Rabu, 16 Desember 2015

Apakah Catut Mencatut Selamanya Negatif?

Bicara catut mencatut yang marak belakangan ini, saya teringat dengan kelakuan dan tingkah rekan saya –sebut saja namanya Hamdan-- saat sering ‘keluyuran’ ke lapangan meninjau beberapa kegiatan dan proyek yang diadakan di suatu wilayah.

Saya ingin berbagi kisah. Biasanya jika ada kunjungan pejabat ke suatu wilayah tentu aparat (sipil maupun militer) dan pejabat terkait akan pontang panting menyiapkannya. Minimal SOP yang harus disiapkan yakni dari segi kebersihan lingkungan. Sebelum sang pejabat datang, dipastikan lingkungan sekitar tempat ceremony kegiatan sudah kinclong, bersih. Bahkan, lalat pun yang biasanya hinggap, segan tuk mampir ke situ. Nampaknya, lalat pun paham bila sang pejabat akan datang.

Nah, dalam urusan catut mencatut ini, pernah saya saksikan si Hamdan melakukannya tatkala melihat ketidak beresan di wilayah di mana ia sering turba. Misalkan saja, lingkungan yang kotor dengan serakan sampah dimana-mana ataupun pelayanan pada warga masyarakat yang lelet dan berbelit-belit. Begitu melihat ketidakberesan, langsung ia hampiri pejabat setempat. Setengah berbisik keluar lah jurus maut si Hamdan: “Ji, (Haji maksudnya, maklum pejabat yang ia bisiki ini sudah haji) Pak Bos ntar siang ada acara di samping, denger-denger mau ‘mampir’ kesini. Ini barusan ane kontak-kontakan ama ajudannya.“
“Bapak dari mana?” Tanya si Lurah setengah keder, maklum melihat sekilas dari tampilan Hamdan yang kurus cungkring ini dia gak percaya, namun setelah melirik ke name tag yang ia kenakan, jiper juga tuh lurah. Entah mengapa, mungkin ada kode tertentu yang dilirik olehnya sehingga tanpa babibu karena saking takjim dan takutnya dengan sidak yang biasa dilakukan Pak Bos, maka Si Lurah gak mau beresiko, segera diperintahkan anak buah dan para punggawanya untuk membersihkan lingkungan sekitar. “Pak Sekel tolong di koordinir, di lingkungan sekitar RW 5 dibersihkan, takut-takut Pak Bos dateng, ini ada info dari Pak Hamdan.” Perintah sang Lurah, sigap. Kena loe, batin si Hamdan.

Lalu, apakah Pak Bos dateng? Wallahu A’lam. Namun Hamdan ‘mencatut’ nama Pak Bos, lantaran kesal dengan ketidak beresan di kelurahan tersebut, dan tentu dengan kalkulasi yang matang pula. Pasalnya, ia tahu Pak Bos akan berkunjung ke kelurahan sebelah, yang ber-tetangga-an dengan wilayah sang Lurah. Jadi sembari lewat di wilayahnya, ia ‘perintahkan’ Lurah untuk bersih-bersih dia punya wilayah.

Salah satu makna “Mencatut” menurut KBBI adalah: mencari keuntungan dengan jalan TIDAK SAH (misalnya dengan cara menipu atau MENGAKALI). Bila mengacu pada KBBI diatas, maka tindakan yang Hamdan lakukan bisa jadi memenuhi unsur men-catut, yakni mencari keuntungan dengan jalan tidak semestinya dengan cara mengakali. Kalau pakai cara yang SAH (baca: semestinya) maka ia harus bersurat ke Lurah, meminta agar lingkungannya dibersihkan. Namun, jika memakai cara itu tentu akan birokratis dan lama. Justru Hamdan secara cerdik mengakali-nya dengan ‘mencatut’ nama Pak Bos.

Dan tampaknya memang aparat dibawah perlu sekali-kali ‘ditakut-takuti’ dengan hal-hal yang membuat ia takut. Siapa sih yang berani sama Pak Bos? Baru dengar Pak Bos mau sidak saja, atau bahasa kerennya blusukan, ‘dah keringat dingin, takut jadi temuan. Bisa berabe. Iya kalau Pak Bos tidak marah, lha kalau marah, jangan-jangan jabatan gak berumur panjang, alias di stafkan.

Lantaran sering nongkrong dan bergaul dengan para hansip, dan tukang ojek, saya pun jadi tahu kebiasaan mereka dalam catut mencatut. Sering dijumpai di pangkalan ojek dan pos ronda, para warga --yang memang gak ada kerjaan-- ngobrol ngalor ngidul sembari main catur atau gaplek dengan kepulan asap rokok. Nikmatnya hidup.  Mau tahu obrolan rakyat jelata kebanyakan? Biasanya tidak jauh-jauh dari ngomongin kawin cerai, baik di kalangan selebritis ataupun di lingkungan tempat tinggalnya. Kadang obrolan bisa cepat beralih ke batu akik, lalu bisa pula melenceng ke perpolitikan kontemporer, lokal maupun global. Nah, dalam obrolan di kalangan mereka biasanya disisipi dengan “catut mencatut”.

Pak RT atau Pak RW, misalnya sering dicatut oleh hansip maupun sang preman kampung dan tukang ojek setempat. “Gw kemaren ngobrol sama RT (pak RT, maksudnya), Warsun (Warung Sunda, maksudnya) yang pinggir kali kagak pernah nyetor uang sampah..“ Cetus, Jamal, Preman Kampung. Lalu si Toye, hansip lingkungan nimpalin: “Iya, payah emang tuh.. kemaren waktu gw ke parung ama RW, sempet disinggung juga tuh.” Kemudian disambar oleh Edi, Sekretaris RW, “Lha kemaren gw baru aja jalan ama RW. Dia bilang kalo model kayak gitu, sikat aja.”

Padahal saya tahu, sudah seminggu ini Si RW pergi umroh, mustahil beliau ketemu dan ngobrol dengan para cecunguk pos ronda ini, hehe.. Ketahuan banget ngibulnya tuh orang.

Itulah catut mencatut di lingkungan terkecil dan terendah, yakni RT dan RW. Lalu, apakah Sang Ketua RT atau RW marah? Rasanya kok tidak, mereka, --sepanjang amatan saya—gak ambil pusing. Buat apa di pikirin, lha wong canda-an dan obrolan warung kopi. Mungkin dalam benak RW atau RT, sepanjang gak ngerugiin posisi dan jabatan mereka, sepanjang gak buat rusuh di kampung, mereka sih asik-asik aja.

Menarik untuk diamati, bahwa mereka –sama dengan si Hamdan-- mencatut nama RT/RW hanya untuk gagah-gagahan. Hanya untuk meningkatkan prestige dan ke-tokoh-an mereka saat berhadapan dengan lawan bicaranya. Maklum, bagaimanapun juga Pak RW adalah tokoh masyarakat yang disegani. Siapa yang deket dengan Pak RW, otomatis akan terangkat pengaruh dan wibawa-nya di hadapan warga lainnya.

Kembali ke catut mencatut, tampaknya para pencatut tahu psikologi lawan bicaranya. Pencatutan terjadi lantaran pencatut tahu bahwa lawan bicaranya akan takut atau segan bila mendengar si pencatut menyebut sebuah nama. Pencatut sadar dan tahu bahwa nama itu mempunyai power dan kuasa yang bisa membuat lawan bicaranya jiper atawa takut dan memperhatikan apa yang akan dititahkan oleh pencatut selanjutnya. Lha iya, kalau mau nyatut masak nyebut nama si Pardjo, Satpam sebelah rumah, yang gak punya kuasa dan daya. Jadi, menurut saya, sepanjang tidak ada kerugian material dan pencemaran nama baik dari yang dicatut, saya rasa catut mencatut adalah hal yang biasa dalam bermasyarakat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar