Sebelum era Reformasi, Indonesia hanya
mengenal Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) sebagai pemilihan langsung yang
melibatkan seluruh rakyat di suatu desa. Namun kini, tak hanya Kades, dari
mulai Presiden RI, hingga Ketua RT pun dilakukan pemilihan langsung. Dan,
semenjak itulah kita mengenal apa yang disebut Tim Sukses (Timses) atau Relawan
dari pasangan calon pemimpin. Masing-masing kandidat membentuk Timses untuk
memastikan agar ia dapat memenangi pemilihan tersebut.
Tak hanya Presiden atau Gubernur, bahkan saat
ini, untuk pemilihan level RT dan RW di Jakarta pun masing-masing kandidat pasti memakai jasa Timses. Saya pun
pernah menjadi tim sukses salah satu calon, --yang kebetulan kerabat saya--,
untuk pemilihan RT di Jakarta. Lantaran jagoan saya menang, sebagai ‘imbalannya’
saya di dapuk sebagai Sekretaris RT. Ketua RT terpilih rupanya tahu kapasitas
saya, dan jabatan itu memang pantas untuk saya emban.
Dulu, --untuk menjadi Gubernur/Bupati/Walikota--,
memang kita tak mengenal Tim Sukses (Timses), seperti yang marak akhir-akhir
ini. Kalaupun ada Timses, itu hanyalah kumpulan beberapa teman dari Si Kandidat
yang bertugas me-lobby ‘bos besar’ agar
Si Kandidat dapat ditunjuk menduduki suatu posisi/jabatan. Tim lobby inipun
hanya dua atau tiga orang teman dekat kepercayaan Si Kandidat saja. Nah, ketika lobby yang dilakukan gol, sebagai imbalannya, biasanya mereka
di tempatkan sebagai staf (penasehat) pribadi Si Pejabat. Sebutannya bisa staf
ahli (Menteri/Gubernur/Bupati). Ya,
tim lobby memang dibutuhkan lantaran dulu, pemimpin itu ditunjuk dan/atau
mereka yang memperoleh restu untuk menduduki jabatan itu.
Yang namanya Timses tentu tugas pokoknya adalah
bagaimana memastikan agar jagoannya memenangi pemilihan. Mereka mulai bekerja
sejak Si Kandidat secara mantap hati me-nawaitu-kan
dirinya untuk ikut ajang pemilihan. Kerja-kerja spartan pun dimulai. Dari kerjaan sederhana, seperti mencetak,
mendistribusikan, hingga memasang spanduk dukungan, sampai pekerjaan yang
membutuhkan otak dan pemikiran tingkat dewa,
seperti menyusun jargon, program, dan janji-janji Si Kandidat yang akan di
tuangkan dalam rencana strategi dan aksi yang nantinya akan diwujudkan bila Si
Kandidat menang. Semua itu adalah Job-Desk
dari Timses.
Nah, setelah Si Kandidat berhasil memenangkan
pertarungan, apakah mereka melupakan Timsesnya? Biasanya tidak. Si Kandidat
tentu takkan melupakan peran dan jasa besar Timses-nya. Mereka tak ingin di-cap
sebagai kacang yang lupa pada kulitnya. Si Kandidat tentu tidak akan ‘membuang’
peran, dan hasil kerja keras para Timses, yakni mereka yang banting tulang
bekerja tanpa lelah untuk kesuksesan Si Kandidat. Seperti yang dilakukan oleh
Jokowi, misalnya. Setelah berhasil memenangi Pilpres RI, maka beliau tidak lupa
kepada Timsesnya. Sebagai ungkapan ‘terima kasih,’ banyak Timses yang
ditempatkan pada posisi terhormat, entah itu sebagai menteri, Kepala Lembaga
Negara, Duta Besar, ataupun komisaris di berbagai BUMN.
Begitupun yang terjadi pasca Pilkada (Gubernur/Bupati/Walikota).
Siapapun yang memenangi Pilkada, maka ia akan mengakomodir kepentingan Timses-nya
agar dapat berperan, tidak hanya sebelum dan di saat pemilihan berlangsung,
namun juga masa ketika Si Kandidat telah memenangi pemilihan itu. Setelah Si Kandidat
menang, maka kerja Timses tidak lantas berhenti, namun terus berlanjut. Tentu dengan
misi yang berbeda. Setelah menang, maka misinya adalah bagaimana memastikan
janji-janji, program, dan kebijakan Si Kandidat dapat direalisasikan dan
berjalan dengan baik dan benar.
Lho, bukankah sudah ada para PNS yang akan melaksanakan
kebijakan dan janji-janji si Kandidat? Ya, tentu, sebagai aparatur sipil Negara
tugas mereka lah memberikan pelayanan terbaik pada masyarakat. Namun apakah
kebijakan itu dapat berjalan dengan baik tanpa pengawalan dan supervisi?
Nah disinilah ruang atau celah yang dapat diisi oleh Timses. Tak semua
masalah, kebijakan, dan janji-janji program dapat ia (Si Kandidat terpilih) tangani
berdua dengan wakilnya. Ia butuh bantuan Tim kerja yang solid. Tim kerja ini
bisa dari PNS ataupun para professional yang ahli dibidangnya. Nah, agar kesolidan tim kerja ini
berjalan dengan baik, maka anggota-anggotanya harus dikenal dengan baik oleh Si
Kandidat. Dan yang dikenal dengan baik tentu bekas atau mantan Timsenya. Nah,
tugas “Tim” inilah yang akan memastikan bahwa arah, langkah, dan kebijakan Si
Kandidat terpilih dapat dikerjakan oleh para Kepala Dinas/Badan (para PNS)
dengan baik, sesuai kebijakan yang digariskan Si Kandidat terpilih.
“Tim’ ini tentu harus mempunyai ‘rumah’. Nah,
‘rumah’ inilah, --entah itu namanya Tim
(Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota) Untuk
Percepatan Pembangunan, ((T(P/G/B/W/)UPP)), sejatinya adalah untuk
memastikan agar arah kebijakan dari Si Kandidat dapat diimplentasikan dengan
baik oleh para PNS atau jajaran birokrasi. ‘Rumah/Tim’ ini bisa diisi oleh para PNS yang memang ahli dalam suatu bidang
tertentu, bisa pula oleh para mantan Timses Si Kandidat yang memang benar-benar
punya kemampuan dan keahlian di bidangnya. Karena dari segi kualitas, mereka
pun (para mantan Timses) sangat mumpuni. Datang dari berbagai latar belakang
disiplin keilmuan, professional di bidangnya, mulai dari yang tamatan SMA
hingga S3.
Kita tentu berharap jangan sampai orang-orang
yang berada dalam “Tim” itu, mereka yang tak punya kapasitas. Sebut saja si
Udin. Meskipun di Timses, Udin bertugas sebagai koordinator pemasangan bendera
dan atribut Si Kandidat, ia tak serta merta bisa masuk “Tim”. Lihat dulu
kemampuan Si Udin. Kalau Si Udin cuma jago
ngurusin spanduk, misalnya, ya gak
cocok untuk masuk di “Tim” yang nantinya akan men-suvervisi program “Ada Apa
Dengan Jomblo”, misalnya. Mungkin bisa dicari figur lain yang expert dibidang itu. Begitulah contoh
sederhannya. Jangan sampai terjadi “Tim” itu hanya kedok untuk ‘menggaji
bulanan’ para Udin-Udin lainnya sebagai ungkapan terima kasih Si Kandidat
lantaran sudah dibantu mereka untuk memenangi pemilihan.
Agar kerja “Tim” itu tidak terkesan
‘pasukan/tim siluman’ yang hanya diketahui oleh pihak-pihak tertentu, maka Si
Kandidat harus men-transparansi-kan
“Tim”-nya. Keterbukaan itu misalnya, dimulai dari masalah pendanaan, dimana
anggaran Tim diambil dari pos yang resmi APBN/D. Mereka digaji dengan nominal
yang jelas, dengan masa kontrak kerja yang jelas pula. Jangan sampai terjadi
dimana, mungkin gaji atau honor seseorang yang membantu kerja Si Kandidat
berbeda satu dengan yang lainnya. Tak hanya itu, “Tim” justru diisi oleh para
pencari pengalaman kerja, yang tak kredibel di bidangnya, lantaran baru lulus
kuliah, dan hanya jago program komputer saja.
Maka, marilah kita berikan kesempatan
kepada Si Kandidat terpilih, --siapapun ia-- mulai dari level Presiden,
Gubernur, Bupati/Walikota untuk membuktikan janji-janjinya. Meskipun, untuk
menunaikan janji itu dengan cara membentuk “Tim” yang entah namanya apa. Kawal
“Tim” itu. Pastikan mereka yang ada di “Tim” adalah pribadi-pribadi (PNS atau
Non-PNS) yang benar-benar kompeten (expert)
di bidangnya. Bagi Si Kandidat, “Tim” Ini adalah pertaruhan bagi karier
politiknya. Karena, begitu ia salah dalam menempatkan figur/seseorang dalam
suatu Tim, maka akan berimbas pada kerja dan pemenuhan (janji) program dan
kebijakan Si Kandidat. Jika ia berhasil, maka dipastikan ia akan terpilih
kembali lima tahun mendatang. Bila gagal, maka wassalam..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar