Haji Maidih telah lama wafat. Beliau kukenal sebagai orang
tua yang suka memakai sorban. Sorban yang sering ia kenakan itu telah lusuh dan kucel, berpadu dengan pakaiannya yang juga telah tipis dan
pudar termakan usia. Biasanya, ia mengenakannya bila menghadiri undangan selamatan atau
arwahan. Nah, selain sorban, menariknya,
bila pergi kemanapun, ia
selalu membawa senter. Senter ini ia gunakan sebagai penunjuk jalan. Batu baterai-nya hampir
saban hari d-‘chas’ di teriknya matahari. Padahal menurutku, tanpa senterpun,
jalan-jalan yang ia lalui di sekitaran Kampung Kebon, Kemang, sudah berlampu semua. Sudah terang. Keadaan sekitar tahun 80-an saat itu, tentu kontras
dengan yang dijumpai Kong Maidih, sapaan akrabku padanya, ketika ia muda, saat
lampu belum ada, dan jalan masih beralaskan tanah. Aku tak ingin bercerita banyak tentangnya.
Namun ada beberapa kalimat yang mengusik pikiranku tatkala kami ngobrol ngalor-ngidul
dengan ayah dari Haji Matalih ini.
“Baba-nya Ji Damin
‘ntu, diculik waktu zaman NICA. Gak balik-balik”. Itulah kalimat yang sering ia ucapkan kala
tahu aku adalah ponakan Haji Madamin.
Diculik? Zaman NICA? Siapa yang menculik? Kenapa
kakek-ku diculik? Sebab apa yang membuat penculik menculik dan menggelandang
kakek-ku? Kenapa Kakek-ku dieksekusi? Dimana kuburan kakek-ku? Beragam
pertanyaan ini sayangnya tidak aku dapatkan jawaban yang memuaskan. Semuanya
serba samar. Semuanya
masih misteri. Maklum saja, zaman
itu zaman susah, zaman revolusi, saksi-saksi yang mengetahui saat kakek-ku
diciduk dan diculik sangat sedikit, dan semuanya sudah meninggal. Namun dari
potongan kisah-kisah yang aku dengar dari berbagai sumber tentang pribadi papi-nya
mamiku dapat kurangkum sekelumit kisah tentang kakek-ku ini.
Aku teringat kisah-kisah pilu yang dialami para
aktivis korban penghilangan paksa (penculikan) pada tahun 1998, menjelang
turunnya Pak Harto. Juga tentang kisah penculikan dan pembunuhan pada tragedi nasional
tahun 1966, pasca G30S/PKI. Jadi,
bicara tragedi penghilangan paksa, meminjam istilah yang
sering dikemukakan para praktisi HAM, jauh sebelumnya, mamiku dan keluarganya telah sejak lama merasakan
perihnya ditinggal seseorang tanpa tahu dimana kuburnya. Mungkin bila Komnas HAM telah ada sejak dulu misteri hilangnya kakekku dapat tersingkap atau paling tidak diketahui siapa
oknum-oknum pelaku penghilangan kakek-ku.
Papi-nya
mamiku bernama Poey Tjin Ban. Beliau adalah putra ketiga dari pasangan Poey Sun Eng dan Tan Kim Moey. Kakek beliau, Poey Kang Soey adalah imigran dari Macau yang hijrah dan merantau di
sekitaran Cirebon. Kuburan Kakeknya ada di Kampung Jalaksana, Kuningan, Jawa
Barat. Menurut Cerita, kuburannya itu berada di dalam rumah, seperti kuburan
leluhur etnis Tionghoa pada umumnya.
Sedangkan kakek mamiku dikuburkan di
Kampung Kamarung, Pagaden, Subang.
Tjin Ban,
menurut cerita yang kudengar adalah seorang dari kalangan terpelajar, menguasai beberapa bahasa asing (poliglot) dengan fasih. Saat zaman Belanda, ia telah memakai jas, busana yang jarang dikenakan
oleh kebanyakan orang, pertanda
bahwa beliau seorang yang well educated.
(lukisan Tjin Ban
berjas tersimpan dengan apik di dinding rumah mamiku). Tjin Ban dimasa mudanya
menganut kepercayaan Konghuchu. Nah, ketika merantau ke Jakarta inilah ia menemukan
jodohnya. Ia kepincut gadis Betawi yang bernama Aminah, putri tokoh masyarakat
dan guru ngaji di Kemang, Haji
Muhammad. Mereka menikah sekitar tahun 1930-an. Namun, sebelum menikah, Tjin
Ban diwajibkan oleh mertuanya untuk bersaksi dan mengakui bahwa hanya Allah lah
satu-satunya Tuhan, dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan-Nya. Selepas itu, ia ber-khitan
dan mengganti namanya menjadi Abdul Mu’ti.
Kembali ke kisah penculikan kakekku, dari penjelasan
Kong Maidih yang sepotong-potong (lantaran usia lanjut dan ingatannya yang
mulai pudar) aku mencoba merangkai puzzle
kisah tragis papi-nya mamiku yang hilang di culik orang. Beliau hilang (meninggal) saat zaman revolusi, diculik
oleh para laskar rakyat di sekitaran Klender. Ceritanya, pada sekitar tahun
1948-an, masa dimana revolusi sedang berkobar dengan dahsyatnya, masa dimana keamanan dan
ketertiban tidak terkendali, dimana saat itu, tak hanya tentara resmi (BKR) yang eksis, pencoleng dan penyamun pun berbaur bersama
rakyat membentuk laskar rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan. Disekitaran antara Klender hingga Bekasi, misalnya banyak terdapat “laskar-laskar hitam” sebutan untuk laskar yang
kebanyakan diisi oleh bekas penyamun dan pencoleng, yang rutin berpatroli. Kakekku, lantaran seorang
Tionghoa, kena imbasnya. Ia kena ciduk dan dituduh sebagai mata-mata (spionase)
NICA, tentara sekutu.
Menurut cerita mamiku, saat itu ayahnya pergi mencari beras di Bekasi untuk dijual ke Jakarta. Saat
berjalan beriringan
bersama teman-temannya yang
pribumi dan memasuki daerah Klender, berjumpalah mereka dengan beberapa laskar.
Apesnya, yang
dijumpai adalah laskar hitam. Tatkala
dari kejauhan terlihat ada razia dan pemeriksaan oleh laskar, teman-teman ayah
mamiku sudah mengingatkan Muti, nama Islam
kakek-ku untuk lari.
“Muti, hayo lari, kita sembunyi,
ada pemeriksaan laskar di depan sana,” seru salah seorang temannya.
Namun Tjin Ban, bukannya lari malahan berjalan dengan
santainya sambil membawa beras dagangan-nya. Dengan tenang ia berkata kepada
teman yang memperingatkannya itu. “Buat
apa lari, kita kan tidak salah. Kita kan Republik.”
Malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih.
Lantaran berwajah
bukan pribumi, Tjin Ban kena
ciduk laskar dan terpisah dengan teman-temannya. Oleh laskar, Ia dituduh sebagai mata-mata NICA.
Nah, versi
kedua adalah; Pelaku
penculikan kakek-ku bukan laskar melainkan NICA. Ia di culik lantaran beretnis tionghoa dan dituduh
sebagai mata-mata Republik. Dari kedua versi ini, mana
yang bisa dijadikan patokan, wallahu a’lam.
Dari penjelasan Kong Maidih, dapat di tarik benang merah bahwa Muti hilang
diculik orang (entah siapa pelakunya) saat NICA datang ke Indonesia, ditahun
1948. Lokasi penculikan ada di sekitaran Klender, lebih kurang 20 KM dari Kemang.
Teman-teman Muti yang lolos dari hadangan laskar/NICA dapat kembali ke rumah mereka dengan selamat berkumpul dengan keluarganya. Sedangkan Muti, terciduk ikut dibawa oleh penculik. Begitu tak didapati Muti bersama mereka, nenekku menjadi bingung. Lalu
oleh teman-teman Muti, diceritakanlah kisah tragis di Klender tesebut. Mendengar
cerita dari teman-teman-nya yang pergi berdagang bersama, nenekku hanya dapat pasrah.
Ditunggu hingga beberapa purnama berganti, bahkan hingga lebaran berbilang, namun
Muti tak kunjung pulang ke Kemang. Ia tidak pernah kembali ke rumah, berkumpul dengan
anak istrinya.
Begitulah, Tjin
Ban telah meninggal tanpa diketahui dimana mayatnya. Masih terbayang dengan jelas
diingatan nenekk-ku saat Muti pamit hendak berdagang di pagi hari, lalu kini hilang
tak berbekas. Jadilah mamiku yang
saat itu masih dalam kandungan nenekku, seorang yatim. Ya, ketika itu nenekku
harus membesarkan empat orang anak yang masih kecil-kecil, tanpa sempat
mengetahui jasad dan kuburan suaminya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar