Dahulu,
sekitar tahun 70-an, saat aku masih kecil, bila diajak bunda pergi berbelanja
ke Pasar Minggu dengan Bus, (Mayasari Bakti, warna Hijau) pasti akan ‘singgah’
sebentar di Ragunan, tepatnya di Pintu Utama (Utara). Bus sengaja berhenti untuk
melayani mereka yang hendak datang dan bertolak ke/dari Ragunan, Jakarta
Selatan. Bus terpaksa singgah lantaran saat itu minim sekali trayek yang menuju
dari dan ke objek wisata –satu-satunya dan murah meriah di Jakarta-- Kebun Binatang,
Ragunan. Walhasil, rute Pasar Minggu – Blok M via Kemang yang di jalani Mayasari
itu tidak langsung menuju ke barat, ke arah Ampera/Kemang, namun harus melipir
terlebih dahulu selatan, ke Ragunan, untuk kemudian balik arah lagi ke utara
lalu berbelok ke barat ke arah TB Simatupang dan Ampera, lalu ke Kemang dan berakhir
di Terminal Blok M, (Aldiron Plaza) Kebayoran Baru.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEixEXxc0TD1M5DIEnqe2wCZhMTHMupAR9qNtDGsroMQRoQrYFCwWnW1NUbdFqp03h5q6VJTSZRdgu4F7gyzdU-m9B9OPBBVA7b4ZVYYFgWQoQfUuyGx9hQ4GmdFV_Xd1vv_m5VgeVjI5Sc/s320/sawit1.jpg)
Saking
terkenalnya kawasan Pasar Minggu saat itu sebagai wilayah “pedesaan,’ maka
masih sangat banyak dijumpai kebun-kebun penduduk Betawi yang lebar dan luas. Mata
pencarian utama mereka adalah dengan berkebun, memanfaarkan luas areal lahan
yang dimiliki untuk ditanami dengan aneka macam buahan. Jadilah kawasan Pasar
Minggu, Ragunan, Cilandak, Jagakarsa, dan Ciganjur sebagai sentra penghasil
beraneka macam buahan segar, di selatan Jakarta. Tak heran pada saat aku kecil,
aku sering mendendangkan lagu anak-anak yang sangat beken pada saat itu yakni:
“Papaya,
mangga, pisang, jambu..
Dibawa
dari Pasar Minggu..
Disana
banyak penjualnya..
Dikota
banyak pembelinya..”
Nah,
kembali ke ceritaku dimuka. Ada yang manarik saat bus melaju, yakni kita akan
disuguhi jejeran pepohonan kelapa sawit yang dengan rapinya berbaris seolah
menyambut dan tersenyum melambaikan dahan dan daunnya kepada para penumpang
yang hendak ke Ragunan. Barisan kelapa sawit ini seakan sebagai penanda bahwa sebentar
lagi, (lebih kurang 2KM) kita akan sampai di Kebun Binatang Ragunan. Saat itu, deretan
Sawit itu, --dengan rentang jarak antar pohon sekira lima langkah-- terlihat
oleh anak kecil sepertiku, seakan tentara yang berbaris rapi. Anggun dan
seragam pertumbuhannya. Ini bisa jadi, lantaran sewaktu awal mula ditanam, dengan
kondisi anakan pohon yang sama, maka pertumbuhannya pun seragam, tidak ada yang
lebih tinggi atau lebih rendah. Semua sama berjejer rapi.
Deretan
pohon sawit ini akan kita jumpai mulai dari pertigaan Jalan Buncit Raya dan Jalan
Raya Ragunan. Dengan sisi di kiri kanan jalan rumah penduduk yang masih tampak
asri, belum terlihat show room ataupun perkantoran di sekitarnya, seperti saat
ini. Namun kini (dalam amatanku pada Desember 2015 lalu) meski jajaran pohon
sawit masih tersisa di sana, deretan itu tidak berjajar rapi, melainkan ada
beberapa pohon yang sengaja atau tidak, telah tumbang atau ditumbangkan dan
tercabut dari asalnya. Akibatnya, meski penanda arah menuju ke Ragunan yakni
Sawit itu masih ada, namun tidak serapih dan seanggun saat aku sering
melewatinya di tahun 70-an.
Tampaknya
arus pembangunan menerjang berbagai kawasan di Jakarta. Wilayah yang dulunya
tertata rapi, kini berubah oleh tuntutan hidup dan modernitas. Rumah dan pekarang
milik warga Betawi yang lebar dan luas, tergusur oleh pembangunan, berubah
menjadi show room, bengkel, pom bensin, perkantoran, dan lahan usaha lainnya. Beruntung,
meski tidak se-asri dan sebagus dulu, namun kini, selepas 30 tahun berlalu,
mascot Ragunan, berupa deretan pohon kelapa sawit masih tetap ada. Deretan
sawit masih kokoh berdiri sebagai penanda tak jauh darinya akan dijumpai aneka
satwa di Kebun Binatang Ragunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar