Bicara
catut mencatut yang marak belakangan ini, saya teringat dengan kelakuan dan tingkah
rekan saya –sebut saja namanya Hamdan-- saat sering ‘keluyuran’ ke lapangan
meninjau beberapa kegiatan dan proyek yang diadakan di suatu wilayah.
Saya
ingin berbagi kisah. Biasanya jika ada kunjungan pejabat ke suatu wilayah tentu
aparat (sipil maupun militer) dan pejabat terkait akan pontang panting
menyiapkannya. Minimal SOP yang harus disiapkan yakni dari segi kebersihan
lingkungan. Sebelum sang pejabat datang, dipastikan lingkungan sekitar tempat ceremony kegiatan sudah kinclong, bersih. Bahkan, lalat pun yang biasanya hinggap, segan tuk mampir ke situ. Nampaknya, lalat pun
paham bila sang pejabat akan datang.
Nah,
dalam urusan catut mencatut ini, pernah saya saksikan si Hamdan melakukannya
tatkala melihat ketidak beresan di wilayah di mana ia sering turba. Misalkan
saja, lingkungan yang kotor dengan serakan sampah dimana-mana ataupun pelayanan
pada warga masyarakat yang lelet dan berbelit-belit. Begitu melihat
ketidakberesan, langsung ia hampiri pejabat setempat. Setengah berbisik keluar lah jurus maut si Hamdan: “Ji, (Haji
maksudnya, maklum pejabat yang ia bisiki ini sudah haji) Pak Bos ntar siang ada acara di samping, denger-denger mau ‘mampir’ kesini. Ini barusan ane kontak-kontakan ama
ajudannya.“
“Bapak
dari mana?” Tanya si Lurah setengah keder,
maklum melihat sekilas dari tampilan Hamdan yang kurus cungkring ini dia gak percaya, namun setelah melirik ke name tag yang ia kenakan, jiper juga tuh lurah. Entah mengapa, mungkin ada kode tertentu yang dilirik
olehnya sehingga tanpa babibu karena saking takjim dan takutnya dengan sidak
yang biasa dilakukan Pak Bos, maka Si Lurah gak
mau beresiko, segera diperintahkan anak buah dan para punggawanya untuk
membersihkan lingkungan sekitar. “Pak Sekel tolong di koordinir, di lingkungan
sekitar RW 5 dibersihkan, takut-takut Pak Bos dateng, ini ada info dari Pak
Hamdan.” Perintah sang Lurah, sigap. Kena loe, batin si Hamdan.
Lalu,
apakah Pak Bos dateng? Wallahu A’lam.
Namun Hamdan ‘mencatut’ nama Pak Bos, lantaran kesal dengan ketidak beresan di
kelurahan tersebut, dan tentu dengan kalkulasi yang matang pula. Pasalnya, ia
tahu Pak Bos akan berkunjung ke kelurahan sebelah, yang ber-tetangga-an dengan
wilayah sang Lurah. Jadi sembari lewat di wilayahnya, ia ‘perintahkan’ Lurah
untuk bersih-bersih dia punya wilayah.
Salah satu makna “Mencatut” menurut KBBI adalah: mencari
keuntungan dengan jalan TIDAK SAH (misalnya dengan cara menipu atau MENGAKALI).
Bila mengacu pada KBBI diatas, maka tindakan yang Hamdan lakukan bisa jadi
memenuhi unsur men-catut, yakni mencari keuntungan dengan jalan tidak semestinya
dengan cara mengakali. Kalau pakai cara yang SAH (baca: semestinya) maka ia
harus bersurat ke Lurah, meminta agar lingkungannya dibersihkan. Namun, jika
memakai cara itu tentu akan birokratis dan lama. Justru Hamdan secara cerdik mengakali-nya
dengan ‘mencatut’ nama Pak Bos.
Dan
tampaknya memang aparat dibawah perlu sekali-kali ‘ditakut-takuti’ dengan
hal-hal yang membuat ia takut. Siapa sih
yang berani sama Pak Bos? Baru dengar Pak Bos mau sidak saja, atau bahasa
kerennya blusukan, ‘dah keringat
dingin, takut jadi temuan. Bisa berabe. Iya kalau Pak Bos tidak marah, lha kalau marah, jangan-jangan jabatan gak berumur panjang, alias di stafkan.
Lantaran
sering nongkrong dan bergaul dengan para hansip, dan tukang ojek, saya pun jadi
tahu kebiasaan mereka dalam catut mencatut. Sering dijumpai di pangkalan ojek
dan pos ronda, para warga --yang memang gak
ada kerjaan-- ngobrol ngalor ngidul
sembari main catur atau gaplek dengan kepulan asap rokok. Nikmatnya hidup. Mau tahu obrolan rakyat jelata kebanyakan?
Biasanya tidak jauh-jauh dari ngomongin
kawin cerai, baik di kalangan selebritis ataupun di lingkungan tempat
tinggalnya. Kadang obrolan bisa cepat beralih ke batu akik, lalu bisa pula
melenceng ke perpolitikan kontemporer,
lokal maupun global. Nah, dalam
obrolan di kalangan mereka biasanya disisipi dengan “catut mencatut”.
Pak
RT atau Pak RW, misalnya sering dicatut oleh hansip maupun sang preman kampung dan
tukang ojek setempat. “Gw kemaren ngobrol
sama RT (pak RT, maksudnya), Warsun
(Warung Sunda, maksudnya) yang pinggir kali kagak
pernah nyetor uang sampah..“ Cetus,
Jamal, Preman Kampung. Lalu si Toye, hansip lingkungan nimpalin: “Iya, payah emang
tuh.. kemaren waktu gw ke parung ama RW, sempet disinggung juga tuh.” Kemudian disambar oleh Edi,
Sekretaris RW, “Lha kemaren gw baru aja jalan ama RW. Dia bilang kalo
model kayak gitu, sikat aja.”
Padahal
saya tahu, sudah seminggu ini Si RW pergi umroh, mustahil beliau ketemu dan
ngobrol dengan para cecunguk pos
ronda ini, hehe.. Ketahuan banget ngibulnya tuh orang.
Itulah
catut mencatut di lingkungan terkecil dan terendah, yakni RT dan RW. Lalu, apakah
Sang Ketua RT atau RW marah? Rasanya kok
tidak, mereka, --sepanjang amatan saya—gak
ambil pusing. Buat apa di pikirin, lha
wong canda-an dan obrolan warung kopi. Mungkin dalam benak RW atau RT,
sepanjang gak ngerugiin posisi dan
jabatan mereka, sepanjang gak buat
rusuh di kampung, mereka sih asik-asik
aja.
Menarik
untuk diamati, bahwa mereka –sama dengan si Hamdan-- mencatut nama RT/RW hanya
untuk gagah-gagahan. Hanya untuk meningkatkan prestige dan ke-tokoh-an mereka saat berhadapan dengan lawan
bicaranya. Maklum, bagaimanapun juga Pak RW adalah tokoh masyarakat yang
disegani. Siapa yang deket dengan Pak RW, otomatis akan terangkat pengaruh dan
wibawa-nya di hadapan warga lainnya.
Kembali
ke catut mencatut, tampaknya para pencatut tahu psikologi lawan bicaranya.
Pencatutan terjadi lantaran pencatut tahu bahwa lawan bicaranya akan takut atau
segan bila mendengar si pencatut menyebut sebuah nama. Pencatut sadar dan tahu
bahwa nama itu mempunyai power dan kuasa yang bisa membuat lawan bicaranya jiper atawa takut dan memperhatikan apa
yang akan dititahkan oleh pencatut selanjutnya. Lha iya, kalau mau nyatut
masak nyebut nama si Pardjo, Satpam
sebelah rumah, yang gak punya kuasa
dan daya. Jadi, menurut saya, sepanjang tidak ada kerugian material dan pencemaran
nama baik dari yang dicatut, saya rasa catut mencatut adalah hal yang biasa
dalam bermasyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar