Bagi
kami staf yang bekerja di instansi pemerintah, ada kalanya kami ditugaskan
pimpinan untuk hadir di suatu acara,
rapat, atau kegiatan. Kehadiran kami yang membawa (mewakili) nama instansi
tentunya diharapkan oleh si pengundang. Dalam acara itu, (instansi) kami tentu
akan menyampaikan kebijakan dan pandangan yang harus disampaikan. Nah, lantaran
acara itu dipandang pimpinan bernilai penting dan stretegis, maka tentunya
tidak sembarang staf yang mendapat penugasan untuk hadir dalam acara itu.
Lazimnya
staf yang mendapatkan disposisi untuk hadir ada pada jajaran staf yang mempunyai
‘maqom’ yang tinggi atau staf senior. Boleh dibilang mereka, para staf senior
itu, langganan dapat tugas macam itu. Ya, mereka sering kali keluar kantor,
jarang ada di tempat. Meski sering keluar kantor, jangan senang dulu, belum
tentu keluar kantor untuk hadir di suatu acara itu menyenangkan. Bisa jadi itu
menyebalkan. Ya, meskipun isi disposisi itu untuk menghadiri acara atau
kegiatan, namun ada dua jenis perintah yang tertulis yang mempunyai perbedaan
dan status ‘sosial’ bagai langit dan bumi bagi penerimanya, yakni mewakili atau
mendampingi.
Bila
ada surat masuk yang meminta kehadiran pejabat/staf dari kantor, biasanya si
bos akan menuliskan di lembar disposisi: WAKILI, LAPOR! atau bisa pula tertulis
DAMPINGI!. Mendampingi, itu berarti kita harus hadir. Mewakili pun maknanya
sama yakni kita harus hadir. Namun, meski kedua kata itu konteksnya sama yakni sama-sama
harus hadir, namun ada fungsi, wewenang dan tanggung jawab yang berbeda dari
kedua isi disposisi itu. Nah, inilah yang akan saya ulas mengenai perbedaan
dari kedua perintah itu.
Biasanya
pimpinan akan menyuruh kita untuk mewakili yang bersangkutan bila kebetulan
disaat dan waktu yang sama, pimpinan berhalangan atau ada kegiatan lainnya.
Nah, ketika inilah kami, staf senior akan mendapat tugas untuk mewakili beliau.
Staf yang diutus untuk mewakili ini oleh pimpinan dipandang cakap untuk hadir. Yang
namanya mewakili, maka kami diberi wewenang penuh untuk hadir dan berbicara
dalam suatu forum pertemuan. Sehari atau beberapa jam sebelum dimulainya acara,
biasanya protokoler atau pihak pengundang akan mengkonformasi ke kantor kami
siapa yang akan hadir pada acara mereka. Gunanya untuk memastikan urutan-urutan
sapaan dan protokoler yang akan di terapkan.
Lantaran
diundang dan dibutuhkan kehadirannya –karena memang instasi kami berada pada
level tinggi, atau bisa pula kami ahli dibidang atau masalah terkaiit- Biasanya pihak tuan rumah atau pengundang
akan menempatkan kita pada posisi yang terhormat, Ini ditunjukkan dengan
duduknya kita di posisi depan, sejajar dengan para tamu terhormat lainnya. Posisi
duduk ini biasanya ditujukan kepada para tamu penting yang akan menjadi rujukan
atau narasumber. Bila kami mewakili untuk hadir pada suatu rapat, maka
disitulah kami, staf senior mempunyai wewenang penuh untuk berbicara dan
mengutarakan berbagai pendapat, masukan, saran, dan arahan kepada para peserta
rapat atau pertemuan. Wewenang berbicara ini tentunya tidak tak terbatas, ia
dibatasi oleh aturan terkait kebijakan strategis yang menjadi domain pimpinan.
Itu
sekilas gambaran mengenai konsekwensi bila kami mendapatkan disposisi mewakili.
Namun apesnya adalah bila kami mendapatkan perintah untuk mendampingi. Ini
artinya kami harus hadir mendampingi pimpinan pada kegiatan atau acara itu.
Kami menilai bila atasan meminta kami untuk mendampingi, itu artinya atasan
tidak pede untuk hadir seorang diri
pada acara atau rapat itu. Ketidakpedean
itu mungkin disebabkan pimpinan tidak menguasai permasalahan atau bisa jadi itu
semacam apresiasi bagi kami, staf senior, lantaran pimpinan menilai kami memiliki
kecakapan untuk memberikan penjelasan dan saran atau nasehat kepadanya terkait
berbagai permasalahan yang akan dibicarakan pada pertemuan itu.
Nah,
kami-kami ini sebagai staf ahli (senior) diharapkan memberikan bahan atau data
terkait masalah yang diminta. Untuk tugas mendampingi ini biasanya posisi duduk
kami berada di samping pimpinan atau tepat dibelakang kursi pimpinan. Gunanya
agar bila pimpinan memerlukan advis atau masukan dari kami, maka kami dengan
mudah memberikan bisikan atau catatan terkait apa-apa saja yang harus disampiaikan.
Yang
namanya mendampingi, maka kami tak punya hak bicara dan mengajukan pendapat di
forum. Ya, kalau atasan atau pimpinan ‘pandai’ berbicara dan berargumen kita
akan nyaman berada disamping atau belakang mereka. Dan, satu lagi, bila arahan
dan advis yang kita berikan dipakai dan di suarakan oleh pimpinan dalam rapat
itu merupakan kebahagian yang tak terkira. Namun sialnya, bila pimpinan atau
bos kami tidak pandai berbicara dan hanya diam saja sepanjang pertemuan, maka gregetan lah yang muncul. Gregetan
lantaran kami ingin berbicara menjelaskan sesuatu yang memang kami kuasai
namun, lantaran ‘kode etik’ dimana kami cuma sekadar mendampingi yang harus
tahu diri. Dan perlu diingat bahwa ‘hak’
berbicara itu hanya ada pada pimpinan kami. Apalah artinya kami yang cuma kroco
dan staf ini.
Disamping
itu kami juga harus menenggang rasa dan pandai menjaga perasaan pimpinan. Ya,
meski kami lebih pandai dari mereka (pimpinan) namun adat ketimuran, hierarki,
dan kepangkatan lah yang mengerem kami untuk tidak berbicara mendahului
pimpinan. Kami harus menjaga agar jangan sampai mereka merasa tersaingi oleh
kami. Maka seringkali sebelum berbicara atau mengutarakan pendapat dan masukan
didahului dengan kalimat; “izin pak/bu.”
Begitulah
sekilas tentang makna disposisi “mewakili atau mendampingi”. Dua kata yang membuat
kami, para staf senior bisa menjadi manusia ‘terhormat’ atau hanya sekadar
kroco dibalik punggung pimpinan. Hehe..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar