Di
kampungku, Kampung Kebon, Kemang, Jakarta, kebanyakan teman-teman sepermainanku,
setamat Sekolah Dasar, melanjutkan pendidikannya di bangku pesantren. Jarang
yang meneruskan sekolahnya ke sekolah umum atawa
SMP. Tujuan mereka di kirim ke pesantren oleh orang tuanya agar kelak (syukur-syukur) bisa menjadi pemimpin
agama atau –paling tidak—bisa memimpin tahlil, arwahan atau ngajarin ngaji para tetangga kiri kanan. Saking fanatik (atau lebih tepatnya)
kuat memagang ajaran agama, para orang tua di kampungku seakan alergi dengan
pola pendidikan yang diajarkan di sekolah mainstream
alias sekolah berbasis pendidikan umum semisal, SD, SMP, dan SMA. Akibatnya, jenjang
pendidikan yang dituju setamat sekolah dasar
adalah langsung dikirim ke pesantren, atau bagi mereka yang anaknya gak betahan tinggal di Pesantren,
biasanya di kirim ke sekolah (binaan Kementrian Agama) tingkatan tsanawiyah, dan aliyah.
Bagi
para orang tua di kampungku, menyekolahkan anaknya ke pesantren seakan
menyandang prestige dan gengsi yang
tinggi di kalangan mereka. Makin jauh pesantren yang dituju, makin kesohor pula
anak atau orangtuanya itu, apalagi bila sanggup mengirim putra putrinya berguru
ke Cairo, Mesir. Oh ya, menariknya, kebanyakan pesantren yang dituju adalah di
Jawa Timur. Tidak ada yang ke Jawa bagian barat atau tengah. Maklum, mayoritas
atau hampir di-reken 90% muslim
betawi di kampungku beraliran dan berpaham politik NU (entah sebagai partai
politik ataupun sebagai jam’iyyah).
Bagi mereka, Jawa Timur dipandang sebagai kiblat ajaran ahlussunnah waljamah dimana banyak berdiri pesantren. Sebut saja misalnya,
di Jombang. Disana ada 4 (empat) pesantren besar yang mewakili 4 penjuru mata
angin. Di selatan ada Tebuireng, di utara ada Tambak Beras, di barat ada
Denanyar, dan di timur ada Rejoso, Peterongan.
Dalam
analisaku, kebiasaan mengirim anaknya ke pesantren di Jombang, Jawa Timur,
lantaran --pada selepas Gestapu-- banyak para pemuda Betawi di kampungku yang
belajar disana. Walhasil, ini seakan meneruskan tradisi yang sudah berjalan
selama ini yakni mengirim kembali para adik atau anaknya ke pesantren di sebelah
Mojokerto itu. Selain itu, guru mengaji para orang tua di kampungku adalah juga
jebolan dari pesantren asuhan kakek Gus Dur. Jadilah kebanyakan teman-teman di
kampungku nyantri dan mondok di pesantren di Jawa Timur
Namun,
bagi kalangan Islam ‘modernis’ di kampungku atau mereka yang tidak saklek pengikut NU, --meski jumlahnya
sangat sedikt-- mereka, para orang tua, mengirim belajar putra nya ke Pondok
Modern (PM) Gontor, di Ponorogo ataupun Pesantren yang berafiliasi ke Gontor. Kebalikan
dari pesantren ‘tradisional’ khas NU, maka Gontor lebih menekankan pada
ke’modern-annya. Seperti, para santri sudah dibiasakan berbusana rapi, berjas
dan berdasi dalam tata acara resmi, serta memakai sarung dengan ikat pinggang
saat shalat berjamaah di Masjid. Disamping itu, dalam sistem belajar pengajaran,
maka bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Arab atau Inggris.
Sebaliknya, pada pesantren yang berafiliasi ke Tebuireng, untuk penterjemahan
kitab-kitab klasik karya dari para ulama
terdahulu adalah dengan memakai bahasa jawa atau Indonesia. Well, Saya tidak
akan berpanjang kalam membahas perbedaan antara mazhab Tebuireng dan Gontor ini.
Waktu
itu, tahun 80-an pesantren yang terkenal dan santer di perbincangan dalam
obrolah antar para orang tua di kampungku, selain Tebuireng dan Gontor, adalah
Yapi Bangil, Asembagus, Situbondo; Pesantren di Malang; dan di Kediri.
Tampaknya para orangtua mulai mencoba keluar dari konvensi yang ada dalam dunia
kepesantrenan dengan menyekolahkan anaknya diluar kedua pondok besar itu. Ya
mungkin dengan melihat pertimbangan bahwa diluar kedua pesantren besar itu
banyak pula pesantren bagus dengan kualitas kyai dan guru pengasuh yang
mumpuni.
Selain
ke Jawa Timur ada pula sebagian kecil temanku yang gak betah jauh dari orang tua alias hanya ‘nyantri ‘ di sekitaran
Jakarta saja. Ada banyak Pesantren terkenal di Jakarta saat itu. Sebut saja
misalnya Pesantren Darunnajah, Ulujami, Jakarta dimana pengasuhnya adalah
jebolan dari PM Gontor. Ada pula pesantren yang diasuh oleh para Guru dan ulama
Betawi, seperti Pesantren As-Syafiiyyah di bilangan Balimatraman, Jakarta
Selatan. Pesantren asuhan KH Abdullah Syafei ini banyak digemari kalangan
Betawi. Beliau adalah ulama pribumi, dalam arti bukan dari kalangan habaib yang
banyak bertebaran di Jakarta saat itu. Sama dengan KH. Hasyim As’arie, pengasuh
Pesantren Tebuireng, KH Syafei juga pernah berguru dan belajar ditanah suci, di
Mekkah.
Kini,
selepas mesantren, saat usia
teman-temanku rata-rata berada di kisaran 40 (empat puluh) tahunan, yang
berarti mereka sudah punya anak yang masuk usia layak di-pesantren-in, sudah tidak ada lagi yang meneruskan tradisi
mengirim anaknya ke pesantren. Entah karena apa. Zaman dan pergeseran budaya
telah berubah tampaknya. Atau bisa jadi ke-‘engganan’ mereka mengirim
anak-anaknya ke pesantren lantaran himpitan dan biaya ekonomi yang tidak murah.
Maklum saja, sekarang biaya untuk mesantren
tidak murah, bisa berjuta-juta. Lain bila dibandingkan dengan uang masuk
SMP/SMA yang murah bahkan gratis, ditambah ada embel-embel tunjangan dari Kartu
Jakarta Pintar (KJP).