Sebelum
beranjak meninggalkan hotel, dalam buku panduan yang telah disusun, hari itu
kami, peserta #IVLP dari Indonesia, dijadwalkan untuk mengunjungi sebuah fasilitas
pemasyarakatan khusus anak (Youth Correctional Facility). Ya, selama
di Amerika Serikat kami memang diprogram
untuk menelisik lebih jauh mengenai sistem peradilan bagi remaja, untuk itu kunjungan
ke salah satu Lembaga Pemasyarakatan Anak (LPA) sengaja disisipkan di agenda
kegiatan kami. Sepanjang perjalanan, aku masih menerka-nerka, bagaimana rupa dan
bentuk penjara atau lebih tepatnya tempat pembinaan khusus anak yang akan ku-kunjungi
ini. Lokasinya berada jauh dari pusat kota. Namanya Boulder Riverside. Boulder
masuk kedalam County -semacam Daerah tingkat II- Jefferson. Sepanjang perjalanan
menuju Boulder, kita akan disuguhi pemandangan yang bagus. Dari kota Helena,
Kami melaju ke arah selatan melalui jalan Interstate,
ke arah Butte. Bila lurus terus maka akan tembus ke Nevada, Salt Lake City,
bahkan bisa sampai ke Negara bagian California, di pantai barat Amerika.
Pagi
itu di pertengahan bulan Maret 2016, dengan iringan hujan salju yang lembut,
kami menuju penjara anak khusus perempuan di Negara bagian Montana. Kami
berangkat saat mentari seakan malas menyapa kehangatannya. Sisa salju musim dingin
masih saja turun meski musim semi telah tiba. Helena, Montana memang terletak
di belahan utara Amerika, berada di dataran tinggi pegunungan Rocky Mountain. Menempuh
jarak sekitar 40-an kilometer, tak sampai sejam, tibalah kami di sebuah desa kecil
yang sunyi sepi. Nyaris tanpa ada aktivitas dan kegiatan di kampung kecil itu. Hanya
ada satu dua mobil yang terparkir di depan gedung atau rumah, tanda ada
‘kehidupan’ disana.
Begitu
mobil sewaan kami melambat dan memasuki sebuah jalan kecil dengan aspal yang
mengelupas, dikelilingi oleh bangunan-bangunan tua di kiri kanannya, barulah aku
sadar bahwa kami sudah sampai di tujuan. Ada beberapa bangunan tampak di lahan
seluas lebih kurang 1 hektare ini, dengan bangunan utama persis berada di depan
pintu masuk. Dari luar tidak tampak kalau itu adalah sebuah bangunan penjara. Maklum
tidak ada tulisan besar apapun yang menandakan itu penjara. Hanya ada beberapa mobil
milik petugas dan karyawan yang terparkir di depannya. Sekilas, hanya ada
kesederhanaan yang kami lihat.
Namun
dugaan kami keliru. Ketika kami menelisik masuk ke komplek pemasyarakatan ini,
tampak fasilitas yang sangat mewah untuk ukuran LPA di tanah air. Ruang makan,
ruang menonton TV dan ruang berkegiatan bersama (living room) terhubung dalam satu koridor. Meski tempat ini menyandang
status sebagai tempat rehabilitasi anak (Youth
Correctional Facility), namun desain LPA ini bukanlah berbentuk layaknya bangunan
penjara dengan sel-sel yang menghiasinya. Kulihat ada beberapa blok bangunan besar
dan kecil. Masing-masing bangunan (rumah) menyandang fungsi tertentu. Bangunan utama
atau yang digunakan sebagai kantor dikelilingi oleh bangunan lainnya sebagai tempat
aktivitas penghuni. Ada bangunan khusus untuk olahraga, dengan beragam fasilitas
yang lengkap dan modern, seperti lapangan basket, voly, dan gym. Ada pula bangunan
khusus tempat belajar mengajar serta tempat praktek keterampilan dan pertukangan.
Disamping itu, ‘penjara’ in juga dilengkapi dengan sarana perpustakaan yang
lengkap dan nyaman serta ruang komputer untuk belajar.
Youth Correctional Facility di Boulder Riverside ini lebih tepat disebut Pesantren
Anak tempat penggemblengan mental dan spiritual. Disisni, mereka diperlakukan tak
ubahnya sebagai siswa yang diinapkan di asrama. Menurut pengelola, diharapkan se-keluar-nya mereka dari sini, anak itu
dapat tumbuh berkembang dan hidup normal tanpa ada bayang-bayang kelam masa lalu
bahwa ia pernah dipenjara atau dalam hidupnya merasakan penjara.
Saat
kami datang, ada 2 (dua) orang penghuni yang tinggal. Keduanya kutaksir berusia
sekitar 15 tahun. Menurut Pengelola, masalah hukum yang mereka hadapi tergolong
ringan, seperti mengemudi kendaraan dengan mabuk atau drugs, dan bukan kasus pembunuhan atau tindak pidana dengan kekerasan.
Demi hukum dan keadilan mereka terpaksa harus ‘menginap’ di Boulder.
Tak
ubahnya seperti pesantren di Indonesia, disini anak diharuskan mengikuti jadwal
harian yang telah disusun oleh petugas. Anak harus telah berada di kamar pada pukul
21.00, setengah jam kemudian lampu akan dimatikan, tanda mereka harus tidur. Keesokan
harinya, anak harus telah bangun untuk mengikuti pelajaran di sekolah khusus
yang lokasinya juga berada dalam ‘penjara.’ Selepas itu beragam aktivitas dan kegiatan
telah menanti, seperti olahraga, dan keterampilan lainnya.
Meskipun
tempat ini dikhususkan bagi mereka (anak) yang tersangkut atau yang menjalani masa
hukuman, namun ada pengkategorian anak yang masuk. Pengelola menerapkan kebijakan
pemisahan antara anak dewasa dengan anak yang masih kecil. Jadi, meski masuk kategori
anak-anak yakni usia 18 tahun kebawah, namun mereka tidak dicampur. Ada lorong pemisah
antara mereka, sehingga ada penggolongan yakni untuk anak dan remaja. Atau untuk
anak-anak yang belum dewasa (remaja) dengan anak yang telah dewasa atau menginjak
usia remaja (juvenile).
Selain
di Montana, kami juga menemukan konsep serupa seperti yang ada di Philadelphia.
Namun seperti problematika kota besar lainnya, Philly tentu berbeda dengan Helena. Di Philly banyak dijumpai kasus
remaja/anak yang berhadapan dengan hukum. Sama seperti Helena, di Philly pun penanganan
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan secara professional dengan
memperhatikan hak-hak dan kebutuhan anak, baik itu pendidikan, keterampilan dan
bahkan pemenuhan rohani (keagamaan) mereka. Tiap minggu akan ada petugas agama
yang datang menyambangi mereka memberikan nasehat dan bekal hidup.
Oh
ya, sebelum anak dikirim ke tempat rehabilitasi ini, mereka akan dihadapkan kepada
semacam ‘pengadilan’ yang akan memeriksa kasus anak itu apakah mereka layak dikirim
ke pusat rehabiliitasi ataukah cukup dikembalkan kepada orang tua masing-masing.
Pengadilan ini bukanlah pengadilan umum seperti yang ada di Pengadilan Negeri
di Indonesia, namun berupa pengadilan khusus yang menangani masalah anak dan keluarga.
Begitulah, tampaknya kebijakan perlindungan anak di negeri Paman Sam ini mendapat
tempat yang prominent dalam kehidupan
mereka. Bahkan saking sensitif dan preventive-nya mereka dalam melindungi anak-anaknya,
orang lain pun (entah profesi wartawan atau masyarakat biasa) tidak diperkanankan
mengambil gambar atau berfoto dengan anak-anak di Amerika tanpa izin, terlebih mengambil
gambar wajah mereka secara close up.
Itulah
sekilas oleh-olehku mengunjungi salah satu lembaga pemasyarakatan khusus anak
di Negara adidaya ini. ‘Oleh-oleh’ ini tentu sangat berguna bagi kebijakan
perlindungan anak di Indonesia, utamanya, bagaimana upaya kita dalam menghadapi
kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar