu, agar bos besar bersimpati padanya, maka ilmu ‘menjulurkan lidah’ pun digunakan. Apa itu? Ilmu menjilat atasan. Ya, ia berusaha mempertahankan posisi dan jabatannya dengan cara membuat bos senang. Senang akan service-nya, senang terhadap kepatuhan dan ketundukannya. Bagaimanapun juga, bos adalah manusia. Yang namanya manusia tentu senang dipuja puji, senang disanjung sanjung.

Sebagai anak buah, bila bos kita menggunakan cara-cara positif, tentu kita akan senang melihatnya. Kita sama-sama terpacu untuk maju dan berkembang. Masalahnya, tak selamanya kita peroleh bos yang bisa kerja. Bila mendapati bos yang gak capable, maka bersiap-siaplah menyaksikan aneka kekonyolan yang dilakukan si bos demi mempertahankan jabatannya.  Sewaktu bekerja di swasta dulu, kadang saya tertawa geli melihat sikap dan tingkah bos saya bila menerima telepon dari atasannya. Ada kegugupan, takut bercampur panik yang kulihat di raut wajahnya. Disela-sela pembicaraannya selalu terselip kata-kata: “Siap Bu..!” atau “Iya Bu..”
Tak hanya itu, bila hendak berbicara pun, bos saya selalu berucap: “Izin, Bu..” atau “Mohon, Bu..” dan kalimat-kalimat ber-nas kepatuhan antara bawahan terhadap atasannya. Atasan bosku memang seorang wanita, kami memanggilnya Bu Kepala.

Ada cerita menarik yang saya dapatkan dari teman saat makan siang. Menurut cerita temanku, saking takutnya para pejabat dengan Bu Kepala, bahkan sampai ada salah satu bos dari divisi sebelah, sebut saja namanya Pak Dahar, yang rela mengganti tampilan profile picture (Propic) di WA pribadinya lantaran tampilan propic itu tidak sesuai dengan selera Bu Kepala. Saya sampai tertawa ngakak mendengar cerita teman itu. Padahal kalau dipikir, itu adalah HP pribadi dan WA pribadi Pak Dahar. Lha, kenapa Bu Kepala ikut cawe-cawe hanya karena Pak Dahar satu Group WA dengan Bu Kepala. Namun begitulah yang terjadi, hingga hal-hal yang bersifat pribadi, Pak Dahar pun tak berdaya dihadapan Bu Kepala. Bagiku tindakan Pak Dahar yang mengganti Propic-nya adalah lambang dari kebodohan Pak Dahar. Ia takut ber-konfrontasi membela hak pribadinya di depan Bu Kepala. Mungkin karena takut kehilangan jabatan, yang membutakan akal waras Pak Dahar.

Pernah suatu ketika saat menyopiri bos, berdua kami dalam satu mobil, ia berkata; “Mas, Bu Kepala mau datang ke kantor, mau buka acara/kegiatan kita.”
Bagus dong Pak, kalau Bu Kepala datang ke kantor kita,” jawabku acuh tak acuh sambil tetap konsentrasi menyetir, maklum di depan kami melewati jalan sempit yang hanya cukup satu mobil.
Iya, tapi kan aku jadi repot Mas, nyiapin keperluannya.” Gerutu bosku.

Oleh bos-ku, kehadiran Bu Kepala tidak selamanya membawa kebahagiaan. Sering sekali kehadirannya membawa ‘petaka dan mimpi buruk’. Kenapa saya katakan demikian karena bila Bu Kepala datang maka si pejabat (bawahan Bu Kepala) akan menyiapakan segala keperluan, mulai dari kesiapan kerja di unit yang ia pimpin sampai kepada hal-hal teknis yang remeh temeh dan kadang diada-adakan. Nah, hal-hal remeh yang saya nilai lebay inilah yang kadang menyita waktu dan energi kami untuk menyiapkannya.

Si Udin misalnya, OB di kantor ini dipanggil oleh bos-ku. Ia diperintah untuk membeli durian. Iseng ku-tanya padanya. “tumben bapak nyuruh beli duren, emang kenapa, Din?
Iya mas, Bu Kepala kan mau datang, bapak nyuruh saya beli duren, untuk Bu Kepala,” jawab Udin.
Saya tak habis pikir, sampai sebegitunya bos-ku melayani bos-nya. Tak cukup dijamu dengan makan siang dari catering ternama yang biasa di pesan, di ruang kerja bos-ku tersaji pula parsel buah dan aneka snack nampan yang akan menemani makan siang Bu Kepala. Tak hanya itu, rangkaian bunga segar pun menghiasi ruang kerja bos-ku.

Tak hanya Udin. Siti, Pardjo, Mukidi, Septi, dan Pandjul, juga dipanggil ke (lantai) atas untuk diberi arahan. Dalam arahannya kepada para OB dan Tenaga Kebersihan, bos-ku berpesan agar mereka merapikan taman di depan kantor, membersihkan seluruh ruang kerja, pantry hingga toilet yang mungkin nantinya akan di ‘sidak’ oleh Bu Kepala. Ya, jangan sampai terjadi Bu Kepala menemukan ketidak rapihan di kantor kami. Maklum, Bu Kepala dikenal resik. Di mobilnya selalu tersedia buah-buahan segar dan tisu basah. Beliau memang gak betah kotor. Selalu ingin bersih dan rapih.

Bagiku ini adalah bentuk yang luar biasa dari ‘penjilatan’ bawahan kepada atasan. Agar dinilai good boy, bos-ku melayani Bu Kepala dengan segenap jiwa raganya. Pengabdiannya kepada Bu Kepala sangat sepenuh hati. Untuk menggambarkan itu, kalau di militer ada istilah “melebihi panggilan tugas”. Begitulah sikap bos-ku. Selain itu tutur kata dan perilaku bos-ku di depan Bu Kepala juga sangat sopan, laksana rakyat dihadapan rajanya. Tanpa sungkan ia membungkukkan badan tatkala berjabat tangan dengan Bu Kepala. Masih mending itu, bahkan ada salah satu bos dari divisi sebelah yang sampai mencium tangan Bu Kepala saking hormat dan penyerahan diri secara total kepadanya. Bagi saya, (cium tangan) ini perbuatan yang menjijikkan. Selain pada orang tua, guru, dan kerabat (saudara) yang tua, --dalam ajaran yang orang tuaku terapkan-- pantang bagiku mencium tangan seseorang.

Inilah yang lazim terjadi di lingkungan kantor-ku. Demi mempertahankan jabatan, apapun dilakukan asalkan bos senang. Sebenarnya, menjamu atau memperlakukan bos adalah bagian dari tata krama adat ketimuran. Namun bila dalam jamuan itu lebih kental nuansa ‘penjilatan’ ketimbang penghormatan yang wajar, yang ada hanyalah kebodohan yang dipertontonkan.