Bagi
yang pernah merasakan kehidupan di pesantren, tentu akan mengalami kisah beraneka
rupa, yang mewarnai hari-hari mereka, mulai dari selepas subuh hingga larut
malam tiba. Banyak kisah dan cerita baik suka maupun duka yang layak untuk
kembali diceritakan kepada teman, kerabat, bahkan anak cucu kelak. Aku ingin
berbagi kisah tentang menu dan makanan kami di pesantren kepada kalian, para
pembaca semua.
Hari
pertama tinggal di Pesantren tentunya memerlukan adaptasi yang tak mudah. Salah
satu adaptasi yang harus dilalui adalah masalah makanan. Saat pertama kali
mencicipi hidangan makan di pesantren, kami merasa kaget dan shok. Bayangkan saja, di rumah, kami
biasa makan enak, dengan olahan yang menggugah selera hasil racikan dari tangan
Bunda tercinta. Makanan olahan Bunda tentu berbeda dengan di pesantren, bagai
langit dan sumur. Tempe goreng, misalnya, akan berbeda rasanya bila tempe
goreng itu dibuat oleh Bunda ketimbang tempe goreng di pesantren, meskipun
sama-sama tempe.
Lalu,
setelah hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan, maka kami pun mulai
terbiasa dengan olahan dan cita rasa masakan made by chef pesantren. Mungkin lapar karena capek berkegiatan yang
tak habis-habisnya, maka hidangan apapun yang disajikan oleh dapur pesantren
akan kami sikat dengan lahapnya, walaupun -maaf- rasanya sangat jauh untuk
disebut sebagai makanan yang enak. Tapi ya itu, karena lapar dan tidak ada lagi
makanan enak yang bisa di makan, maka nasi dan tempe goreng plus sayur kangkung
(yang rasanya gak karuan) pun dengan
lancar masuk kerongkongan dan bersemayam di perut kami dengan damainya.
Seingatku, saat itu tak ada diantara kami yang susah makan lantaran menyantap
makanan dari dapur pesantren. Kalaupun tak berselera dengan lauk yang
disajikan, maka kami biasanya membeli “salatoh”
(sambal) sebagai penambah rasa lauk yang hambar agar ada tambahan rasa pedas,
manis, dan asinnya. Ya, salatoh itu
aku istilahkan sebagai doping agar lauk dan sayur dapat dengan lancar masuk ke
tenggorokan.
Oh
ya, tak selamanya menu makanan di pesantren tak enak atau melulu hanya tahu dan tempe goreng saja. Menunya bagiku cukup
bervariasi dan sesuai standard kesehatan yang ditetapkan oleh WHO, hehe... Selang seling. Ada ikan kembung
goreng, telor dadar/rebus, ayam, dan daging. Menariknya, untuk lauk tempe-nya
pun diolah dengan beragam model. Ada yang disebut tempe jilbab, karena tempe itu
ditepungin (seperti mendoan); Ada pula yang kami juluki tempe berontak, sebutan
untuk tempe yang diiris tipis-tipis, dan diberi kecap. Dan banyak sebutan aneh
lainnya. Ironisnya, bila makan pagi (sarapan), maka menunya hampir seragam
yakni sayur (bersantan bening) dan selalu berkrupuk. Itu saja terus menerus,
tanpa perubahan, kecuali saban Jumat pagi, dimana kami biasanya menyantap nasi
goreng plus kerupuk putih. Just it.
Nah,
untuk menu makan siang relatif beragam dan ada peningkatan ‘gizi’ ketimbang
menu sarapan dan makan malam. Menu lunch
kami lumayan ‘berkelas’. Setiap rabu siang ada opor ayam, yang lumayan enak untuk
lidahku. Lantaran lauknya opor ayam, maka saban rabu siang, selepas shalat
zuhur, kami ‘dipastikan’ shalat tanpa khusyuk. Begitu selesai do’a tanda ibadah
shalat kelar, maka kami, para santri
langsung ngacir laksana kecepatan kilat
menyambar menuju kamar dan mengambil piring lalu ngantri di dapur. Kenapa kami harus lari? Pertama agar bisa segera
dilayani oleh petugas; Karena yang sudah-sudah pernah kejadian sebagian kecil
dari kami tidak dapat lauk opor ayam. Kehabisan. Sebagai gantinya, oleh
pengurus dapur maka di-rebusin-lah
telor, hiks.. Sungguh tragis! Opor
ayam diganti telor rebus. Alasan kedua, agar kami dapat memilih potongan ayam
yang kami sukai. Jangan sampai kami hanya tinggal mendapat sayap atau maaf- empot-nya ayam. Biasanya pilihan favorit
kami adalah dada atau paha bagian dalam yang banyak terdapat daging ketimbang tulangnya.
Bila antrian kami jauh dibelakang, jangan berharap dapat potongan daging yang
oke, apesnya ya mendapat empot ayam. Begitulah,
hari rabu siang adalah salah satu hari yang kami nanti-nanti.
Temans,
tak selamanya kami menikmati dengan sempurna kelezatan hidangan ala pesantran. Pernah suatu hari disuatu
masa, kejadiannya kalau tak salah pada hari kamis pagi. Daftar menu sarapan
hari itu adalah sayur kol berkuah (santan) dengan krupuk. Menu ini salah satu
menu favorit kami, karena sayur kol berkuah ini rasanya gak jauh beda dengan
sayur padang yang berkuah lezat. Lumayan enak. Nah, disaat kami mulai mengunyah
nasi bercampur sayur itu, kok ada yang beda rasanya dibandingkan dengan
kamis-kamis kemarin. Rasa sayur kol ini rada aneh, berbeda dengan sebelum-sebelumya.
“Ah, mungkin lidahku saja yang lagi error,”
pikirku. Namun, tak hanya aku, teman-temanku yang lain pun merasakan keanehan
yang sama. Tapi, sudahlah, habiskan saja, toh masih ada rasa asin dan gurih
khas sayur bersantan. Akhirnya kami pun menghabiskan sarapan bersayur itu,
tanpa tersisa. Piring kami licin tandas. Laper,
hehe..
Nah,
saat mentari mulai naik, sekira waktu dhuha, pas jam istirahat pertama tiba, setempo
jam 09-an, tersiarlah kabar yang membuat perut ini mules. Ya, mendengar
selentingan kabar itu langsung kami tercekat kaget. Ternyata sarapan yang kami
santap di kamis pagi itu bercampur dengan (bulu) tikus. Inti kabar di pagi itu
adalah selagi sayur kol itu di masak dalam panci yang besar, sayur itu kemasukan
tikus. Lho kok bisa? Lha bisa, lha wong tikus dan santri
jumlahnya bersaing. Waktu itu banyak tikus berkeliaran di sekitar pesantren
kami. Nah, tikus got berbadan besar yang berkeliaran di dapur pesantren itu
tanpa sengaja tergelincir jatuh ke dalam panci besar tempat sayur kol yang siap
dihidangkan untuk sarapan pagi para santri. Oleh juru masak, tikus yang masuk
ke panci besar yang sedang mendidih hebat itu segera diambil dan dibuang.
Tikusnya sendiri ketika terpeleset masuk panci besar langsung
menggelepar-gelepar dan koit seketika.
Kalau
bicara kesehatan, tentu sayur itu harus dibuang dan diganti (dimasak) dengan
sayur yang baru. Oleh pengurus dapur, lantaran waktunya sudah mepet, sedangkan
jam sarapan santri sudah tiba, maka sayur itu terpaksa dihidangkan. Mereka
kompak untuk tak menceritakan ‘aib’ besar itu, takut para santri tak nafsu
makan. Barulah setelah selesai sarapan, dimana para santri telah belajar di
kelasnya masing-masing, berita tikus masuk ke panci besar itu kami dengar. Pantesan rasanya kok rada aneh, ternyata
ada campuran tikus disana. Ola la.
Untungnya, meski kami menyantap sayur kol bercampur tikus, namun tak ada yang
sakit diantara kami. Hanya setelahnya, setiap hari kamis pagi saat sayur kol itu
kembali dihidangkan, ada perasaan geli dan tak enak, mungkin lantaran teringat
tikusnya. Itulah ceritaku yang sempat menikmati olahan sayur kol berbulu tikus.
Berani mencoba?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar