Rabu, 16 November 2016

Lezatnya Sarapan Dengan Sayur Berbumbu Tikus

Bagi yang pernah merasakan kehidupan di pesantren, tentu akan mengalami kisah beraneka rupa, yang mewarnai hari-hari mereka, mulai dari selepas subuh hingga larut malam tiba. Banyak kisah dan cerita baik suka maupun duka yang layak untuk kembali diceritakan kepada teman, kerabat, bahkan anak cucu kelak. Aku ingin berbagi kisah tentang menu dan makanan kami di pesantren kepada kalian, para pembaca semua.

Hari pertama tinggal di Pesantren tentunya memerlukan adaptasi yang tak mudah. Salah satu adaptasi yang harus dilalui adalah masalah makanan. Saat pertama kali mencicipi hidangan makan di pesantren, kami merasa kaget dan shok. Bayangkan saja, di rumah, kami biasa makan enak, dengan olahan yang menggugah selera hasil racikan dari tangan Bunda tercinta. Makanan olahan Bunda tentu berbeda dengan di pesantren, bagai langit dan sumur. Tempe goreng, misalnya, akan berbeda rasanya bila tempe goreng itu dibuat oleh Bunda ketimbang tempe goreng di pesantren, meskipun sama-sama tempe.

Lalu, setelah hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan, maka kami pun mulai terbiasa dengan olahan dan cita rasa masakan made by chef pesantren. Mungkin lapar karena capek berkegiatan yang tak habis-habisnya, maka hidangan apapun yang disajikan oleh dapur pesantren akan kami sikat dengan lahapnya, walaupun -maaf- rasanya sangat jauh untuk disebut sebagai makanan yang enak. Tapi ya itu, karena lapar dan tidak ada lagi makanan enak yang bisa di makan, maka nasi dan tempe goreng plus sayur kangkung (yang rasanya gak karuan) pun dengan lancar masuk kerongkongan dan bersemayam di perut kami dengan damainya. Seingatku, saat itu tak ada diantara kami yang susah makan lantaran menyantap makanan dari dapur pesantren. Kalaupun tak berselera dengan lauk yang disajikan, maka kami biasanya membeli “salatoh” (sambal) sebagai penambah rasa lauk yang hambar agar ada tambahan rasa pedas, manis, dan asinnya. Ya, salatoh itu aku istilahkan sebagai doping agar lauk dan sayur dapat dengan lancar masuk ke tenggorokan.

Oh ya, tak selamanya menu makanan di pesantren tak enak atau melulu hanya tahu dan tempe goreng saja. Menunya bagiku cukup bervariasi dan sesuai standard kesehatan yang ditetapkan oleh WHO, hehe... Selang seling. Ada ikan kembung goreng, telor dadar/rebus, ayam, dan daging. Menariknya, untuk lauk tempe-nya pun diolah dengan beragam model. Ada yang disebut tempe jilbab, karena tempe itu ditepungin (seperti mendoan); Ada pula yang kami juluki tempe berontak, sebutan untuk tempe yang diiris tipis-tipis, dan diberi kecap. Dan banyak sebutan aneh lainnya. Ironisnya, bila makan pagi (sarapan), maka menunya hampir seragam yakni sayur (bersantan bening) dan selalu berkrupuk. Itu saja terus menerus, tanpa perubahan, kecuali saban Jumat pagi, dimana kami biasanya menyantap nasi goreng plus kerupuk putih. Just it.

Nah, untuk menu makan siang relatif beragam dan ada peningkatan ‘gizi’ ketimbang menu sarapan dan makan malam. Menu lunch kami lumayan ‘berkelas’. Setiap rabu siang ada opor ayam, yang lumayan enak untuk lidahku. Lantaran lauknya opor ayam, maka saban rabu siang, selepas shalat zuhur, kami ‘dipastikan’ shalat tanpa khusyuk. Begitu selesai do’a tanda ibadah shalat kelar, maka kami, para santri langsung ngacir laksana kecepatan kilat menyambar menuju kamar dan mengambil piring lalu ngantri di dapur. Kenapa kami harus lari? Pertama agar bisa segera dilayani oleh petugas; Karena yang sudah-sudah pernah kejadian sebagian kecil dari kami tidak dapat lauk opor ayam. Kehabisan. Sebagai gantinya, oleh pengurus dapur maka di-rebusin-lah telor, hiks.. Sungguh tragis! Opor ayam diganti telor rebus. Alasan kedua, agar kami dapat memilih potongan ayam yang kami sukai. Jangan sampai kami hanya tinggal mendapat sayap atau maaf- empot-nya ayam. Biasanya pilihan favorit kami adalah dada atau paha bagian dalam yang banyak terdapat daging ketimbang tulangnya. Bila antrian kami jauh dibelakang, jangan berharap dapat potongan daging yang oke, apesnya ya mendapat empot ayam. Begitulah, hari rabu siang adalah salah satu hari yang kami nanti-nanti.

Temans, tak selamanya kami menikmati dengan sempurna kelezatan hidangan ala pesantran. Pernah suatu hari disuatu masa, kejadiannya kalau tak salah pada hari kamis pagi. Daftar menu sarapan hari itu adalah sayur kol berkuah (santan) dengan krupuk. Menu ini salah satu menu favorit kami, karena sayur kol berkuah ini rasanya gak jauh beda dengan sayur padang yang berkuah lezat. Lumayan enak. Nah, disaat kami mulai mengunyah nasi bercampur sayur itu, kok ada yang beda rasanya dibandingkan dengan kamis-kamis kemarin. Rasa sayur kol ini rada aneh, berbeda dengan sebelum-sebelumya. “Ah, mungkin lidahku saja yang lagi error,” pikirku. Namun, tak hanya aku, teman-temanku yang lain pun merasakan keanehan yang sama. Tapi, sudahlah, habiskan saja, toh masih ada rasa asin dan gurih khas sayur bersantan. Akhirnya kami pun menghabiskan sarapan bersayur itu, tanpa tersisa. Piring kami licin tandas. Laper, hehe..

Nah, saat mentari mulai naik, sekira waktu dhuha, pas jam istirahat pertama tiba, setempo jam 09-an, tersiarlah kabar yang membuat perut ini mules. Ya, mendengar selentingan kabar itu langsung kami tercekat kaget. Ternyata sarapan yang kami santap di kamis pagi itu bercampur dengan (bulu) tikus. Inti kabar di pagi itu adalah selagi sayur kol itu di masak dalam panci yang besar, sayur itu kemasukan tikus. Lho kok bisa? Lha bisa, lha wong tikus dan santri jumlahnya bersaing. Waktu itu banyak tikus berkeliaran di sekitar pesantren kami. Nah, tikus got berbadan besar yang berkeliaran di dapur pesantren itu tanpa sengaja tergelincir jatuh ke dalam panci besar tempat sayur kol yang siap dihidangkan untuk sarapan pagi para santri. Oleh juru masak, tikus yang masuk ke panci besar yang sedang mendidih hebat itu segera diambil dan dibuang. Tikusnya sendiri ketika terpeleset masuk panci besar langsung menggelepar-gelepar dan koit seketika.


Kalau bicara kesehatan, tentu sayur itu harus dibuang dan diganti (dimasak) dengan sayur yang baru. Oleh pengurus dapur, lantaran waktunya sudah mepet, sedangkan jam sarapan santri sudah tiba, maka sayur itu terpaksa dihidangkan. Mereka kompak untuk tak menceritakan ‘aib’ besar itu, takut para santri tak nafsu makan. Barulah setelah selesai sarapan, dimana para santri telah belajar di kelasnya masing-masing, berita tikus masuk ke panci besar itu kami dengar. Pantesan rasanya kok rada aneh, ternyata ada campuran tikus disana. Ola la. Untungnya, meski kami menyantap sayur kol bercampur tikus, namun tak ada yang sakit diantara kami. Hanya setelahnya, setiap hari kamis pagi saat sayur kol itu kembali dihidangkan, ada perasaan geli dan tak enak, mungkin lantaran teringat tikusnya. Itulah ceritaku yang sempat menikmati olahan sayur kol berbulu tikus. Berani mencoba?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar