Minggu-minggu
ini adalah waktu-waktu tersibuk bagi para sarjana lulusan perguruan tinggi baik
negeri maupun swasta untuk menyiapkan berkas dan persyaratan yang diperlukan
untuk mendaftar sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Tak hanya itu,
mereka pun dituntut kesiapan mental dan me-refresh
kemampuan dan pengetahuan mereka agar siap untuk bertarung dalam ajang seleksi CPNS.
Jika ada satu kekurangan yang luput saja, niscaya akan membuyarkan impian mereka
menjadi CPNS.
Bicara
mengenai integritas dan profesionalitas PNS sangat erat kaitannya dengan proses
atau awal mula seseorang diterima menjadi CPNS. Bila dalam proses penerimaannya
diawali dengan cara-cara kotor, hasilnya pun
akan kotor. Maka, agar diperoleh PNS yang bagus, harus dimulai dari hulu-nya
yakni proses seleksi penerimaan itu sendiri. Mulai dari keterbukaan penyampaian
informasi (diumumkan secara resmi dan tranparan proses dan tahapan-tahapannya
sampai kepada pengumuman kelulusannya) hingga yang terpenting adalah proses
atau tahapan seleksi itu sendiri. Bagaimana para pengambil kebijakan (Panitia
Seleksi) menjalankan proses seleksi itu secara fair, jujur, transparan dan
bersih. Bila proses awalnya bagus, dalam arti tak ada unsur KKN, maka boleh kita
berharap bahwa output atau pegawai
yang nanti akan di terima menjadi PNS adalah pegawai dengan kualitas dan
integritas diatas rata-rata.
Lalu, adakah role model proses seleksi CPNS yang
bersih yang pernah kita rasakan? Sekitar tahun 2009 hal tersebut pernah
diterapkan oleh Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo atau Foke. Beliau, meski orang
Betawi asli namun tidak aji mumpung
dengan cara mengistimewakan atau memberikan privilege
kepada orang Betawi untuk bekerja dan berkarier di Pemprov DKI Jakarta. Padahal,
--kalau beliau mau-- bisa saja memasukkan sebanyak mungkin putra-putri asli
Betawi untuk mengabdi di Pemprov DKI, wong
dia Gubernur-nya. Bicara dari segi
kepatutan dan kewajaran, bisa dimaklumi bila ada putra daerah yang diberikan
prioritas untuk membangun dan mengabdi di daerahnya. Selain itu, kedekatan beliau
dengan para tokoh masyarakat Betawi, ulama, dan pemuda-nya yang notabene mayoritas ber-etnis Betawi
sangat lah mudah untuk membuat
kebijakan yang pro-Betawi, even menyangkut kebijakan rekrutmen
pegawai di Pemprov DKI Jakarta. Tak hanya itu, Sekda Provinsinya pun, Muhayat, yang juga berdarah Betawi,
tentu akan meng-amini setiap langkah
dan kebijakan sang Gubernur. Namun kedua pimpinan pemerintahan tertinggi di ibukota
ini tidak melakukan itu. Mereka berdua bekerja secara professional, dengan
menanggalkan jubah suku dan etnis Betawinya.
Saking cintanya Fauzi Bowo kepada kota Jakarta, beliau
tak ingin merusak Jakarta dengan mewariskan aparatur yang tidak professional,
tidak bersih, dan tidak kredibel. Pada masa-nya lah dimulai proses seleksi CPNS Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang
transparan, bersih dan professional. Teman saya, wong ndeso dari Pacitan dan Klaten, misalnya, bisa keterima lulus menjadi CPNS di Pemprov
DKI Jakarta. Padahal di satu sisi banyak pemuda potensial Betawi yang masih ngangur. Namun itulah seleksi. Tidak ada
kebijakan afirmatif action yang digulirkan Fauzi Bowo bagi etnis Betawi
meskipun itu hanya untuk berkarier di lingkungan Pemprov DKI Jakarta.
Akibatnya pada
masa penerimaan CPNS Pemprov DKI Jakarta periode 2009 itulah dihasilkan para
staf CPNS yang kredibel, professional dan mumpuni di bidangnya masing-masing.
Para PNS Pemprov DKI Jakarta dengan NIP 2010 adalah pegawai pilihan dengan
latar belakang dari universitas terkemuka di tanah air. Saat itu
sarjana-sarjana terbaik jebolan dari Unpad, ITB, dan UI, terserak di
dinas-dinas teknis yang ada di Pemprov DKI.
Fauzi Bowo
sebagai pegawai yang telah lama berkarier di Pemprov DKI Jakarta tampaknya
memendam luka lama. Sudah menjadi rahasia umum pada sekitar tahun 70 – 90-an di
Pemprov DKI Jakarta dikuasai oleh etnis dan suku tertentu. Saat itu dikenal
dengan istilah “Babi Kuning”. Bila atasan atau pimpinan di dinas atau instansi
tersebut berasal dari etnis A, maka semua pejabat bawahannya hingga staf-nya
akan terkoneksi dengan si bos. Orang diluar kelompok itu akan sulit masuk ke
dinas tersebut. Pasalnya, setiap ada rekrutmen, pasti yang diprioritaskan untuk
masuk dan diterima bekerja adalah mereka yang berasal atau satu etnis dengan
pimpinannya. Jadilah di dinas tersebut menjadi dikuasai oleh mereka yang satu
group.
Kita tidak
dapat membayangkan bila proses dan cara-cara ‘jahiliyah’ ini diteruskan dan tidak diputus mata rantai-nya oleh Fauzi
Bowo maka dapat dipastikan langgam dan gaya pelayanan pemerintahan di DKI
Jakarta mungkin menjadi tidak professional, lemah, amburadul, bahkan hancur.
Tak ada yang bisa diharapkan dari mereka, calon pegawai, yang (proses) diterimanya
dengan dengan cara sogokan, kedekatan
kekerabatan (nepotisme), dan kolusi. Nah, usaha yang dirintis oleh Foke inilah
yang tinggal dipetik hasilnya dengan manis oleh penggantinya yakni Joko Widodo
dan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Betapa Ahok, saat menjabat sebagai gubernur
sangat membangga-banggakan angkatan 2010 sebagai angkatan yang hebat,
professional, dan kredibel. Tak heran banyak dari angkatan ini yang diangkat
Ahok menjadi pejabat dan menjadi ujung tombok setiap kebijakan yang
dikeluarkannya. Kalau saja tak ada angkatan 2010, entah apa yang terjadi dengan
kepemimpinan Ahok? Beruntung Ia banyak dibantu oleh staf PNS professional hasil
kebijakan seleksi yang dilakukan oleh Gubernur Fauzi Bowo.
Kini, pemerintah
pusat kembali membuka kesempatan kepada putra putri terbaik bangsa untuk
berkarier sebagai PNS. Langkah ini patut kita syukuri bersama, mengingat sudah
beberapa tahun ini penerimaan pegawai ditiadakan. Kita sama-sama berharap semoga
niat baik dan upaya mereka, para sarjana, putra putri Indonesia, yang memang
tulus dan ikhlas untuk mengabdi bagi kejayaan, kemajuan nusa dan bangsa Indonesia
dapat diapresiasi dengan sebaik-baiknya dengan tidak menyimpangkan proses
seleksi CPNS 2017 menjadi ajang titip menitip anak, keponakan, tetangga,
kerabat, dan anak-anak dari teman-teman sang pejabat. Semoga dengan proses seleksi,
seperti yang pernah dilakukan di Pemprov DKI Jakarta era Fauzi Bowo, menjadi
barometer dalam proses seleksi CPNS yang bersih, transparan, adil, dan jujur. Semoga!
Sumber Foto: http://www.tigapilarnews.com/berita/2017/07/01/112508-Pemprov-DKI-Ancam-Potong-Uang-TKD-PNS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar