Pada
dasarnya Indonesia adalah negeri yang terbuka, toleran dan menghargai segala perbedaan
yang ada. Praktis, sepanjang berdirinya Republik, tak ada kerusuhan dan huru
hara yang diakibatkan oleh perbedaan SARA yang terjadi merata di seluruh
kawasan di Indonesia dalam skala luas. Kalaupun ada, sifatnya hanya kerusuhan
lokal, dan mampu segera diredakan dengan pendekatan yang dinamakan kearifan
lokal. Itulah sebabnya jauh sebelum Negara ini resmi berdiri, semboyan Bhinneka
Tunggal Ika telah dipatrikan oleh para founding
father sebagai slogan yang dilekatkan pada kaki burung Garuda. Mereka
menyadari bahwa Indonesia terdiri dari beragam suku, agama, dan ras, dan itu
tidak bisa dihilangkan atau diseragamkan. Keberagaman adalah takdir Indonesia
itu sendiri.
Berbicara
tentang kepemimpinan di Indonesia, kita tak mengenal kepemimpinan yang
diwariskan, atau kepemimpinan yang telah di ‘jatahkan’ untuk etnis atau golongan
tertentu. Semua warga Negara berhak menjadi pemimpin. Oleh karenanya, tak
menjadi soal siapapun yang menjadi pemimpin di suatu wilayah, sepanjang yang
bersangkutan mempunyai kemampuan leadership,
bertingkah dan berprilaku santun, sopan, menghormati dan menghargai kearifan
dan budaya lokal, maka ia akan diterima dengan baik oleh warga setempat. Mau bukti?
Bali misalnya, sebagai wilayah yang mayoritas hampir 100% dihuni oleh warga
beragama Hindu, pada tahun 70-an, bisa dengan damai menerima kepemimpinan Bapak
Soekarmen sebagai gubernur mereka, meskipun beliau adalah seorang Muslim dan
bukan orang asli Bali. Saat kepemimpinannya berlangsung, tak ada gejolak dan polemik
yang terjadi di Bali. Segalanya berlangsung damai, aman, dan tentram. Begitupun
dengan Aceh, Papua, NTT, Sulawesi Utara dan daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Mereka menerima dengan baik kepemimpinan seseorang yang bukan berasal dari
etnis ataupun kepercayaan yang sama dengan mereka.
Demikian
pula dengan Jakarta, jauh sebelum Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang ber-etnis
Tionghoa dan beragama Kristen menjabat Gubernur, Jakarta telah dipimpin oleh
putra Manado yang juga beragama Kristen. Dalam catatan sejarah, tak pernah ada
penolakan terhadap figure Henk Ngantung,
meskipun ia menganut kepercayaan berbeda dengan mayoritas warga Jakarta. Betawi,
sebagai etnis asli Jakarta welcome
terhadapnya. Lalu, bagaimana dengan Ahok? Tidak seperti Soekarmen di Bali, yang
stabil tanpa gejolak, kepemimpinan Ahok tidak berjalan mulus, ia mendapat
penolakan dari sebagian warga Jakarta, utamanya etnis Betawi. Mengapa hal ini
terjadi? Apakah penolakan ini murni masalah perbedaan agama yang dianut oleh sang
gubernur dan warganya? Tampaknya tidak demikian halnya.
Dari
berbagai analisa yang disampaikan oleh beberapa lembaga survey, faktor dominan
kekalahan Ahok dalam Pilkada 19 April lalu adalah ketakutan warga Jakarta terhadap
figur Ahok itu sendiri. Ketakutan-ketakutan ini dapat berupa: Takut di gusur.
Ketakutan akan digusur dari tempat tinggalnya; Ketakutan di gusur tempat
usahanya; Takut di larang. Larangan-larangan yang mengekang terhadap hajat yang
bersentuhan dengan rakyat kecil, seperti wacana larangan sepeda motor melintasi
jalan Sudirman-Thamrin, misalnya, ataupun kebijakan-kebijakan lainnya yang justru
pro kalangan menengah atas, bukan kepada rakyat kecil.
Disamping
itu, Ahok lemah secara leadership. Ia tidak mempunyai kemampuan leadership yang
mumpuni. Sebagai pemimpin, ia tidak mengayomi seluruh warga sebaliknya justru
menebar ketakutan dan intimidasi kepada warganya. Banyak statemen dan kebijakan
gubernur yang justru kontra produktif untuk merangkul masyarakat. Larangan
takbir keliling; Larangan ber-sholawat di Monas; Larangan pemotongan hewan
qurban di sekolah, misalnya, adalah sebagian contoh nyata bagaimana gubernur
tidak sensitif terhadap keadaan dan budaya dari warga asli yang ia pimpin
(Betawi). Dari situlah muncul bibit-bibit ketidakpercayaan kepada kepemimpinan
gubernur. Ia melupakan dan mengabaikan kearifan lokal dari bangsa Indonesia
umumnya dan etnis Betawi pada khususnya. Meminjam istilah kasar yang diucapkan oleh
sesepuh masyarakat Betawi Bapak Eddy Marzuki Nalapraya; “Bacot loe jaga! Yang merefleksikan ungkapan kekesalan warga Betawi
terhadap langkah dan ucapan yang sering dikemukakan oleh Ahok.
Ahok
tampaknya tak menyadari bahwa ia adalah minoritas. Ia terlalu jumawa dan
sombong. Ia tidak menjaga budi pekertinya. Dulu, sewaktu mahasiswa, dalam
berbagai kesempatan memimpin atau me-moderatori rapat, diskusi atau berdialog
dengan para rekan-rekan saya calon pemimpin bangsa, sering saya utarakan kepada
mereka bahwa: “Yang merasa mayoritas JANGAN sombong dan jumawa! Sedangkan yang
minoritas, HARUS tahu diri!’ Bila teori saya ini diterapkan, maka tak mustahil
kepemimpinan Ahok akan di nilai oleh seluruh warga Jakarta dengan khusnul khotimah, berakhir baik. Ia akan
selalu dikenang oleh warga Jakarta seperti mereka mengenang Ali Sadikin (Bang
Ali) sebagai Bapak Pembangunan Jakarta.
Paska
Pilkada dimana warga Jakarta telah memutuskan vonisnya dengan menarik mandat
Ahok dan menyerahkannya kepada pasangan Anies-Sandi, marilah kita akhiri
gonjang ganjing dan hiruk pikuk yang terjadi di Jakarta. Suka atau tidak,
cukuplah figur dan kepribadian Ahok, dengan segala plus minus-nya menjadi
pembelajaran bagi kita semua dan mereka yang ingin menjadi pemimpin, bahwa
jangan sekali-kali mengabaikan kearifan lokal dalam suatu wilayah. Selalu ingat
mantra lama yang masih terbukti keampuhannya, yakni: “Dimana Bumi Dipijak, Disitu Langit Dijunjung.” Mari gandeng tangan
menata Jakarta dan Indonesia dengan semangat persatuan dan kesatuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar