Kamis, 14 September 2017

Beginilah Model Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak Di Amerika (Riverside Youth Correctional Facility)

Sebelum beranjak meninggalkan hotel, dalam buku panduan yang telah disusun, hari itu kami, peserta #IVLP dari Indonesia, dijadwalkan untuk mengunjungi sebuah fasilitas pemasyarakatan khusus anak (Youth Correctional Facility). Ya, selama di Amerika Serikat kami memang diprogram untuk menelisik lebih jauh mengenai sistem peradilan bagi remaja, untuk itu kunjungan ke salah satu Lembaga Pemasyarakatan Anak (LPA) sengaja disisipkan di agenda kegiatan kami. Sepanjang perjalanan, aku masih menerka-nerka, bagaimana rupa dan bentuk penjara atau lebih tepatnya tempat pembinaan khusus anak yang akan ku-kunjungi ini. Lokasinya berada jauh dari pusat kota. Namanya Boulder Riverside. Boulder masuk kedalam County -semacam Daerah tingkat II- Jefferson. Sepanjang perjalanan menuju Boulder, kita akan disuguhi pemandangan yang bagus. Dari kota Helena, Kami melaju ke arah selatan melalui jalan Interstate, ke arah Butte. Bila lurus terus maka akan tembus ke Nevada, Salt Lake City, bahkan bisa sampai ke Negara bagian California, di pantai barat Amerika.

Pagi itu di pertengahan bulan Maret 2016, dengan iringan hujan salju yang lembut, kami menuju penjara anak khusus perempuan di Negara bagian Montana. Kami berangkat saat mentari seakan malas menyapa kehangatannya. Sisa salju musim dingin masih saja turun meski musim semi telah tiba. Helena, Montana memang terletak di belahan utara Amerika, berada di dataran tinggi pegunungan Rocky Mountain. Menempuh jarak sekitar 40-an kilometer, tak sampai sejam, tibalah kami di sebuah desa kecil yang sunyi sepi. Nyaris tanpa ada aktivitas dan kegiatan di kampung kecil itu. Hanya ada satu dua mobil yang terparkir di depan gedung atau rumah, tanda ada ‘kehidupan’ disana.

Begitu mobil sewaan kami melambat dan memasuki sebuah jalan kecil dengan aspal yang mengelupas, dikelilingi oleh bangunan-bangunan tua di kiri kanannya, barulah aku sadar bahwa kami sudah sampai di tujuan. Ada beberapa bangunan tampak di lahan seluas lebih kurang 1 hektare ini, dengan bangunan utama persis berada di depan pintu masuk. Dari luar tidak tampak kalau itu adalah sebuah bangunan penjara. Maklum tidak ada tulisan besar apapun yang menandakan itu penjara. Hanya ada beberapa mobil milik petugas dan karyawan yang terparkir di depannya. Sekilas, hanya ada kesederhanaan yang kami lihat.

Namun dugaan kami keliru. Ketika kami menelisik masuk ke komplek pemasyarakatan ini, tampak fasilitas yang sangat mewah untuk ukuran LPA di tanah air. Ruang makan, ruang menonton TV dan ruang berkegiatan bersama (living room) terhubung dalam satu koridor. Meski tempat ini menyandang status sebagai tempat rehabilitasi anak (Youth Correctional Facility), namun desain LPA ini bukanlah berbentuk layaknya bangunan penjara dengan sel-sel yang menghiasinya. Kulihat ada beberapa blok bangunan besar dan kecil. Masing-masing bangunan (rumah) menyandang fungsi tertentu. Bangunan utama atau yang digunakan sebagai kantor dikelilingi oleh bangunan lainnya sebagai tempat aktivitas penghuni. Ada bangunan khusus untuk olahraga, dengan beragam fasilitas yang lengkap dan modern, seperti lapangan basket, voly, dan gym. Ada pula bangunan khusus tempat belajar mengajar serta tempat praktek keterampilan dan pertukangan. Disamping itu, ‘penjara’ in juga dilengkapi dengan sarana perpustakaan yang lengkap dan nyaman serta ruang komputer untuk belajar.

Youth Correctional Facility di Boulder Riverside ini lebih tepat disebut Pesantren Anak tempat penggemblengan mental dan spiritual. Disisni, mereka diperlakukan tak ubahnya sebagai siswa yang diinapkan di asrama. Menurut pengelola, diharapkan se-keluar-nya mereka dari sini, anak itu dapat tumbuh berkembang dan hidup normal tanpa ada bayang-bayang kelam masa lalu bahwa ia pernah dipenjara atau dalam hidupnya merasakan penjara.

Saat kami datang, ada 2 (dua) orang penghuni yang tinggal. Keduanya kutaksir berusia sekitar 15 tahun. Menurut Pengelola, masalah hukum yang mereka hadapi tergolong ringan, seperti mengemudi kendaraan dengan mabuk atau drugs, dan bukan kasus pembunuhan atau tindak pidana dengan kekerasan. Demi hukum dan keadilan mereka terpaksa harus ‘menginap’ di Boulder.

Tak ubahnya seperti pesantren di Indonesia, disini anak diharuskan mengikuti jadwal harian yang telah disusun oleh petugas. Anak harus telah berada di kamar pada pukul 21.00, setengah jam kemudian lampu akan dimatikan, tanda mereka harus tidur. Keesokan harinya, anak harus telah bangun untuk mengikuti pelajaran di sekolah khusus yang lokasinya juga berada dalam ‘penjara.’ Selepas itu beragam aktivitas dan kegiatan telah menanti, seperti olahraga, dan keterampilan lainnya.

Meskipun tempat ini dikhususkan bagi mereka (anak) yang tersangkut atau yang menjalani masa hukuman, namun ada pengkategorian anak yang masuk. Pengelola menerapkan kebijakan pemisahan antara anak dewasa dengan anak yang masih kecil. Jadi, meski masuk kategori anak-anak yakni usia 18 tahun kebawah, namun mereka tidak dicampur. Ada lorong pemisah antara mereka, sehingga ada penggolongan yakni untuk anak dan remaja. Atau untuk anak-anak yang belum dewasa (remaja) dengan anak yang telah dewasa atau menginjak usia remaja (juvenile).

Selain di Montana, kami juga menemukan konsep serupa seperti yang ada di Philadelphia. Namun seperti problematika kota besar lainnya, Philly tentu berbeda dengan Helena. Di Philly banyak dijumpai kasus remaja/anak yang berhadapan dengan hukum. Sama seperti Helena, di Philly pun penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan secara professional dengan memperhatikan hak-hak dan kebutuhan anak, baik itu pendidikan, keterampilan dan bahkan pemenuhan rohani (keagamaan) mereka. Tiap minggu akan ada petugas agama yang datang menyambangi mereka memberikan nasehat dan bekal hidup.

Oh ya, sebelum anak dikirim ke tempat rehabilitasi ini, mereka akan dihadapkan kepada semacam ‘pengadilan’ yang akan memeriksa kasus anak itu apakah mereka layak dikirim ke pusat rehabiliitasi ataukah cukup dikembalkan kepada orang tua masing-masing. Pengadilan ini bukanlah pengadilan umum seperti yang ada di Pengadilan Negeri di Indonesia, namun berupa pengadilan khusus yang menangani masalah anak dan keluarga. Begitulah, tampaknya kebijakan perlindungan anak di negeri Paman Sam ini mendapat tempat yang prominent dalam kehidupan mereka. Bahkan saking sensitif dan preventive-nya mereka dalam melindungi anak-anaknya, orang lain pun (entah profesi wartawan atau masyarakat biasa) tidak diperkanankan mengambil gambar atau berfoto dengan anak-anak di Amerika tanpa izin, terlebih mengambil gambar wajah mereka secara close up.


Itulah sekilas oleh-olehku mengunjungi salah satu lembaga pemasyarakatan khusus anak di Negara adidaya ini. ‘Oleh-oleh’ ini tentu sangat berguna bagi kebijakan perlindungan anak di Indonesia, utamanya, bagaimana upaya kita dalam menghadapi kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Semoga! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar