Selasa, 22 Mei 2018

Kami yang Bekerja di Pulau


Beberapa kali kapal cepat bermesin lima buah merk Suzuki 250 yang kami tumpangi berhenti, dengan mesin tetap menyala. Gelombang sedang tinggi. Biasanya setelah angkat sauh dari Dermaga Marina, satu jam lewat sekian menit, kapal akan merapat di dermaga Pulau Pramuka. Namun kali ini sudah lewat satu setengah jam, kapal belum ada tanda-tanda mendekat,  Pramuka masih jauh terlihat.  Setelah dirasa aman, kapal mulai mengambil ‘ancang-ancang’ memilih jalur yang ‘ramah’ dari terjangan ombak. Kembali mesin bergemuruh menerjang ombak-ombak yang datang menghantam buritan. Para penumpang kembali terjungkal-jungkal. Beruntung tak lama, gelombang tinggi mereda, dermaga Pramuka pun semakin dekat. Akhirnya sampai juga di pulau, tempat dimana kantor bupati Kabupaten Administrasi Jakarta Kepulauan Seribu berada. Syukur Alhamdulillah kami selamat. Nasib tak beruntung dialami kapal milik instansi sejawat yang jalan tak berselang lama dengan kami. Kapal itu tenggelam, karam diterjang ganasnya ombak Laut Jawa. Beruntung semua penumpangnya selamat.

Biasanya kami berangkat Senin pagi, dan kembali ke darat, rabu atau kamis sore, tergantung kebutuhan dan beban kerja melayani warga pulau. Namun ada pula pegawai yang memilih untuk pulang pergi. Artinya, pergi pagi hari, dan pulang dengan kapal predator milik swasata sekitar jam 15. Biasanya, yang seperti ini tiket perjalanannya sudah dianggarkan oleh kantor. Namun, tak banyak dinas (kantor) yang mengalokasikan biaya perjalanan tersebut, tergantung kebutuhannya. Bagi pegawai yang berdinas sebagai pamong, guru, atau tenaga kesehatan, dan melayani langsung masyarakat, biasanya mereka lebih lama stay di pulau. Diatas kertas, jadwal kerja seperti itu, namun cuaca atau kebutuhan orang pulau kadang tak bisa dikira. Jika cuaca buruk, bersiaplah tinggal lebih lama di pulau menunggu ombak reda. Praktis, waktu mereka untuk berkumpul dengan keluarga di darat menjadi berkurang. Itulah resiko dan pengorbanan (baca: pengabdian) pegawai bagi negara, pengorbanan yang harus dinikmati. #eaa

Dalam bekerja, kami terserak di beberapa pulau. Ada yang ditugaskan di ujung nun jauh di utara, di pulau Sebira. Ada pula yang ‘cukup beruntung’ di tempatkan di pulau Untung Jawa yang letaknya hanya setengah jam dari daratan. Rumusnya, dimana ada penduduk, disitulah kami bertugas. Selain dua pulau itu, pulau-pulau yang menjadi medan tugas kami adalah pulau Panggang, Pulau Kelapa; Pulau Harapan; Pulau Tidung; Pulau Pari; Pulau Lancang, dan pulau-pulau lain disekitarnya.

Bagi kami yang ditempatkan di pulau, jangan berharap bakal segera ditarik ke darat bila konduite dan kinerja kami tak optimal. Kalau hanya bekerja menurut rata-rata orang kerja maka hanya ada dua penantian untuk meninggalkan pulau, yakni menunggu pensiun atau menunggu mati (tenggelam). Tak ada pilihan yang menyenangkan memang, namun itulah garis dan suratan takdir yang harus kami jalani. Bila koneksi dan channel tak banyak, jangan berharap akan dilirik pejabat di darat (balaikota) untuk segera ditarik ke darat. Terimalah nasib, bersiap menunggu usia pensiun tiba atau –paling apes-- ajal menjemput untuk keluar dari pulau. Asal kalian tahu, ditugaskan di pulau itu berat, tak banyak pegawai yang kuat, biar kami saja yang memikulnya! Kalian gak kan kuat!

Kami yang bertugas di pulau tentu maklum, kerja (ditugaskan) di darat pasti lebih bergengsi, lebih menantang, more complex ketimbang di pulau. Bila ada pilihan, hampir semua pegawai mungkin akan menghindar bila ditawari berkarier di pulau. Camat Kramat Jati, misalnya tentu lebih mentereng ketimbang jabatan yang sama di kecamatan Kepulauan Seribu Utara, meskipun keduanya sama-sama eselon tiga. Begitupun kepala rumah sakit Pasar Rebo lebih ada dignity ketimbang mengepalai rumah sakut sejenis yang ada di pulau Pramuka. Begitulah, meski pangkat, tunjangan dan gaji relatif tak jauh berbeda, namun gensi kerja atau menjadi pejabat di darat akan mempunyai makna yang bisa membuat dada bertepuk lebih nyaring ketimbang berkarier di pulau.

Namun menariknya, setelah dijalani bulanan hingga berbilang tahun, ternyata menurut rekan-rekan kami yang lama berkarier di pulau, kerja di pulau itu enak, tidak ‘dikejar-kejar’ seperti bila kerja di darat. Kerja bisa dibawa nyantai sembari liburan. Kalau sudah cinta pulau, dijamin takkan mau bila ditarik ke darat. Pulau bagi mereka sudah seperti rumah kedua. Seminggu tak dinas ke pulau seperti setahun tak pulang kampung ‘tuk berlebaran. Sayangnya, tak banyak model pegawai ‘aneh’ macam gini. Rata-rata bila ditawari balik ke darat, pasti kami ngucap syukur.

Sore hari selepas jam kerja, kami biasanya bermain dipinggir pantai, berenang, ataupun sekedar membasahkan telapak kaki agar tersapu ombak laut yang tenang. Yang hobi snorkling, tentu tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Keindahan ikan-ikan di perairan sekitar pulau Pramuka, Harapan, Tidung, dan Pulau Karya sangat layak untuk dicumbu. Oh ya, hanya berjarak hisapan sebatang rokok, Pulau Karya dapat ditempuh dengan menumpang ojek kapal bertarif tiga ribu perak dari Pramuka. Pulau Karya ini adalah pulau tanpa penduduk yang memang diperuntukkan untuk mess pegawai dan aktivitas sebagian roda pemerintahan. Selain renang, memancing adalah kegiatan yang cukup banyak membantu untuk mengatasi kejenuhan bekerja.

Kadang kami tertawa geli ketika mendengar celotehan tamu/mitra kerja ketika kami undang hadir ke Pulau. “Wah, enak ya pak Rachmat, kerja sambal liburan..”
Whattt, loe piker gw piknik?? Grrgrrr.. Begitulah, bagi orang luar melihat kami enak, namun coba saja sebulan bolak balik pulau-darat, dijamin badan renteg
Salam dari pulau!



Pelajaran Kesetiaan Itu Kita Dapat Dari Mursjid


Setelah resmi menyatakan berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia, Pak Harto menyalami semua yang hadir di Istana. Ia salami Presiden (pengganti) BJ Habibie, para lelaki bertoga (Ketua dan Wakil ketua MA), dan beberapa pejabat negara berpakaian safari yang hadir dan menyaksikan peristiwa bersejarah itu. Setelah bersalaman dengan mereka, Pak Harto meninggalkan ruangan tempat upacara, dan dengan bergegas, beberapa orang mengikutinya, termasuk putri kesayangannya, Mba Tutut. Ia lalu beranjak ke ruang Jepara, dimana berkumpul para pimpinan MPR/DPR. Setelah bicara sebentar, ia meninggalkan ruangan itu, langsung keluar menuju beranda istana. Dengan langkah pasti ia turuni kediaman resminya, yang telah ia tempati selama lebih kurang 32 tahun, digamit oleh putrinya yang berkerudung.

Entah, apakah karena terikat oleh aturan protokoler atau ada sebab lain, tak tampak Presiden (pengganti) BJ Habibie mendampinginya saat menuju ke mobil kepresidenan yang telah diubah platnya menjadi plat sipil. Dalam foto-foto sejarah tak tampak pejabat yang menemaninya membuka pintu atau sekadar melambaikan tangan dan berucap: “Selamat jalan pak…!”

Sedetik kemudian, praktis curahan pemberitaan media beralih ke Habibie, sang presiden yang baru. Pak Harto? Tentu diberitakan, namun porsinya bukan sebagai presiden, tapi sebagai mantan presiden dengan pemberitaan ber-tone negatif terkait penyelenggaraan negara yang ia pimpin. Korupsi oleh kroni-kroninya, menjadi bahasan utama media. Sejak saat itu, ia menjadi sosok yang sepi dan sendiri. Ditinggalkan oleh lawan bahkan kawan seperjuangan. 

Beruntung, diantara sekian banyak orang yang meninggalkannya, masih ada sosok yang setia hingga akhir. Meski tahu kapal pasti karam, dan sang nahkoda akan tenggelam bersama kapalnya, ia memilih menemani sang nahkoda bahkan hingga maut memisahkan keduanya. Darinya kita bisa belajar akan arti sebuah kesetiaan. Siapa dia?

Usai Pak Harto mengucapkan kata berhenti, terlihat dalam lintasan kamera sejarah, ada satu pejabat yang masih ngintilin mantan pengusa Orde Baru itu. Dialah Saadilah Mursjid (SM). SM masih mengikuti Pak Harto menuruni tangga istana, terus berlanjut ikut hingga ke kediaman pribadinya di Jalan Cendana. Secara profesional, tak ada kewajiban dari SM untuk melu Pak Harto. Memang, secara kedinasan saat itu ia menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara, tangan kanan sang presiden, Tapi, waktu ia mendampingi Pak Harto menuruni istana, ia bukanlah apa-apanya Pak Harto lagi. Saudara bukan, apalagi keponakan Pak Harto! Kabinet telah demisioner. Bos baru telah dilantik.

Namun itulah yang dapat kita ambil pelajaran dari sosok SM. Ia tak memandang seseorang hanya dalam kacamata hubungan atasan dan bawahan, antara bos dan anak buah, namun lebih dari itu. Ia tahu bahwa persahabatan tak diukur hanya oleh sebatas title dan status diantara dua anak manusia. Kesetiannya dengan Pak Harto menjadikannya seorang sahabat yang tak ada tandingannya.

Dimasa kejayaan Orde Baru, tak banyak yang tahu sosok pria kelahiran 7 September 1937 ini. Ia tenggelam diantara nama-nama besar dan tenar pejabat-pejabat orde baru; Sebut saja; BJ. Habibie, Harmoko, Moerdiono, Akbar Tanjung, Try Sutrisno, LB Moerdani, dan seabrek nama-nama beken lainnya. Menurut Wikipedia, Mursyid mulai menjabat menteri, yakni sebagai Menteri Sekretaris Kabinet pada tahun 1988. Dan ia bukanlah satu-satunya pejabat ‘kesayangan’ Pak Harto. Masih banyak ‘senior’-nya yang mempunyai kedekatan emosional, baik dari jabatan maupun kekeluargaan dengan bapak 6 orang anak ini.  Namun mereka, begitu tahu kapal Soeharto akan karam, beramai ramai meninggalkannya.

Bila dihitung sejak menjabat dan menjadi orang dekat pak Harto (1988) praktis hanya sekitar 10 tahun ia dekat dengan pak Harto. Jika beliau tega’an dan tak menjiwai arti penting sebuah kesetiaan, tentu ia akan mengikuti para ‘senior’nya (mereka yang lebih lama bergaul dengan pak harto) untuk balik kanan, dan meninggalkan sang jendral.

Biarlah, sang jendral menyelesaikan masalahnya sendiri, saya gak mau ikut-ikutan. Bukan apa-apa, takut saya terserat masalahnya. Mungkin itu yang ada di benak mereka.yang meninggalkan Pak Harto. Tak mau ikut-ikutan menanggung beban kesalahan kolektif. Biarlah itu ditanggung Si Bos.

Kesetiaan memang menjadi barang langka dalam hidup ini. Suami/istri tak selamanya setia pada pasangannya. Begitu pasangannya meninggal dunia, ia akan mencari pendamping baru. Begitu pun bos, sering tak setia pada anak buahnya. Ketemu anak buah yang pintar, (anak buah) yang lama akan ditendang. Anak buah pun demikian pula, ketemu bos yang baru, bos lama dicuekin.

Hari ini, tepat 20 tahun reformasi. Diantara kepingan-kepingan peristiwa yang mengiringi perjalanan reformasi itu, tentu ada pelajaran yang bisa kita petik. Dan, kita yang masih hidup akan selalu disuguhkan dengan pelajaran dari model kesetiaan yang ditunjukkan oleh Saadilah Mursjid.
Terima kasih Pak Mursjid!