Rabu, 20 Januari 2016

Tradisi Mesantrenin Anak

Di kampungku, Kampung Kebon, Kemang, Jakarta, kebanyakan teman-teman sepermainanku, setamat Sekolah Dasar, melanjutkan pendidikannya di bangku pesantren. Jarang yang meneruskan sekolahnya ke sekolah umum atawa SMP. Tujuan mereka di kirim ke pesantren oleh orang tuanya agar kelak (syukur-syukur) bisa menjadi pemimpin agama atau –paling tidak—bisa memimpin tahlil, arwahan atau ngajarin ngaji para tetangga kiri kanan. Saking fanatik (atau lebih tepatnya) kuat memagang ajaran agama, para orang tua di kampungku seakan alergi dengan pola pendidikan yang diajarkan di sekolah mainstream alias sekolah berbasis pendidikan umum semisal, SD, SMP, dan SMA. Akibatnya, jenjang pendidikan yang dituju setamat  sekolah dasar adalah langsung dikirim ke pesantren, atau bagi mereka yang anaknya gak betahan tinggal di Pesantren, biasanya di kirim ke sekolah (binaan Kementrian Agama) tingkatan tsanawiyah, dan aliyah. 

Bagi para orang tua di kampungku, menyekolahkan anaknya ke pesantren seakan menyandang prestige dan gengsi yang tinggi di kalangan mereka. Makin jauh pesantren yang dituju, makin kesohor pula anak atau orangtuanya itu, apalagi bila sanggup mengirim putra putrinya berguru ke Cairo, Mesir. Oh ya, menariknya, kebanyakan pesantren yang dituju adalah di Jawa Timur. Tidak ada yang ke Jawa bagian barat atau tengah. Maklum, mayoritas atau hampir di-reken 90% muslim betawi di kampungku beraliran dan berpaham politik NU (entah sebagai partai politik ataupun sebagai jam’iyyah). Bagi mereka, Jawa Timur dipandang sebagai kiblat ajaran ahlussunnah waljamah dimana banyak berdiri pesantren. Sebut saja misalnya, di Jombang. Disana ada 4 (empat) pesantren besar yang mewakili 4 penjuru mata angin. Di selatan ada Tebuireng, di utara ada Tambak Beras, di barat ada Denanyar, dan di timur ada Rejoso, Peterongan.

Dalam analisaku, kebiasaan mengirim anaknya ke pesantren di Jombang, Jawa Timur, lantaran --pada selepas Gestapu-- banyak para pemuda Betawi di kampungku yang belajar disana. Walhasil, ini seakan meneruskan tradisi yang sudah berjalan selama ini yakni mengirim kembali para adik atau anaknya ke pesantren di sebelah Mojokerto itu. Selain itu, guru mengaji para orang tua di kampungku adalah juga jebolan dari pesantren asuhan kakek Gus Dur. Jadilah kebanyakan teman-teman di kampungku nyantri dan mondok di pesantren di Jawa Timur

Namun, bagi kalangan Islam ‘modernis’ di kampungku atau mereka yang tidak saklek pengikut NU, --meski jumlahnya sangat sedikt-- mereka, para orang tua, mengirim belajar putra nya ke Pondok Modern (PM) Gontor, di Ponorogo ataupun Pesantren yang berafiliasi ke Gontor. Kebalikan dari pesantren ‘tradisional’ khas NU, maka Gontor lebih menekankan pada ke’modern-annya. Seperti, para santri sudah dibiasakan berbusana rapi, berjas dan berdasi dalam tata acara resmi, serta memakai sarung dengan ikat pinggang saat shalat berjamaah di Masjid. Disamping itu, dalam sistem belajar pengajaran, maka bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Arab atau Inggris. Sebaliknya, pada pesantren yang berafiliasi ke Tebuireng, untuk penterjemahan kitab-kitab klasik  karya dari para ulama terdahulu adalah dengan memakai bahasa jawa atau Indonesia. Well, Saya tidak akan berpanjang kalam membahas perbedaan antara mazhab Tebuireng dan Gontor ini.

Waktu itu, tahun 80-an pesantren yang terkenal dan santer di perbincangan dalam obrolah antar para orang tua di kampungku, selain Tebuireng dan Gontor, adalah Yapi Bangil, Asembagus, Situbondo; Pesantren di Malang; dan di Kediri. Tampaknya para orangtua mulai mencoba keluar dari konvensi yang ada dalam dunia kepesantrenan dengan menyekolahkan anaknya diluar kedua pondok besar itu. Ya mungkin dengan melihat pertimbangan bahwa diluar kedua pesantren besar itu banyak pula pesantren bagus dengan kualitas kyai dan guru pengasuh yang mumpuni.

Selain ke Jawa Timur ada pula sebagian kecil temanku yang gak betah jauh dari orang tua alias hanya ‘nyantri ‘ di sekitaran Jakarta saja. Ada banyak Pesantren terkenal di Jakarta saat itu. Sebut saja misalnya Pesantren Darunnajah, Ulujami, Jakarta dimana pengasuhnya adalah jebolan dari PM Gontor. Ada pula pesantren yang diasuh oleh para Guru dan ulama Betawi, seperti Pesantren As-Syafiiyyah di bilangan Balimatraman, Jakarta Selatan. Pesantren asuhan KH Abdullah Syafei ini banyak digemari kalangan Betawi. Beliau adalah ulama pribumi, dalam arti bukan dari kalangan habaib yang banyak bertebaran di Jakarta saat itu. Sama dengan KH. Hasyim As’arie, pengasuh Pesantren Tebuireng, KH Syafei juga pernah berguru dan belajar ditanah suci, di Mekkah.


Kini, selepas mesantren, saat usia teman-temanku rata-rata berada di kisaran 40 (empat puluh) tahunan, yang berarti mereka sudah punya anak yang masuk usia layak di-pesantren-in, sudah tidak ada lagi yang meneruskan tradisi mengirim anaknya ke pesantren. Entah karena apa. Zaman dan pergeseran budaya telah berubah tampaknya. Atau bisa jadi ke-‘engganan’ mereka mengirim anak-anaknya ke pesantren lantaran himpitan dan biaya ekonomi yang tidak murah. Maklum saja, sekarang biaya untuk mesantren tidak murah, bisa berjuta-juta. Lain bila dibandingkan dengan uang masuk SMP/SMA yang murah bahkan gratis, ditambah ada embel-embel tunjangan dari Kartu Jakarta Pintar (KJP).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar