Banjir kembali menerjang sebagian Jakarta.
Banjir pada Senin, 5 Februari 2018, bisa disebut sebagai siklus lima tahunan. Kenapa demikian? Saya
yang tinggal di Kawasan Condet, Jakarta Timur, yang relatif lebih aman ketimbang
di daerah hilir seperti Rawajati, Manggarai, dan sekitarnya, pada sore kemarin
kembali merasakan Banjir. Tahun-tahun sebelumnya, pemukiman kami selamat.
Terakhir kena, di tahun 2007 dan 2012.
Karena sudah terbiasa ngalamin banjir, kami nyantai
saja ngadapinya. Beruntung sejak pagi
peringatan dini telah dikeluarkan sehinga kami siap menyambut datangnya banjir
kiriman. Sebelum ‘tamu’ dari Bogor tiba, tetangga kami yang rumahnya hanya
berjarak selemparan batu dari bibir sungai Ciliwung telah siap siaga.
Barang-barang elektronik sudah diungsikan ke tetangga yang rumahnya bertingkat.
Pakaian-pakaian sudah dikosongkan dari lemarinya. Simpanan emas, dollar, dan
rupiah yang tak seberapa, telah dikempit dan dimasukkan dalam kutang ibu-ibu.
Nah, setelah prosesi angkut-angkut barang kelar dikerjakan, warga pemukiman kami
nongkrong di tanggul bibir sungai, untuk memantau ketinggian air sungai. Sambil
menghisap rokok, mereka mulai dapat memprediksi kapan kira-kira air sungai akan
menerjang pemukiman kami. Memprediksi seberapa besar ketinggian banjir yang
mungkin akan terjadi. Dengan Handy Talky,
beberapa pengurus RW berkoordinasi dengan rekan-rekan mereka yang ada di hulu
dan hilir sungai.
Begitulah sampai tibalah saatnya
‘tamu-tamu’ itu mulai berdatangan. Air mulai masuk menggenangi jalan di kawasan
pemukiman kami sekira setelah shalat ashar.
Lambat laun air mulai meninggi, dan puncaknya terjadi pada pukul 23.00 WIB.
Semua badan jalan di Jalan Ciliwung/Buluh, yang melingkupi RW.16, Kelurahan Cililitan,
terkena limpahan air cokelat Ciliwung. Ya, pemukiman kampung kami memang
berbatasan langsung dengan kali Ciliwung. Di sebelah timurnya adalah Jalan
Condet Raya. Beruntung banjir semalam tidak separah banjir di tahun 2012. Hanya
mampir sebentar. Dan, sekira menjelang shubuh, banjir telah surut.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan banjir
di kawasan kami tak terlalu lama. Pertama adalah; Jembatan di Kalibata yang
menghubungkan Jakarta Selatan dan Jakarta Timur, sudah dibongkar, diganti
dengan fly over yang tinggi, sehingga
sampah yang biasanya menyangkut di badan jembatan dapat bebas mengalir sampai
ke hilir, sampah terus hanyut hingga ke Manggarai.
Sampah ini memang momok yang menakutkan
bagi kami. Isinya macam macam, ada ranting hingga dahan pohon yang hanyut,
pempers bayi, bahan-bahan dari stereoform,
bahkan hingga spring bed. Belum lagi sampah rumah tangga yang terbawa hanyut
dari hulu. Nah, kalau sampah ini nyangkut di jembatan Kalibata, maka
aliran air akan terhambat, akibatnya air dari hulu tidak dapat terus melaju
melainkan ‘mampir’ di pemukiman kami, di Condet.
Kedua, telah rampungnya sudetan di Banjir
Kanal Barat, sehingga air dari hulu Ciliwung yang masuk ke Pintu Air Manggarai
dapat terbagi dan tidak terkonsentrasi di satu titik. Ketiga, tidak adanya
pasang air laut. Dan terakhir, semalam Jakarta tidak di guyur lebat. Kalau sampai
hujan, perfect!
Yang juga patut disyukuri adalah, tak ada
korban jiwa dan harta akibat hanyut dibawa banjir, semalam. Kalaupun ada
kerugian, itu hanya berupa sisa lumpur yang melekat di dinding dan ubin rumah.
Dan pagi tadi, warga sudah mulai mebersihkan rumahnya, mengeluarkan sisa air
kiriman dengan gayung. Setelah itu menyiramnya dengan air bersih.
Pagi ini kiriman air dari Bogor telah
berangsur surut. Sayangnya, bagi mereka yang rumahnya memang permukaannya berada
lebih rendah dari kali, air masih belum surut, meskipun ketinggiannya berangsur
menurun. Begitulah banjir semalam yang terjadi di pemukiman kami. Kini kami
bersiap untuk memantau kembali permukaan air sungai, karena kami tak tahu
apakah si ‘tamu’ masih ingin datang ke rumah kami atau tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar