![]() |
@Helena Airport |
Menarik
juga mencermati kisah dimana ada istri pejabat yang marah hingga menampar
petugas Aviation Security (Avsec) di Bandara. Rada geli juga membaca kisahnya, kok bisa-bisanya penumpang pesawat
menampar petugas Avsec. Adakah yang salah dalam prosedur pemeriksaan di bandara
di Indonesia? Atau bisa jadi yang bersangkutan kurang ‘piknik’ sehingga berlaku
arogan di bandara. Well, Lantaran sudah
sering ‘piknik’, aku ingin berbagi pengalaman tentang prosedur pemeriksaan
penumpang pesawat terbang di bandara-bandara di Amerika Serikat. Semoga cerita
ini menjadi bahan refleksi kita.
![]() |
@Ronald Reagen Washington DC Airport |
Setelah
peristiwa 9/11 tampaknya untuk masalah keamanan di bandara-bandara di Amerika
Serikat menjadi hal yang sangat prioritas untuk diperhatikan. Meski kejadian
itu telah lama berlalu, namun kelengahan sedikit saja, tak bisa ditolerir. Di Bandara
Helena, Negara bagian Montana, misalnya, meski bandara ini relatif kecil dan
bukan bandara utama, namun untuk prosedur keamanannya tak beda dengan
bandara-bandara besar lainnya di negeri Paman Sam. Di dekat ruang pemeriksaan,
pas pintu masuk tertulis quote warning
atau poster peringatan bagi para petugas
Avsec untuk tidak mengendorkan kewaspadaan dan ketelitiannya sedikit pun dalam
memeriksa setiap penungpang. Di poster itu tertulis dengan jelas, “we never
forget 9/11”. Sayangnya aku tak diperkenankan mengambil tulisan yang
menarik itu.
Begitulah,
setiap kali ke bandara untuk bepergian ke kota-kota lainnya di Amerika, aku
diminta oleh pendampingku untuk datang lebih awal. Meski jadwal penerbangan
tertera pukul 11 misalnya, kita harus sudah tiba di bandara sekitar pukul 09.30.
Ada spare waktu sekitar 30 menit untuk menjalani pemeriksaan fisik dan barang bawaan
sebelum kita dinyatakan clear and clean
untuk naik pesawat.
![]() |
@St. Louis Airport |
Begitu
tiba di bandara, setelah urusan (di counter maskapai) tiket penerbangan beres,
maka kita akan memasuki antrian untuk menuju (mesin) bilik tembus pandang yang akan
memeriksa secara laser seluruh tubuh
kita. Nah, saat menunggu masuk ke
bilik itu, secara random petugas akan memeriksa kita dengan mengoleskan sejenis
cairan khusus, bentuknya seperti tisu basah. Tisu basah itu dioleskan ke tubuh
atau ke (tas jinjing) barang bawaan kita. Disamping itu, ada juga beberapa
petugas yang hilir mudik dengan anjing pelacaknya. Anjing terlatih itu tak henti-hentinya
mengendusi seluruh penumpang. Dengan pelatihnya, si anjing berjalan hilir mudik
menyela antrian. Aku, entah mengapa, mungkin lantaran tampangku yang rada kriminal
selalu dapet olesan ‘tisu basah’ tersebut.
Lepas
dari pemeriksaan pertama ini, barulah kita memasuki bilik (tembus pandang)
pemeriksaan. Sebelum masuk, kita harus melepaskan seluruh benda logam yang
melakat pada tubuh kita, sepeti gesper, cincin, jam tangan, dompet, bahkan
hingga sepatu. Semuanya dimasukkan dan dikumpulkan dalam satu wadah/tempat.
Karena banyaknya barang yang harus ditanggalkan, maka setiap penumpang
memerlukan minimal dua wadah untuk menaruh barang-barangnya. Praktis hanya
baju, celana, dan kaos kaki saja yang melekat dibadan. Tak lebih. Saat memasuki
bilik itu, kaki harus dalam posisi terentang, dan tangan diangkat ke atas.
Setelah dirasa pada posisi pas, mulailah sejenis sinar tak terlihat ‘menembak’
tubuh kita, memastikan bahwa tubuh kita clear.
Lepas dari bilik itu, kita keluar untuk mengambil dan mengemasi kembali
barang-barang yang tadi kita tanggalkan dan tertaruh di wadahnya.
![]() |
Just landed in DC |
Nah,
keruwetan saat pemeriksaan bertambah lagi bila kita membawa laptop atau tas
jinjing yang tak dimasukkan ke dalam bagasi pesawat. Akan butuh waktu extra bila Si pemeriksa, melalui mesin
‘kotak pemeriksa’-nya menemukan ‘sesuatu’ yang mencurigakan. Si petugas akan meminta
konfirmasi ke kita tentang temuan yang mereka dapatkan. Disinilah proses
‘interogasi’ berlangsung. Apa barang itu? Untuk apa? Kenapa dibawa? dan
pertanyaan menyelidik yang mesti kita jawab dengan clear dan tampang menyakinkan. Jika lolos maka kita akan
mengepak-nya kembali, namun jika tidak, inilah masalahnya. Keberangkatan kita
akan sedikit terhambat. Butuh waktu yang tak sebentar untuk membuat
barang-barang yang kita bawa dapat status clear
and clean.
Dan,
inilah yang terjadi padaku. Jauh sebelumnya aku sudah diwanti-wanti bahwa
setiap barang atau cairan dilarang dibawa ke dalam bagasi pesawat. Rules itu aku patuhi dan camkan
benar-benar. Namun sayangnya, lantaran sering kali bongkar pasang koper dan re-packing karena harus pindah-pindah
kota (states), maka terlewatlah sebuah botol kecil, masuk ke tas besar. Ya,
biasanya aku tak pernah lupa memasukan odol, parfum, deterjen ataupun sejenis
barang cairan lainnya, termasuk obat-obatan pribadi ke dalam koper besar. Lha kok bisa ada satu barang yang luput
masuk ke koper besar itu. Ingatnya pas saat koper besar sudah masuk ke jalur
bagasi.
Aku
baru menyadari ada sesuatu yang salah pas aku membuka resleting tas kecil untuk
mengambil paspor. Oalah, ternyata ada
botol kecil madu terselip didalamnya. “Wah gimana ini?” batinku. Padahal biasanya botol kecil isi madu itu
ada di koper besar. “Ah, abaikan saja,
semoga saja lolos,” batinku.
Aku
sengaja membawa madu ke Amerika lantaran madu itu bukan sembarang madu. Itu
adalah madu “Wadi Bin Ali”, madu obat. Sangat manjur tatkala badan kurang fit
dan kondisi tubuh lemah. Aku bawa ini lantaran badanku memang ringkih. Gampang
masuk angin. Madu ini semacam ‘jimat’ bagiku sebagai bekal (obat) kepergianku
ke Amerika. Makanya, pas ada madu di tas kecil itu, kaget juga aku. Aku
khawatir madu ini akan jadi masalah lantaran tergolong benda cair.
Saat
pemeriksaan fisik (di bilik tembus pandang) aku lalui dengan lancar, maka
tibalah saat mengambil barang-barangku yang telah masuk melalui mesin pemeriksaan
yang terpisah. Ternyata tas kecilku belum keluar juga dari mesin pemeriksa. Di
computer kulihat petugas meneliti dengan seksama isi tasku. Tampaknya ia tahu
bahwa ada botol atau cairan dalam tas itu. Kekhawatiranku terbukti. Sejurus
kemudian, petugas itu memerintahkan temannya untuk mengambil tas kecilku untuk
dilakukan pemeriksaan (fisik) langsung. Nah, kejadian juga akhirnya, batinku.
Oleh petugas madu itu ditemukan, dan diambilnya. Dengan setengah berteriak,
petugas itu berkata, punya siapa tas ini? Mengacunglah aku. Lalu proses
interogasi-pun dimulai. Ditanya olehnya, barang (botol) apa ini? Dengan sedikit
gugup kujelaskan bahwa botol itu adalah obat. “Hi, Buddy, It’s only honey,
like jelly, no water,” terangku padanya. Meski aku menjelaskan bahwa botol
kecil itu bukan sembarang cairan, namun ia tetap pada aturan bahwa sesuatu yang
bersifat cair, meskipun itu madu, tidak boleh lolos ke dalam pesawat. Jiahhh kejadian juga deh.
Aku
masih berharap madu itu akan lolos. Aku hubungi pendampingku yang telah
menunggu diluar area pemeriksaan. Aku terangkan padanya bahwa barangku ada yang
disita. Aku berharap ia, dengan passport USA-nya, dapat meminta keringanan ke
petugas supaya maduku lolos. Pendampingku sendiri sudah yakin usahanya akan
sia-sia, namun karena aku memaksa, dicobanya juga untuk meloby petugas itu. Ia coba menerangkan ke petugas bahwa cairan
itu just honey, dan untuk obat!!
Namun tetap aja si petugas Avsec tak meloloskannya. Ia ku-nilai saklek menerapkan aturan, atau memang
demikianlah SOP-nya.
Dengan
perasaan berat hati, akhirnya kurelakan Wadi Bin Ali-ku direngut secara paksa
oleh aturan. Ya, petugas hanya menjalankan aturan, akulah yang ceroboh. Hanya
kepasrahan saja yang ada. Pasrah sekaligus mangkel dan kesal. Untungnya sisa
hariku di Amerika hanya tinggal sepekan saja, sehingga ketiadaan madu itu tidak
mempengaruhi kondisi fisikkku.
Akhirnya,
disetiap pemeriksaan berikutnya dengan sangat teliti kuperiksa tas kecilku,
jangan sampai terjadi ada botol kecap atau saos masuk ke tas itu. Untung hanya
madu, coba kalau parfum dengan merk terkenal nan mahal. Bisa nangis bombay
lantaran harus di buang, hehe..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar