“Dar der dor suara senapan, Sugali anggap petasan.”
Itulah salah satu penggalan dari lagu Iwan Fals yang cukup
popular decade tahun 80-an yang dapat merefleksikan bunyi kesemarakan suara
petasan yang memekakkan telinga.
Petasan banyak digunakan untuk menyambut berbagai kegiatan
yang lazim dilaksanakan oleh komunitas Betawi di Jakarta. Tak ramai rasanya
suatu acara tanpa ada baker petasan. Sebut saja misalnya sewaktu akan mengarak
penganten sunat betawi; Melepas kepergian keluarga ke tanah suci Mekkah untuk
berhaji; Pembacaan Shalawat Nabi; Menyambut datangnya malam takbiran/lebaran;
Menyambut datangnya besan pengantin pria; dan segala kegiatan dan suka cita
yang dirasakan oleh masyarakat di Jakarta. Intinya, bakar petasan hanya sebatas
untuk menandakan dimulainya kegiatan-kegiatan dengan nuansa kesemarakan,
kegembiraan, dan kemeriahan.
Petasan sudah ada sejak abad ke-18. Bakar petasan dipandang
sebagai symbol sosial dan status gengsi bagi yang memasangnya. Ia akan
dipandang sebagai orang yang berpunya dan disegani. Di Kemang misalnya sempat
ada seloroh, bahwa lebaran belum akan tiba bila Kong Jabir belum nyalain
petasan. Maklum saja, Kong Jabir, sang pemilik puluhan kavling tanah, punya
hobi bakar petasan. Ia adalah salah seorang terpandang di Kemang. Maka bisa
dimaklumi bila saat itu, tak banyak yang sanggup membeli petasan dan
membelanjakan uangnya untuk ‘dibakar’ menjadi suara petasan. Petasan menjadi
bukti akan prestise seseorang dimata kaumnya. Pasalnya, semakin ia banyak
mengadakan suatu kegiatan dan ke-ria-an, maka akan semakin sering pula ia
menyalakan petasan.
Suara petasan yang menggelegar seakan bermakna pemberitahuan
kepada khalayak ramai, para tetangga, kerabat dan handai tolan tentang adanya
suatu acara atau kegiatan. Maklum saja, suara petasan yang nyaring terdengar
dan menggelegar akan segera memancing orang lain untuk datang dan ingin tahu
gerangan apa yang sedang terjadi di dekatnya. Dahulunya, pukul kentongan
bukanlah sesuatu yang familiar untuk masyarakat Jakarta , seperti yang biasa digunakan oleh
masyarakat dipedesaan di pelosok Jawa bagian tengah dan timur.
Bakar petasan dikalangan warga asli Jakarta
sejatinya adalah akulturasi dari budaya Tiong Hoa (China ). Dalam tradisi Tiong Hoa,
bakar petasan digunakan untuk menyemarakan pesta tradisi Cina yaitu pernikahan
dengan spiritualitas dasar, yakni mengusir roh-roh jahat yang bisa saja
mengganggu perayaan dan pesta. Selain itu, bakar petasan juga lazim dilakukan
menjelang perayaan Peh Cun atau perayaan tradisi Cina lainnya.
Petasan sendiri beraneka ragam bentuknya. Petasan untuk
orang hajatan, seperti untuk pesta perkawainan dan khitanan berbeda dengan
petasan yang lazim dijual pada bulan puasa. Petasan untuk orang hajatan dijual
meteran dan jenisnya tertentu. Rentetan petasan ukuran kecil sebesar kelingking
orang dewasa biasanya diseling dengan petasan yang berukuran lebih besar,
seukuran genggaman tangan bayi.
Ada pula Petasan yang khusus dijual saat bulan bulan puasa. Nah petasan
jenis ini lebih beraneka ragam bentuk dan pemakaiannya. Ada yang berbentuk
seperti batang koreng api, namanya petasan korek, dengan harga murah meriah.
Ada pula yang bernama janwe (petasan yang menggunakan lidi dan meledak di
udara), petasan teko, petasan banting (meledak jika dibating ke tanah/lantai)
dan tentu saja beraneka ragam kembang api.
Saat ini sudah jarang warga asli Jakarta yang melestrikan bakar petasan.
Disamping faktor ekonomi, -harga satu renteng petasan senilai Rp 200 hingga 400
ribu-an dan dibeli di sekitar Parung Panjang, 33 Km selatan Jakarta- hal
lainnya juga ditambah oleh larangan dari
aparat kepolisian untuk menjual belikan petasan. Suara petasan dapat
diasosiasikan sebagai suara bom (dan memang tak jauh berbeda, terlebih terorisme
marak belakangan ini). Namun demikian bukan berarti budaya bakar petasan
hilang, tetap saja ia masih terus dihidupkan oleh sebagian warga asli Jakarta sepanjang untuk
pelestarian budaya dan menyambut kegiatan-kegiatan diatas.
Maka, dapat dikatakan bahwa bakar petasan adalah sebagai woro-woro
atau pemberitahuan kepada segenap warga kampong bahwa ada keramaian dan hajatan
yang berlangsung di kampong tersebut. “gak rame kalo gak baker petasan” begitu
kerap diungkapkan oleh tetua-tetua adat betawi jika mereka menyelenggarakan
atau menyambut suatu acara atau peristiwa.
note:
*tulisan ini pernah di terbitkan di majalah Media Jaya edisi 1/2015
Sumber Foto: TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat, diambil dari http://forum.detik.com/jelang-ramadhan-pedagang-petasan-mulai-bermunculan-t729454.html