Selasa, 13 Februari 2018

Cerita Banjir di Condet


Banjir kembali menerjang sebagian Jakarta. Banjir pada Senin, 5 Februari 2018, bisa disebut sebagai siklus lima tahunan. Kenapa demikian? Saya yang tinggal di Kawasan Condet, Jakarta Timur, yang relatif lebih aman ketimbang di daerah hilir seperti Rawajati, Manggarai, dan sekitarnya, pada sore kemarin kembali merasakan Banjir. Tahun-tahun sebelumnya, pemukiman kami selamat. Terakhir kena, di tahun 2007 dan 2012.

Karena sudah terbiasa ngalamin banjir, kami nyantai saja ngadapinya. Beruntung sejak pagi peringatan dini telah dikeluarkan sehinga kami siap menyambut datangnya banjir kiriman. Sebelum ‘tamu’ dari Bogor tiba, tetangga kami yang rumahnya hanya berjarak selemparan batu dari bibir sungai Ciliwung telah siap siaga. Barang-barang elektronik sudah diungsikan ke tetangga yang rumahnya bertingkat. Pakaian-pakaian sudah dikosongkan dari lemarinya. Simpanan emas, dollar, dan rupiah yang tak seberapa, telah dikempit dan dimasukkan dalam kutang ibu-ibu.

Nah, setelah prosesi angkut-angkut barang kelar dikerjakan, warga pemukiman kami nongkrong di tanggul bibir sungai, untuk memantau ketinggian air sungai. Sambil menghisap rokok, mereka mulai dapat memprediksi kapan kira-kira air sungai akan menerjang pemukiman kami. Memprediksi seberapa besar ketinggian banjir yang mungkin akan terjadi. Dengan Handy Talky, beberapa pengurus RW berkoordinasi dengan rekan-rekan mereka yang ada di hulu dan hilir sungai.

Begitulah sampai tibalah saatnya ‘tamu-tamu’ itu mulai berdatangan. Air mulai masuk menggenangi jalan di kawasan pemukiman kami sekira setelah shalat ashar. Lambat laun air mulai meninggi, dan puncaknya terjadi pada pukul 23.00 WIB. Semua badan jalan di Jalan Ciliwung/Buluh, yang melingkupi RW.16, Kelurahan Cililitan, terkena limpahan air cokelat Ciliwung. Ya, pemukiman kampung kami memang berbatasan langsung dengan kali Ciliwung. Di sebelah timurnya adalah Jalan Condet Raya. Beruntung banjir semalam tidak separah banjir di tahun 2012. Hanya mampir sebentar. Dan, sekira menjelang shubuh, banjir telah surut.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan banjir di kawasan kami tak terlalu lama. Pertama adalah; Jembatan di Kalibata yang menghubungkan Jakarta Selatan dan Jakarta Timur, sudah dibongkar, diganti dengan fly over yang tinggi, sehingga sampah yang biasanya menyangkut di badan jembatan dapat bebas mengalir sampai ke hilir, sampah terus hanyut hingga ke Manggarai.

Sampah ini memang momok yang menakutkan bagi kami. Isinya macam macam, ada ranting hingga dahan pohon yang hanyut, pempers bayi, bahan-bahan dari stereoform, bahkan hingga spring bed. Belum lagi sampah rumah tangga yang terbawa hanyut dari hulu. Nah, kalau sampah ini nyangkut di jembatan Kalibata, maka aliran air akan terhambat, akibatnya air dari hulu tidak dapat terus melaju melainkan ‘mampir’ di pemukiman kami, di Condet.

Kedua, telah rampungnya sudetan di Banjir Kanal Barat, sehingga air dari hulu Ciliwung yang masuk ke Pintu Air Manggarai dapat terbagi dan tidak terkonsentrasi di satu titik. Ketiga, tidak adanya pasang air laut. Dan terakhir, semalam Jakarta tidak di guyur lebat. Kalau sampai hujan, perfect!

Yang juga patut disyukuri adalah, tak ada korban jiwa dan harta akibat hanyut dibawa banjir, semalam. Kalaupun ada kerugian, itu hanya berupa sisa lumpur yang melekat di dinding dan ubin rumah. Dan pagi tadi, warga sudah mulai mebersihkan rumahnya, mengeluarkan sisa air kiriman dengan gayung. Setelah itu menyiramnya dengan air bersih.

Pagi ini kiriman air dari Bogor telah berangsur surut. Sayangnya, bagi mereka yang rumahnya memang permukaannya berada lebih rendah dari kali, air masih belum surut, meskipun ketinggiannya berangsur menurun. Begitulah banjir semalam yang terjadi di pemukiman kami. Kini kami bersiap untuk memantau kembali permukaan air sungai, karena kami tak tahu apakah si ‘tamu’ masih ingin datang ke rumah kami atau tidak.


Minggu, 04 Februari 2018

Menempatkan Becak di Jakarta

Meski sama-sama beroda tiga, namun becak dan bajaj berbeda. Bajaj dianggap manusiawi karena digerakkan dengan mesin. Sedangkan becak, dianggap kurang manusiawi lantaran dikayuh oleh kaki, betis, dan paha. Kebayang gak, bila becak melaju di jalan menanjak, dengan peluh keringat membasahi muka dan badannya, karena tak kuat mengayuh, Si abang becak mendorong becaknya, sedangkan Si penumpang, alih alih turun membantu meringankan beban berat Si abang becak, justru hanya duduk manis, menikmati ‘kesengsaraan’ Si abang becak.  Inilah mungkin yang dimaksud tidak memanusiakan manusia atau kurang manusiawi.

Wacana Gubernur Anies Baswedan untuk menghidupkan lagi becak di Ibukota mendapat tanggapan pro dan kontra dan warga kota. Yang kontra beranggapan bahwa becak, adalah salah satu yang menjadi sumber ketidak tertiban berlalu lintas. Bukankah saat ini tanpa becak pun, gang-gang dan jalan-jalan kecil di pelosok Jakarta masih semrawut. Semrawut dengan mobil milik warga yang parkir di pingir jalan lantaran tak punya lahan parkir. Semrawut dengan kaki lima yang buka lapak dan berjualan di pinggir jalan yang sempit. Lha, gimana kalau ada becak, bisa tambah semrawut gang-gang dan jalan-jalan kecil di perkampungan Jakarta.

Gubernur Anies dalam argumennya menuturkan bahwa becak hanya akan ada di perumahan atau perkampungan, dan tidak boleh masuk ke jalan protokol. Anies mencontohkan, warga yang membuka warung di rumah membutuhkan becak untuk membawa barang belanjaannya yang dibeli dari pasar. Selama ini disukai atau tidak becak telah hadir ditengah-tengah masyarakat. Di kawasan Jakarta Utara seperti di Warakas misalnya, becak digunakan untuk menarik penumpang. Di sekitar tempat pelelangan ikan di Jakarta, becak digunakan untuk mengangkut hasil tangkapan nelayan. Ini adalah kondisi becak yang terjadi saat ini. Sudahkah becak di Jakarta dimanusiawikan? Inilah yang akan menjadi impian dan tantangan bagi Anies, menjadikan becak lebih manusiawi di Jakarta.

Namun, sebelum impian itu menjadi nyata, perlu upaya yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk menerapkan regulasi perbecakan. Dengan kajian yang mendalam melibatkan seluruh komponen masyarakat, pasti akan terjawab keraguan-keraguan masyarakat tentang dampak negatif dari hadirnya becak di Jakarta. Bila di cerna dengan pikiran jernih, wacana dan ide yang dilontarkan oleh Gubernur Anies cukup menarik. Kenapa becak tidak dilegalkan saja? Ditata dan diatur dikawasan mana saja yang boleh ada becak. Ada batasan maksimal, berapa becak yang boleh beroperasi di kawasan itu. Intinya adalah pengaturan! 

Nah, selain sebagai sarana transportasi di perkampungan, yang tak kalah menariknya adalah bagaimana menjadikan becak sebagai salah satu daya tarik wisatawan. Sama seperti Monument Washington, di Washington DC, Amerika Serikat, dengan National Mall, yang terbentang dihadapannya, Monas pun mempunyai tata ruang yang hampir sama. Kebayang gak, selama ini dari parkiran mobil/motor menuju ke Tugu Monas, kita harus berjalan kaki, meskipun telah tersedia mobil wara wiri gratis. Nah, bila di sekitaran monas disiapkan becak, bisa menjadi daya tarik wisatawan. Syaratnya tentu ada pada penampilan dan modifikasi becak itu sendiri agar sesuai dengan pangsa pasar wisata. Tampilan becak bisa ditiru dinegara-negara maju.

Sebagai bahan perbandingan, kita bisa menoleh kehadiran becak di Negara-negara yang lebih maju dari Jakarta. Di Washington DC, Amerika Serikat misalnya, becak telah ada. Saat saya berkunjung ke DC, saya menemukan becak yang disewakan. Becak disana sungguh menarik, eye-catching. Tampilan becaknya gak kumel. Abang becaknya pun bajunya rapih dan bersih. Berbeda dengan di Indonesia, becak di DC posisi pengayuh atau abang becak ada di muka, sedangkan penumpangnya ada di belakang. Permasalahannya adalah, bagaimana mengatur kebaradaan becak agar tertata dan terlihat rapih dan teratur. Di DC, kebaradaan becak hanya ada di sekitar objek-objek wisata yang banyak terserak di sekitar National Mall,  yang mana di sekitarnya terdapat spot-spot menarik yang menjadi daya tarik destinasi wisatawan mancanegara, seperti Monument Washington, Gedung Putih, dan musem-museum menarik lainnya.


Bila di DC, becak wisata bisa diterapkan, lantas apa yang salah dengan ide dan wacana Gubernur Anies untuk menghidupkan becak? Bila saja becak wisata dapat beroperasi di sekitaran Monas, tentu akan menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan yang hendak berkeliling monas. Selain ke Monas, dengan becak wisatawan dapat menyusuri jalan di sekitaran Medan Merdeka, mengunjungi spot-spot menarik yang ada di sana. Berkunjung ke beberapa museum yang ada di sekitarnya. Saya percaya, bila ini di terapkan secara professional niscaya akan menjadi pilihan wisata yang menarik. Jadi, jangan anggap becak sebagai suatu aib bagi transportasi Jakarta, tinggal di poles sedikit niscaya profesi penarik becak akan termanusiakan. Dan, satu lagi, impian Anies menjadikan becak di Jakarta sekelas becak di DC, nyata adanya. 

Jakarta Jangan Meninggalkan Sejarahnya

Upaya untuk menghargai jasa para pahlawan tentu patut diapresiasi. Salah satu pengingatnya adalah dengan penamaan jalan. Ali Sadikin (Bang Ali) misalnya, sebagai gubernur legendaris di Jakarta, meskipun yang bersangkutan belum ditetapkan sebagai pahlawan, namun jasa dan kontribusinya terhadap kemajan kota Jakarta sangat besar. Beliau lah peletak dasar pembangunan dan kemajuan Jakarta. Oleh sebagian kalangan, Bang Ali, pernah diusulkan untuk diabadikan namanya sebagai jalan di Jakarta. Cari punya cari, ketemulah Jalan yang cocok, lokasinya dekat dengan Balakikota, bekas kantornya. Jalan yang membentang dari mulai Tugu Tani hingga Tanah Abang ini dinominasikan sebagai jalan Ali Sadikin menggantikan Jl. Kebon Sirih. Sayangnya, seiring berjalannya waktu usulan itu menguap.

Kini, tanpa ada angin dan petir, usulan untuk mengganti nama jalan di Jakarta kembali mencuat. Permasalahannya adalah apakah penamaan jalan dengan salah satu tokoh (pahlawan) itu harus mengganti nama jalan yang telah ada, yang telah mempunyai nilai histroris, dan melegenda di kalangan masyarakat Jakarta? Inilah permasalahnya.

Sebagai kota pelabuhan, Jakarta kaya akan warisan sejarah. Beragam suku bangsa bermukim diwilayah seluas 661,5 Km2 ini. Untuk menjaga ingatan kolektif masyarakat, biasanya penamaan jalan di Jakarta terkait dengan peristiwa, tokoh, etnis/suku, ataupun geografis daerah itu. Di Jakarta kita mengenal Jalan Kampung Melayu, untuk melabelkan nama etnis yang banyak menetap di kawasan itu. Jl. Warung Buncit misalnya, dulunya disitu ada warung kepunyaan Bu Encit (etnis tionghoa). Warungnya, kalau meminjam istilah zaman now digunakan sebagai tempat hang out (ngumpul), untuk tempat transit dan kongkow-kongkow para pejalan dan pedagang yang melintasi ruas dari Pasar Minggu menuju ke tengah kota. Oleh masyarakat setempat, ruas itu dinamakan Warung Buncit. Begitupun Jl. Mampang (nama jenis pohon) Prapatan Raya dan Kemang Raya, di Jakarta Selatan. Dulunya banyak pohon Kemang (sejenis mangga) yang berserakan di sepanjang jalan mulai dari Antasari hingga Ampera Raya.

Nah, mengingat Jakarta sebagai kota yang punya nilai sejarah tinggi, maka wacana pergantian nama jalan itu harus dikaji secara mendalam. Boleh saja merubah nama jalan, namun dengan pertimbangan dan kajian yang melibatkan beberapa stakeholder, budayawan, dan tokoh masyarakat Betawi. (Maaf), jangan mentang-mentang (meminjam isilah Betawi) Buncit dan Mampang bukan seorang pahlawan, dan hanya sekadar nama bekas toko, nama buah, atau pohon, lalu dengan serta merta gampang menggantinya, semudah kita mengganti celana. Ingat, kawasan itu punya sejarah. Merubahnya berarti merubah sejarah.  Jadi, kalau mau merubah, ya, lihat-lihat dulu, oom.

Sebenarnya, bila kita mau capek sedikit menelisik jalan-jalan di Jakarta, banyak jalan-jalan di Jakarta yang rancu dan membingungkan warganya. Mau contoh? Seruas jalan di depan Stasiun Jatinegara, misalnya, dinamakan Jalan Bekasi Barat. Bagi orang luar Jakarta yang baru datang atau turun dari kereta, tentu bertanya-tanya, dimana Bekasinya? Padahal Bekasi masih sekitar 30-an kilo ke arah timur dari Jatinegara. Berbatasan dengan jalan itu, bukan masuk kota/Kabupaten Bekasi, namun ada jalan Bekasi Timur, lalu (ujug-ujug) ada jalan bernama I Gusti Ngurah Rai, mulai dari Cipinang/Klender hingga masuk ke perbatasan Bekasi. Tak hanya itu, jalan dengan penamaan “Bekasi” pun tak cuma di sekitar Jatinegara, ada banyak! Di kawasan Pulogadung hingga masuk ke Cakung, ada Jalan Raya Bekasi. Jalannya sangat panjang, mulai dari Perintis Kemerdekaan hingga berbatasan dengan Kabupaten Bekasi. Adapula jalan Raya Bekasi Timur, mulai dari Flyover Klender hingga Terminal Pulogadung.

Saking rancunya nama “Bekasi”, bila berkorespondensi maka harus lengkap mencantumkan keterangan wilayah/kawasan setelah kata “Bekasi”. Bekasi mana? Bekasi Jatinegara, Bekasi Klender, Bekasi Cakung, atau Bekasi Pulo Gadung? Jadi, bila mau dirubah, inilah salah satu contoh nama jalan yang harus ditata dan ditertibkan agar tak membingungkan warga.

Begitupun Jalan Raya Bogor. Jalan yang bermula dari PGC di Cililitan ini sangat panjang melintasi Kramat Jati, Pasar Rebo, Cijantung, lalu masuk ke wilayah Depok, Cibinong, hingga ke kota Bogor. Jalan ini memang jalan yang bernilai historis. Inilah jalan pertama yang dibangun di pulau Jawa. Dulu dinamakan jalan Pos atau Jalan Deandels. Bila kita berniat mengganti jalan ini, tentu akan mempunyai konsekwensi sejarah. Namun bila dirasa jalan itu membingungkan lantaran panjangnya, bisa saja jalan itu dirubah dengan nama pahlawan, dimulai dari PGC hingga Pertigaan Pasar Induk Kramat Jati, misalnya. Agar akar sejarah tidak hilang, selebihnya tetap dinamakan jalan Raya Bogor.

Jakarta memang berbeda dengan Washington DC. Di DC, hanya jalan-jalan besar (avenue) yang memakai nama tokoh atau kota tertentu. Disana kita akan menemukan jalan Pennsylvania. Nah, nama jalan lainnya diatur berdasarkan hurup seperti A, B, C, dst, ataupun berupa angka seperti jalan 1, jalan 2, 3, dst yang merujuk kepada petunjuk dari satu blok berpindah ke blok sebelah atau blok lainnya. Jalan dibagi/belah menjadi blok dan sektor. Misalkan saja namanya: Jalan 1SW, artinya jalan 1 dalam sektor South West. Maka tentu di blok berikutnya jalan 2SW, begitu seterusnya. Blok pun demikian. Bila di depan kita jalan Blok A, tentu setelahnya jalan Blok B, C, D berurutan dalam jejeran blok yang memancang. Sebagai orang baru, tentu kita tak akan menyasar selama jalan-jalan (kaki) di ibukota Amerika Serikat itu.


Kedepan, tampaknya kita memang harus duduk satu meja untuk merumuskan dan mengkaji ulang penamaan jalan-jalan di Jakarta. Jangan sampai terjadi jalan yang membingungkan tetap dipertahankan, dan sebaliknya jalan yang punya nilai historis dan legenda menjadi hilang. Amerika besar karena sejarahnya, kitapun ingin besar karena tak melupakan sejarah kita.