Kamis, 04 Januari 2018

Pesta dan Bahagia dari Kegagalan.

Akibat mengikuti proses lelang jabatan di BPTSP awal tahun 2015 lalu --maka karena system itu-- aku harus hengkang dari BPMPKB yang telah menempaku lebih kurang selama 5 tahun ini. Sejak awal Mei 2015 aku sudah tidak berkantor di Ahmad Yani, By Pass. Banyak kenangan dan romantika yang kuperoleh selama ini. Suka serta duka. Kejenuhan dan kedinamisan. Semuanya hadir silih berganti.

Jujur, rada kaget juga saat tahu bahwa listing gajiku per Mei 2015 sudah tidak tercantum lagi di BPMPKB. Ini berarti, secara de jure aku bukanlah pegawai BPMPKB. Kemana gerangan nyangkutnya? Walhasil, aku harus cari tahu dan menyelidiki ada dimana daftar gajiku itu. Beruntung seorang kawan memberikan clue. “Mat, mungkin gaji loe nyangkut di BPTSP, kan loe pernah daftar ikutan lelang di BPTSP.”
“Oh iya, mungkin juga ya,” batinku.

Akhirnya, selepas upacara hari Kebangkitan Nasional di IRTI Monas, bersama Pak Jum aku meluncur ke gedung BPTSP mencari tahu akar masalah dan sebab musabab status kepegawaianku. Nah, ternyata dugaan temanku benar adanya. Listing gajiku sudah ada di BPTSP. Menurut cerita dari Staf kepegawaian BPTSP, bahwa mereka telah berulangkali coba mengontakku, namun hasilnya selalu nihil. Bahkan pihak kepegawaian BPTSP telah menghubungiku sejak pertengahan awal Maret, namun sayangnya nomor HP yang mereka peroleh salah. Terjadi kekeliruan dan keterbalikan angka.

Jujur, saat mengikuti proses lelang jabatan, dan gagal, ada perasaan sedih dan kecewa. Kenapa aku bisa gagal? Padahal, aku telah mengidam-idamkan posisi dan jabatan itu. Terbayang saat hadir di acara pelantikan pejabat teman dan bersua dengan rekan-rekan yang lulus dan terlantik hari itu. Ada perasaan sedih. Mereka dilantik, kenapa aku gagal?  Bahkan rekan se-kantorku pun banyak yang ikut terlantik. Hanya aku seorang yang tidak terlantik. Sedih rasanya kalau mengingat itu. Bagimanapun juga kegagalan adalah hal yang pahit. Kegagalan bukan untuk di rayakan.

Namun, jalan takdir dan suratan nasib telah ditentukan. Bisa saja aku lulus dan dilantik, tapi apakah itu nantinya membuatku bahagia? Bisa saja aku peroleh nilai yang baik dalam proses seleksi, namun apakah itu membuatku nyaman dengan posisi dan jabatan yang aku peroleh? Allah SWT telah menggariskan-ku gagal, dan mencukupkan-ku hanya sebagai staf.

Kalau aku set back, aku bersyukur ditakdirkan gagal. Ada beberapa kejadian yang membuat aku mensyukuri kegagalan dan ketidakberhasilan-ku. Lho kenapa kegagalan layak disyukuri dan dirayakan? Ini hikmahnya. Andaikata aku lulus dan dilantik, maka akan terjadi:

Pertama; Aku menyesal dengan posisi dan jabatanku saat ini. Kedua; Aku terbebani dengan jabatan-ku dan tidak enjoy dengan semua itu.
Banyak teman bercerita dan berkeluh kesah kepadaku lantaran mereka tidak nyaman dan tidak enjoy dengan posisi sebagai pejabat saat ini.
“Enakan loe, mas, jadi staff. Nyesel gw ikutan lelang dan jadi pejabat,” kata si A, temenku.
“Masih enakan di kantor lama, disini gak bisa kemana-mana” kata si B, juga temanku.
“Ah, banyakan nombokin, gw, uang pribadi banyak kepake, enakan loe, mas jadi staf, nyantai gak ada beban,” sungut si C, masih temanku.
Pada intinya, semua teman yang aku kenal, menyesal ikut lelang jabatan dan jadi pejabat.

Meski aku gagal dalam lelang jabatan di BPTSP --lantaran kuota yang terbatas-- namun bila saja aku peroleh nilai lumayan baik, niscaya aku akan menjadi pejabat di tempat lain (ikut pelantikan berikutnya) tentu aku telah hengkang dari BPMPKB sekitar bulan Februari. Artinya semenjak Februari aku mungkin menjadi pejabat di kelurahan atau di sekolah. Dan, aku akan bergelut dengan suasana dan budaya kerja baru, yang berbeda dari tempatku kerja selama ini.

Mungkin ini yang orang sebut, bila rezeki, gak kan kemana. Saat aku gagal ikutan lelang, seharusnya, --sebagai konsekwensinya-- aku harus pindah ke BPTSP sebagai staf. Nah, dengan sistem itu, santer terdengar bahwa aku akan dipindahkan ke BPTSP. Tapi kapan? Bulan besok, 3 bulan lagi atau bahkan tidak sama sekali. Gosip berseliweran. Banyak pula ‘ledekan’ yang terdengar, “eh kapan pindah ke BPTSP?” Kata temanku. Aku pun tidak tahu persis kapan bisa segera pindah ke BPTSP. Aku hanya pasif menunggu telpon dari mereka. Dan, dilalahnya, staf kepegawaian di BPTSP gagal menghubungiku lantaran nomor yang mereka peroleh dari BKD, salah.

Mujur tampaknya. Dengan gagalnya mereka menghubungiku, akibatnya aku masih tertahan di BPMPKB hingga akhir April. Sepanjang masa itulah terjadi berbagai peristiwa, kegiatan, dan pekerjaan yang bisa mengubah segalanya. 2 (dua) bulan ‘bonus’ di BPMPKB membuatku berkesempatan jumpa dengan pihak Kedubes USA. Mungkin akan lain cerita bila mereka –staf BPTSP-- berhasil menghubungiku di bulan Maret itu, kesempatan ke USA akan terbang. (kisahnya dirubrik terpisah).


Beranjak dari kejadian itu, banyak hikmah yang aku petik. Ternyata berbaik sangka dengan Allah SWT itu suatu keniscayaan. “Ana ‘inda dzonni abdi, Aku menurut persangkaan hambaku,” begitu yang kerap kudengar dari ustazdku saat mengurai hikmah berbaik sangka dengan Rabb. Ada hikmah yang terkandung di balik suatu peristiwa. Aku selalu berpikir positif atas kegagalanku. Mungkin memang jalanku harus seperti ini dan tetap menjadi staf. Kembali ter-ngiang di telinga saat Ustazku mengutip firman Allah SWT, yakni, boleh jadi sesuatu yang kamu nilai baik, ternyata jelek di mata Tuhan. Dan sesuatu yang kamu nilai jelek, bisa jadi, ternyata baik di mata Tuhan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar