Rabu, 12 Agustus 2015

Petasan*

“Dar der dor suara senapan, Sugali anggap petasan.”
Itulah salah satu penggalan dari lagu Iwan Fals yang cukup popular decade tahun 80-an yang dapat merefleksikan bunyi kesemarakan suara petasan yang memekakkan telinga.

Petasan banyak digunakan untuk menyambut berbagai kegiatan yang lazim dilaksanakan oleh komunitas Betawi di Jakarta. Tak ramai rasanya suatu acara tanpa ada baker petasan. Sebut saja misalnya sewaktu akan mengarak penganten sunat betawi; Melepas kepergian keluarga ke tanah suci Mekkah untuk berhaji; Pembacaan Shalawat Nabi; Menyambut datangnya malam takbiran/lebaran; Menyambut datangnya besan pengantin pria; dan segala kegiatan dan suka cita yang dirasakan oleh masyarakat di Jakarta. Intinya, bakar petasan hanya sebatas untuk menandakan dimulainya kegiatan-kegiatan dengan nuansa kesemarakan, kegembiraan, dan kemeriahan.

Petasan sudah ada sejak abad ke-18. Bakar petasan dipandang sebagai symbol sosial dan status gengsi bagi yang memasangnya. Ia akan dipandang sebagai orang yang berpunya dan disegani. Di Kemang misalnya sempat ada seloroh, bahwa lebaran belum akan tiba bila Kong Jabir belum nyalain petasan. Maklum saja, Kong Jabir, sang pemilik puluhan kavling tanah, punya hobi bakar petasan. Ia adalah salah seorang terpandang di Kemang. Maka bisa dimaklumi bila saat itu, tak banyak yang sanggup membeli petasan dan membelanjakan uangnya untuk ‘dibakar’ menjadi suara petasan. Petasan menjadi bukti akan prestise seseorang dimata kaumnya. Pasalnya, semakin ia banyak mengadakan suatu kegiatan dan ke-ria-an, maka akan semakin sering pula ia menyalakan petasan.

Suara petasan yang menggelegar seakan bermakna pemberitahuan kepada khalayak ramai, para tetangga, kerabat dan handai tolan tentang adanya suatu acara atau kegiatan. Maklum saja, suara petasan yang nyaring terdengar dan menggelegar akan segera memancing orang lain untuk datang dan ingin tahu gerangan apa yang sedang terjadi di dekatnya. Dahulunya, pukul kentongan bukanlah sesuatu yang familiar untuk masyarakat Jakarta, seperti yang biasa digunakan oleh masyarakat dipedesaan di pelosok Jawa bagian tengah dan timur.

Bakar petasan dikalangan warga asli Jakarta sejatinya adalah akulturasi dari budaya Tiong Hoa (China). Dalam tradisi Tiong Hoa, bakar petasan digunakan untuk menyemarakan pesta tradisi Cina yaitu pernikahan dengan spiritualitas dasar, yakni mengusir roh-roh jahat yang bisa saja mengganggu perayaan dan pesta. Selain itu, bakar petasan juga lazim dilakukan menjelang perayaan Peh Cun atau perayaan tradisi Cina lainnya.

Petasan sendiri beraneka ragam bentuknya. Petasan untuk orang hajatan, seperti untuk pesta perkawainan dan khitanan berbeda dengan petasan yang lazim dijual pada bulan puasa. Petasan untuk orang hajatan dijual meteran dan jenisnya tertentu. Rentetan petasan ukuran kecil sebesar kelingking orang dewasa biasanya diseling dengan petasan yang berukuran lebih besar, seukuran genggaman tangan bayi.

Ada pula Petasan yang khusus dijual saat bulan bulan puasa. Nah petasan jenis ini lebih beraneka ragam bentuk dan pemakaiannya. Ada yang berbentuk seperti batang koreng api, namanya petasan korek, dengan harga murah meriah. Ada pula yang bernama janwe (petasan yang menggunakan lidi dan meledak di udara), petasan teko, petasan banting (meledak jika dibating ke tanah/lantai) dan tentu saja beraneka ragam kembang api.

Saat ini sudah jarang warga asli Jakarta yang melestrikan bakar petasan. Disamping faktor ekonomi, -harga satu renteng petasan senilai Rp 200 hingga 400 ribu-an dan dibeli di sekitar Parung Panjang, 33 Km selatan Jakarta- hal lainnya juga  ditambah oleh larangan dari aparat kepolisian untuk menjual belikan petasan. Suara petasan dapat diasosiasikan sebagai suara bom (dan memang tak jauh berbeda, terlebih terorisme marak belakangan ini). Namun demikian bukan berarti budaya bakar petasan hilang, tetap saja ia masih terus dihidupkan oleh sebagian warga asli Jakarta sepanjang untuk pelestarian budaya dan menyambut kegiatan-kegiatan diatas.


Maka, dapat dikatakan bahwa bakar petasan adalah sebagai woro-woro atau pemberitahuan kepada segenap warga kampong bahwa ada keramaian dan hajatan yang berlangsung di kampong tersebut. “gak rame kalo gak baker petasan” begitu kerap diungkapkan oleh tetua-tetua adat betawi jika mereka menyelenggarakan atau menyambut suatu acara atau peristiwa.

note: 
*tulisan ini pernah di terbitkan di majalah Media Jaya edisi 1/2015
Sumber Foto: TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat, diambil dari http://forum.detik.com/jelang-ramadhan-pedagang-petasan-mulai-bermunculan-t729454.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar