Bagi
pasangan yang baru menikah, atau yang kita sebut pengentin baru, saat-saat awal
pernikahan merupakan moment yang penuh dengan kebahagian. Segalanya indah.
Aktivitas berkasih sayang, misalnya, boleh dibilang selalu rutin dilakukan,
persis seperti minum obat, 3 kali dalam sehari. Itulah yang lazim kita sebut
sebagai masa bulan madu. Praktis tidak ada gejolak dan keributan diantara
mereka. Semuanya selalu terasa indah. Nah, seiring perjalanan waktu, madu pun
habis, yang ada tinggal sepahnya saja. Saat usia pernikahan beranjak memasuki
usia 1 tahun mulai lah kejenuhan terjadi. Yang tadinya saling memanggil dengan
panggilan sayang, berubah menjadi hanya panggilan nama. Yang tadinya selalu
memperhatikan dan mengingatkan, berubah menjadi mengabaikan. Mulailah terjadi
letupan-letupan kecil. Masalah sepele bisa berubah menjadi besar. Bagi kita
yang sudah/pernah menikah, tentu pernah mengalami hal seperti itu khan?
Saat
saya hendak menikah, Udin Sarap, panggilan akrabku kepada sepupu yang bernama Safrudin
ini, memberikan sedikit gambaran tentang lika-liku dan suka duka hidup berumah
tangga. Lantaran ia adalah abang sepupuku, maka nasehatnya tentang pernikahan
mau tak mau saya perhatikan dengan sungguh-sungguh. Ia, yang lebih dahulu menikah
ketimbangku, dan kini telah mempunyai empat orang anak yang sudah beranjak dewasa,
tentu telah kenyang makan asam garamnya pernikahan.
Diantara
point penting obrolan ringan kami dengan
suguhan pisang goreng dan kopi panas, buatan Mpo’ Mumun, istrinya, yang kuingat
ialah tentang 5 tahun pertama usia pernikahan. Menurut Udin Sarap, sama seperti
balita, maka usia pernikahan 5 tahun pertama boleh dibilang usia rawan. Beragam
masalah yang sepele bisa menjadi besar. Belum punya anak, misalnya, jadi bahan cela’an dan beban yang tak ada
habis-habisnya.
Menurut
Udin Sarap, boleh dibilang pada masa-masa itu adalah rentang waktu yang genting
dalam berumah tangga, bila lulus melaluinya, maka kesana-sananya akan lancar. Saya, yang memang belum pernah menikah
sebelumnya, rada kaget juga dengan warning
yang ia ungkapkan. Kenapa harus lima tahun pertama? Ada apa dengan lima
tahun pertama itu? Akhirnya, setelah saya menjalani pernikahan yang telah
menginjak satu dasawarsa ini, barulah saya ngeh
betapa pentingnya mencermati 5 tahun pertama ini.
Oh ya, perlu diketahui bahwa dari pengamatan yang pernah saya lihat, dengar,
dan tonton, ada beberapa orang atau teman dekat saya yang gagal dalam membina
hubungan rumah tangga. Dan menariknya, kegagalan mereka itu (baca: perceraian) terjadi
pada usia pernikahan di bawah 5 tahun. Benar juga apa yang diomongin Si Udin Sarap,
batinku. Oke, lantaran saya sudah khatam dan melalui 5 tahun pertama itu,
saya akan berbagi kisah dan analisa mengapa 5 tahun pertama dalam pernikahan itu
bernilai penting dan strategis bagi perkawinan seseorang. Ada beberapa faktor
yang meyebabkan itu terjadi.
Pertama,
5 tahun pertama adalah masa dimana pasangan suami istri itu belum mapan. Karena
mereka baru menikah dan masih berusia muda, (rata-rata menikah dibawah usia 30
tahun) maka kemapanan secara ekonomi pun masih minim. Pendapatan bulanan hanya
cukup untuk makan berdua, dan itu pun pas-pas-an tanpa mampu ber-saving. Bila salah satu pasangan
menuntut gaya hidup mewah, dan tidak mau tahu dengan kondisi ekonomi yang ada, tentu
akan merepotkan pasangannya. Bila ini tidak di-adjust dengan baik dan bijak, maka jangan kaget bila muncul
konflik-konfik kecil diantara mereka.
Kedua,
belum punya rumah dan masih gabung/tinggal dengan orang tua atau mertua. Kalian
tentu pernah merasakan dong suka
dukanya tinggal dan hidup serumah dengan orang tua atau mertua. Ada plus
minusnya. Ada enak dan kagaknya. Ya,
kalau banyakan enak ketimbang kagaknya
mungkin tak masalah, namun bila sebaliknya, yang saya istilahkan banyakan makan
hati, ketimbang daging, tentu menjadi problem tersendiri. Bagi mereka yang
tidak bisa mengelola plus minusnya tinggal di rumah mertua, tentu akan menimbulkan
konflik tersendiri. Bila tinggal dengan mertua/orang tua, yang sering terjadi ialah
istri berkonflik dengan mertua perempuan. Atau, bisa pula suami berkonflik
dengan mertua laki-laki. Si Suami yang dinilai oleh sang istri lebih condong
atau sayang ke ibunya ketimbang dia. Nah, hal-hal inilah yang bisa menjadi
benih pertengkaran diantara mereka, suami istri.
Ketiga
penyatuan dan adaftasi dari dua karakter yang berbeda. Sifat dan karakter asli yang
tidak bisa diterima dengan baik oleh pasangan, seperti kebiasaan bangun siang;
Tidur selalu mendengkur; Merokok dalam kamar; Tidak membuatkan kopi/teh pada pasangan;
Cemburu berlebihan; Boros; Suka keluyuran atau begadang, ataupun perilaku
negatif lainnya dari pasangan yang baru
muncul justru setelah menikah.
Keempat,
belum punya anak. Bagi mereka yang ingin segera memiliki momongan, setelah menikah
tentu ingin segera punya anak. Nah, setelah 2, 3 hingga 4 tahun pernikahan kok belum ada tanda-tanda hamil bagi si
istri. Kondisi ini tentu menjadi tanda tanya. Kok istri belum hamil, apa yang
salah. Disatu sisi orang tua/mertua juga ingin cepat-cepat memomong cucu.
Timbulllah rasa curiga jangan-jangan salah satunya mandul atau tidak bisa membuahi.
Nah, mulailah timbul riak-riak kecil yang menggangu keharmonisan rumah tangga
yang bisa berakibat perceraian.
Kelima
sudah atau terlalu cepat punya anak. Dilalahnya
mereka justru belum mau punya anak. Akibatnya dalam pola pengasuhan dan
pendidian anak mereka belum siap, mereka belum faham dalam mendidik dan
mengurus anak. Celakanya, masalah (kehadiran) anak ini justru menyulut potensi
perceraian. Masing-masing pihak menyalahkan yang lain dalam mengasuh dan
mendidik anak.
Itulah
sekilas gambaran dan analisa saya mengapa 5 tahun pertama masa pernikahan itu
begitu urgent bagi pasangan suami istri. Dan yang perlu diingat adalah meski kita
akan menghadapi kondisi kegentingan dan kerawanan di 5 tahun pertama itu, hindarilah
perkataan “cerai”. Bila kita sukses melaluinya, niscaya kita akan mudah untuk
menjalani etape-etape berikutnya dalam mengarungi bahtera rumah tangga, semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar