Jumat, 07 Juli 2017

Jangankan Jam Tangan, Sepatu Pun Harus Dilepas

@Helena Airport
Menarik juga mencermati kisah dimana ada istri pejabat yang marah hingga menampar petugas Aviation Security (Avsec) di Bandara. Rada geli juga membaca kisahnya, kok bisa-bisanya penumpang pesawat menampar petugas Avsec. Adakah yang salah dalam prosedur pemeriksaan di bandara di Indonesia? Atau bisa jadi yang bersangkutan kurang ‘piknik’ sehingga berlaku arogan di bandara. Well, Lantaran sudah sering ‘piknik’, aku ingin berbagi pengalaman tentang prosedur pemeriksaan penumpang pesawat terbang di bandara-bandara di Amerika Serikat. Semoga cerita ini menjadi bahan refleksi kita.

@Ronald Reagen Washington DC Airport
Setelah peristiwa 9/11 tampaknya untuk masalah keamanan di bandara-bandara di Amerika Serikat menjadi hal yang sangat prioritas untuk diperhatikan. Meski kejadian itu telah lama berlalu, namun kelengahan sedikit saja, tak bisa ditolerir. Di Bandara Helena, Negara bagian Montana, misalnya, meski bandara ini relatif kecil dan bukan bandara utama, namun untuk prosedur keamanannya tak beda dengan bandara-bandara besar lainnya di negeri Paman Sam. Di dekat ruang pemeriksaan, pas pintu masuk tertulis quote warning atau poster peringatan  bagi para petugas Avsec untuk tidak mengendorkan kewaspadaan dan ketelitiannya sedikit pun dalam memeriksa setiap penungpang. Di poster itu tertulis dengan jelas, “we never forget 9/11”. Sayangnya aku tak diperkenankan mengambil tulisan yang menarik itu.

Begitulah, setiap kali ke bandara untuk bepergian ke kota-kota lainnya di Amerika, aku diminta oleh pendampingku untuk datang lebih awal. Meski jadwal penerbangan tertera pukul 11 misalnya, kita harus sudah tiba di bandara sekitar pukul 09.30. Ada spare waktu sekitar 30 menit untuk menjalani pemeriksaan fisik dan barang bawaan sebelum kita dinyatakan clear and clean untuk naik pesawat.

@St. Louis Airport
Begitu tiba di bandara, setelah urusan (di counter maskapai) tiket penerbangan beres, maka kita akan memasuki antrian untuk menuju (mesin) bilik tembus pandang yang akan memeriksa secara laser seluruh tubuh kita. Nah, saat menunggu masuk ke bilik itu, secara random petugas akan memeriksa kita dengan mengoleskan sejenis cairan khusus, bentuknya seperti tisu basah. Tisu basah itu dioleskan ke tubuh atau ke (tas jinjing) barang bawaan kita. Disamping itu, ada juga beberapa petugas yang hilir mudik dengan anjing pelacaknya. Anjing terlatih itu tak henti-hentinya mengendusi seluruh penumpang. Dengan pelatihnya, si anjing berjalan hilir mudik menyela antrian. Aku, entah mengapa, mungkin lantaran tampangku yang rada kriminal selalu dapet olesan ‘tisu basah’ tersebut.

Lepas dari pemeriksaan pertama ini, barulah kita memasuki bilik (tembus pandang) pemeriksaan. Sebelum masuk, kita harus melepaskan seluruh benda logam yang melakat pada tubuh kita, sepeti gesper, cincin, jam tangan, dompet, bahkan hingga sepatu. Semuanya dimasukkan dan dikumpulkan dalam satu wadah/tempat. Karena banyaknya barang yang harus ditanggalkan, maka setiap penumpang memerlukan minimal dua wadah untuk menaruh barang-barangnya. Praktis hanya baju, celana, dan kaos kaki saja yang melekat dibadan. Tak lebih. Saat memasuki bilik itu, kaki harus dalam posisi terentang, dan tangan diangkat ke atas. Setelah dirasa pada posisi pas, mulailah sejenis sinar tak terlihat ‘menembak’ tubuh kita, memastikan bahwa tubuh kita clear. Lepas dari bilik itu, kita keluar untuk mengambil dan mengemasi kembali barang-barang yang tadi kita tanggalkan dan tertaruh di wadahnya.

Just landed in DC
Nah, keruwetan saat pemeriksaan bertambah lagi bila kita membawa laptop atau tas jinjing yang tak dimasukkan ke dalam bagasi pesawat. Akan butuh waktu extra bila Si pemeriksa, melalui mesin ‘kotak pemeriksa’-nya menemukan ‘sesuatu’ yang mencurigakan. Si petugas akan meminta konfirmasi ke kita tentang temuan yang mereka dapatkan. Disinilah proses ‘interogasi’ berlangsung. Apa barang itu? Untuk apa? Kenapa dibawa? dan pertanyaan menyelidik yang mesti kita jawab dengan clear dan tampang menyakinkan. Jika lolos maka kita akan mengepak-nya kembali, namun jika tidak, inilah masalahnya. Keberangkatan kita akan sedikit terhambat. Butuh waktu yang tak sebentar untuk membuat barang-barang yang kita bawa dapat status clear and clean.

Dan, inilah yang terjadi padaku. Jauh sebelumnya aku sudah diwanti-wanti bahwa setiap barang atau cairan dilarang dibawa ke dalam bagasi pesawat. Rules itu aku patuhi dan camkan benar-benar. Namun sayangnya, lantaran sering kali bongkar pasang koper dan re-packing karena harus pindah-pindah kota (states), maka terlewatlah sebuah botol kecil, masuk ke tas besar. Ya, biasanya aku tak pernah lupa memasukan odol, parfum, deterjen ataupun sejenis barang cairan lainnya, termasuk obat-obatan pribadi ke dalam koper besar. Lha kok bisa ada satu barang yang luput masuk ke koper besar itu. Ingatnya pas saat koper besar sudah masuk ke jalur bagasi.

Aku baru menyadari ada sesuatu yang salah pas aku membuka resleting tas kecil untuk mengambil paspor. Oalah, ternyata ada botol kecil madu terselip didalamnya. “Wah gimana ini?” batinku. Padahal biasanya botol kecil isi madu itu ada di koper besar. “Ah, abaikan saja, semoga saja lolos,” batinku.

Aku sengaja membawa madu ke Amerika lantaran madu itu bukan sembarang madu. Itu adalah madu “Wadi Bin Ali”, madu obat. Sangat manjur tatkala badan kurang fit dan kondisi tubuh lemah. Aku bawa ini lantaran badanku memang ringkih. Gampang masuk angin. Madu ini semacam ‘jimat’ bagiku sebagai bekal (obat) kepergianku ke Amerika. Makanya, pas ada madu di tas kecil itu, kaget juga aku. Aku khawatir madu ini akan jadi masalah lantaran tergolong benda cair.

Saat pemeriksaan fisik (di bilik tembus pandang) aku lalui dengan lancar, maka tibalah saat mengambil barang-barangku yang telah masuk melalui mesin pemeriksaan yang terpisah. Ternyata tas kecilku belum keluar juga dari mesin pemeriksa. Di computer kulihat petugas meneliti dengan seksama isi tasku. Tampaknya ia tahu bahwa ada botol atau cairan dalam tas itu. Kekhawatiranku terbukti. Sejurus kemudian, petugas itu memerintahkan temannya untuk mengambil tas kecilku untuk dilakukan pemeriksaan (fisik) langsung. Nah, kejadian juga akhirnya, batinku. Oleh petugas madu itu ditemukan, dan diambilnya. Dengan setengah berteriak, petugas itu berkata, punya siapa tas ini? Mengacunglah aku. Lalu proses interogasi-pun dimulai. Ditanya olehnya, barang (botol) apa ini? Dengan sedikit gugup kujelaskan bahwa botol itu adalah obat. “Hi, Buddy, It’s only honey, like jelly, no water,” terangku padanya. Meski aku menjelaskan bahwa botol kecil itu bukan sembarang cairan, namun ia tetap pada aturan bahwa sesuatu yang bersifat cair, meskipun itu madu, tidak boleh lolos ke dalam pesawat. Jiahhh kejadian juga deh.

Aku masih berharap madu itu akan lolos. Aku hubungi pendampingku yang telah menunggu diluar area pemeriksaan. Aku terangkan padanya bahwa barangku ada yang disita. Aku berharap ia, dengan passport USA-nya, dapat meminta keringanan ke petugas supaya maduku lolos. Pendampingku sendiri sudah yakin usahanya akan sia-sia, namun karena aku memaksa, dicobanya juga untuk meloby petugas itu.  Ia coba menerangkan ke petugas bahwa cairan itu just honey, dan untuk obat!! Namun tetap aja si petugas Avsec tak meloloskannya. Ia ku-nilai saklek menerapkan aturan, atau memang demikianlah SOP-nya.

Dengan perasaan berat hati, akhirnya kurelakan Wadi Bin Ali-ku direngut secara paksa oleh aturan. Ya, petugas hanya menjalankan aturan, akulah yang ceroboh. Hanya kepasrahan saja yang ada. Pasrah sekaligus mangkel dan kesal. Untungnya sisa hariku di Amerika hanya tinggal sepekan saja, sehingga ketiadaan madu itu tidak mempengaruhi kondisi fisikkku.


Akhirnya, disetiap pemeriksaan berikutnya dengan sangat teliti kuperiksa tas kecilku, jangan sampai terjadi ada botol kecap atau saos masuk ke tas itu. Untung hanya madu, coba kalau parfum dengan merk terkenal nan mahal. Bisa nangis bombay lantaran harus di buang, hehe..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar