Sebagai
umat manusia yang beradab, kita telah bersepakat, bahwa segala perselisihan
yang terjadi diantara kita diputuskan dan diselesaikan melalui mekanisme (jalur)
pengadilan (hukum). Kita tak mengenal hukum rimba dimana yang kuat memangsa
yang lemah, atau yang kuat bertindak semena-mena terhadap yang lemah. Hukum adalah
panglimanya. Dan, tatkala ada seseorang disangka telah menodai suatu agama yang
dianut di Indonesia, maka untuk meredakan gejolak yang terjadi di masyarakat, perangkat
penegak hukum memproses yang bersangkutan. Yang bersangkutan diajukan ke muka
hakim untuk diadili.
Hakim
sebagai wakil Tuhan di dunia pada tanggal 09 Mei 2017 telah menetapkan bahwa Basuki Tjahaja Purnama
alias Ahok secara sah dan meyakinkan terbukti telah menodai ajaran agama (Islam)
yang dianut di Indonesia. Ahok telah melanggar pasal 156a KUHP yang isinya: Dipidana
dengan pidana penjara selama-lumanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di
muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat
permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di
Indonesia;
Selain
menghukum Ahok dengan pidana penjara selama dua tahun, dalam amar putusannya, majelis
hakim juga memerintahkan agar Ahok ditahan! Tepatkah perintah penahanan Ahok
ini, mengingat selama ini perlakuan terhadapnya sangat berbeda dengan terdakwa
kasus penodaan agama lainnya, dimana Ahok selama proses persidangan tak pernah
sekalipun ditahan?
Keputusan
hakim tentu tak memuaskan semua pihak. Bagi pro Ahok, keputusan itu dirasa
berat. Namun bagi kontra Ahok keputusan itu tentu terlalu ringan dan tak
sebanding dengan kasus-kasus penodaan agama lainnya, seperti yang melibatkan
Arswendo dan Mushaddeq, misalnya, yang di vonis lebih berat dari Ahok.
Bagi
kita yang mempercayai institusi pengadilan, keputusan hakim adalah keputusan ‘final’
dalam arti keputusan itu sebagai penentu untuk mengakhiri polemik yang selama
ini berkembang di masyarakat mengenai salah atau tidaknya Ahok dalam kasus penodaan
agama Islam. Palu hakim telah terketuk, sedangkan Ahok memilih banding. Selama proses
banding inilah, bukan berarti ahok terlepas dari stigma bersalah, karena
banding, tidak serta merta menggugurkan putusan hakim. Dalam kaidah hukum dikenal
dengan Res Judicata Pro
Veritate Habetur yang berarti putusan hakim itu dianggap
benar dan harus dihormati. Ini berarti keputusan hakim --PN Jakarta Utara
(Hakim Dwiarso)-- diangap benar sebelum pengadilan yang lebih tinggi
memutus lain atau sepanjang belum ada putusan yang membatalkannya. Selengkapnya
lihat: (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PHPU.D-X/2012, hlm.
152-153).
Salah
satu tujuan dari penerapan hukum adalah agar menjadi pembelajaran bagi pelaku
itu sendiri, agar pelaku menyadari kesalahan-kesalahannya dan segera memperbaikinya.
Dengan ditahannya Ahok, maka diharapkan akan menimbulkan efek jera bagi yang
bersangkutan, agar ia segera kapok dan tak mengulangi lagi perbuatannya. Salah
satu yang memberatkan Ahok dimata hakim adalah, bahwa yang bersangkutan tidak
menyesali perbuatannya. Semoga dengan kasus ini Ahok insyaf, menyadari
kesalahannya, dan menjadi manusia yang lebih baik. Baik perangainya, baik tutur
katanya, dan baik segalanya. Kita tentu berharap, selepas dari penjara, Ahok
diharapkan seperti bayi yang baru dilahirkan, suci bersih. Memulai hidup baru
dengan kehidupan lebih baik.
Disamping
itu, penahanan segera Ahok juga berfungsi sebagai pembelajaran bagi kita bahwa
yang salah pasti akan di hukum, atau bahasa sederhananya adalah, siapapun tidak
kebal hukum (penjara) dan agar kita (masyarakat) tak meniru tindakan yang telah
dilakukan oleh pelaku. Bahwa perbuatan melanggar pidana akan mendapat
ganjarannya yakni di penjara. Bahwa di penjara itu tak enak, maka hindarilah
masuk penjara dengan tidak melanggar hukum. Itu pesan moralnya.
Semoga
dari kasus Ahok ini kita memperoleh pelajaran bahwa tutur kata harus kita jaga.
Jangan mengomentari dengan ‘melompat pagar’ membahas isi kitab dari agama yang
bukan agama yang kita anut. Jadikan kasus Ahok ini sebagai momentum untuk
saling hormat menghormati antar pemeluk agama. Dengan itu niscaya kerukunan
umat beragama akan tetap lestari dalam bingkai NKRI berdasarkan Pancasila dan
UUD 45.
Sumber
foto:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar