Senin, 19 September 2016

Mereka Dari Pesantren

Bagi kami yang pernah merasakan tinggal di pesantren, tentu kehidupan remaja yang kami alami berbeda dengan remaja kebanyakan yang pada usia pubertas asik belajar, bermain dan bermain. Kehidupan di alam pesantren (yang berasrama) membuat hidup kami tak jauh dari kamar, sumur, lapangan bola (bermain) dan sekolah. Tak lebih. Kami yang pernah nyantren tentu jarang berhubungan dengan dunia luar. Tak ubahnya seperti lapas, hidup kami terkungkung di kelilingi tembok, meskipun ada pula pesantren tradisional yang tidak berpagar dan berbaur dengan lingkungan masyarakat lokal di suatu dusun (kampung).

Kehidupan kami tak beda dengan pendidikan yang dijalani sebagian remaja terpilih dari seluruh Indonesia yang mengikuti pendidikan militer atau Akademi Militer, yang terkontrol 24 jam dengan beragam aturan, kebiasaan, dan tingkah laku yang terprogram, terstruktur dan tersistem. Bahkan, untuk urusan busana dan bicara pun kami punya aturan. Boleh dibilang semua aturan yang ada dan dibuat oleh pimpinan itu tidak enak. Makan hati. Namun tujuan aturan itu tentu baik, yakni agar kami bisa menghadapi bekal hidup kedepannya. Agar jiwa dan kepribadian kami tertempa dengan baik.

Diantara teman-teman saya sekampung sepermainan, selepas sekolah dasar, hampir 60 persen diantara kami diutus atau dikirim orang tuanya ke pesantren. Kebanyakan dikirim ke luar kota Jakarta. Tujuannya tentu agar jauh dari rumah dan jarang pulang. Menurut orang tua kami, bila keseringan pulang, takutnya kami kena pengaruh ‘angin’ Jakarta yang jelek. Jadilah, kami dikirim ke Jawa Timur atau ke paling dekat ke jawa Barat (Cirebon, Tasik, dsk). Lantaran jauh, kami hanya pulang setahun sekali pas mendekati hari raya lebaran.

Oh ya, beragam latar belakang dan status sosial teman-teman saya yang nyantren. Ada yang orang tuanya dagang di pasar, ada pula yang jadi makelar tanah atau pegawai kantoran. Meski pekerjaan orang tua kami beragam, namun kami semuanya berlatar belakang keluarga yang taat akan ajaran agama. Kami Islam (titik), dalam arti memperoleh ajaran Islam dari ulama-ulama dimana mereka berguru yang ajarannya bersanad (menyambung) hingga ke Rasulullah SAW. Sehingga dalam masalah pemahaman keagamaan ketika awal nyantren, praktis diantara kami tidak mengalami ‘jetlag’. Semuanya seragam, tak ada yang nganut ajaran agama islam yang ‘aneh-aneh, seperti dari golongan islam Liberal, apalagi islam Nusantara. Naudzublillah..

Selepas pesanteren yang di tempuh rata-rata selama 6 (enam) tahun, kami mulai melanjutkan pendidikan ke berbagai bidang. Ada yang ikutan UMPTN dengan harapan dapat nerusin kuliah di PTN ternama, adapula yang memilih jalur biasa, dikatakan biasa karena basis kami berlatar belakang pendidikan agama, maka kuliahnya pun ke bidang agama, yakni ke Institut Agama Iislam Negeri/IAIN era tahun 90-an (sekarang UIN) atau ke Universitas berbasis keagamaan seperti Universitas Muhammadiyah dan sebagainya. Bahkan ada pula dintara kami yang ke luar negeri, biasanya mereka dari keluarga yang kaya raya, punya kontrakan (property) banyak dan sawah yang lebar. Arab Saudi, dan Negara di kawasan Timur Tengah lainnya, atau ke Mesir adalah tujuannnya. Dan, bagi yang berasal dari keluarga yang ‘kismin’ biasanya selepas pesantren mereka tak kuliah dan memilih mengajar agama atau jadi guru ngaji di kampung mereka.

Nah, barulah setelah menginjak bangku kuliah jejak dan langkah mereka mulai sulit terlacak. Ini lantaran kami sibuk dengan dunianya masing-masing. Sibuk dengan kegiatan dan aktivitas yang baru, yang berbeda dengan dunia pesanteren. Aktivitas kampus tentu beda dengan pesantren. Di kampus kehidupan kami lebih hetrogen. Pergaulan pun berbeda.

Hatta, sampailah masa dimana kami telah tumbuh dewasa, telah lulus kuliah, kerja dan berkeluarga. Mulailah muncul satu dua nama-nama yang dulu aku kenal yang kembali mampir ke ingatanku. “Ohh.. ternayata dia sekarang di situ, ohh.. ternayata si Fulan di sana.” Begitu biasanya aku berguman tatkala tahu langkah dan pengabdian selanjutnya dari teman-temanku selepas kuliah.

Mereka yang tamatan dari pesantren lalu kuliah tersebar dalam beragam ladang pengabdian. Kebanyakan mereka menjadi guru agama. Menjadi ustaz, ngajar ngaji. Bila dia pintar, tentu derajat atau maqomnya tak sekadar ustaz namun menjadi Kyai. Sebagian kecil ada yang jadi PNS, ada pula yang dagang atau berwirasawasta, bahkan tak sedikit pula yang jadi tukang ojek pangkalan. Yang kerjaannya luntang lantung gak jelas pun banyak. Pagi ada di rumah, siang ke pangkalan, sore entah kemana, dan malam baru sampai rumah. Ada juga yang -karena ketokohannya- diangkat jadi Ketua RT atau RW. Ya, lumayan juga, eksistensinya diakui oleh warga masyarakat, hehe..

Meski demikian, lulusan pesantren jangan lah dipandang sebelah mata. Ada banyak dari mereka yang tampil dan sukses berkiprah dalam tataran global (internasional). Abdurrahman Wahid, misalnya, putra Kyai Haji Wahid Hasyim yang pernah jadi Presiden ini adalah jebolan dunia pesantren. Begitu pun dengan beberapa menteri dan pejabat tinggi negara pernah merasakan getirnya hidup di pesantren. AM Fachir yang menjabat wakil Menteri Luar Negeri, misalnya, adalah PNS karier yang jebolan pesantren. Begitupun pimpinan lembaga tinggi Negara MPR(S) yakni Idham Chalid dan Hidayat Nur Wahid juga alumnus pesantren. Kalau rajin menyisir tentu masih banyak lagi keluaran pesantren yang sukses berkiprah dan berkarier baik di swasta maupun pemerintahan.


Itulah mereka-mereka yang pernah merasakan gigitan nyamuk dan bangsat di pesantren, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tak peduli jadi orang atau hanya luntang lantung gak jelas, namun sekecil apapun kontribusi mereka, yang jelas mereka kebanyakan orang baik-baik dan gak nyusahin, minimal untuk diri mereka dan keluarga mereka. 

Selasa, 06 September 2016

Dibalik Makna Mendampingi atau Mewakili

Bagi kami staf yang bekerja di instansi pemerintah, ada kalanya kami ditugaskan pimpinan  untuk hadir di suatu acara, rapat, atau kegiatan. Kehadiran kami yang membawa (mewakili) nama instansi tentunya diharapkan oleh si pengundang. Dalam acara itu, (instansi) kami tentu akan menyampaikan kebijakan dan pandangan yang harus disampaikan. Nah, lantaran acara itu dipandang pimpinan bernilai penting dan stretegis, maka tentunya tidak sembarang staf yang mendapat penugasan untuk hadir dalam acara itu.

Lazimnya staf yang mendapatkan disposisi untuk hadir ada pada jajaran staf yang mempunyai ‘maqom’ yang tinggi atau staf senior. Boleh dibilang mereka, para staf senior itu, langganan dapat tugas macam itu. Ya, mereka sering kali keluar kantor, jarang ada di tempat. Meski sering keluar kantor, jangan senang dulu, belum tentu keluar kantor untuk hadir di suatu acara itu menyenangkan. Bisa jadi itu menyebalkan. Ya, meskipun isi disposisi itu untuk menghadiri acara atau kegiatan, namun ada dua jenis perintah yang tertulis yang mempunyai perbedaan dan status ‘sosial’ bagai langit dan bumi bagi penerimanya, yakni mewakili atau mendampingi.

Bila ada surat masuk yang meminta kehadiran pejabat/staf dari kantor, biasanya si bos akan menuliskan di lembar disposisi: WAKILI, LAPOR! atau bisa pula tertulis DAMPINGI!. Mendampingi, itu berarti kita harus hadir. Mewakili pun maknanya sama yakni kita harus hadir. Namun, meski kedua kata itu konteksnya sama yakni sama-sama harus hadir, namun ada fungsi, wewenang dan tanggung jawab yang berbeda dari kedua isi disposisi itu. Nah, inilah yang akan saya ulas mengenai perbedaan dari kedua perintah itu.   

Biasanya pimpinan akan menyuruh kita untuk mewakili yang bersangkutan bila kebetulan disaat dan waktu yang sama, pimpinan berhalangan atau ada kegiatan lainnya. Nah, ketika inilah kami, staf senior akan mendapat tugas untuk mewakili beliau. Staf yang diutus untuk mewakili ini oleh pimpinan dipandang cakap untuk hadir. Yang namanya mewakili, maka kami diberi wewenang penuh untuk hadir dan berbicara dalam suatu forum pertemuan. Sehari atau beberapa jam sebelum dimulainya acara, biasanya protokoler atau pihak pengundang akan mengkonformasi ke kantor kami siapa yang akan hadir pada acara mereka. Gunanya untuk memastikan urutan-urutan sapaan dan protokoler yang akan di terapkan.

Lantaran diundang dan dibutuhkan kehadirannya –karena memang instasi kami berada pada level tinggi, atau bisa pula kami ahli dibidang atau masalah terkaiit-  Biasanya pihak tuan rumah atau pengundang akan menempatkan kita pada posisi yang terhormat, Ini ditunjukkan dengan duduknya kita di posisi depan, sejajar dengan para tamu terhormat lainnya. Posisi duduk ini biasanya ditujukan kepada para tamu penting yang akan menjadi rujukan atau narasumber. Bila kami mewakili untuk hadir pada suatu rapat, maka disitulah kami, staf senior mempunyai wewenang penuh untuk berbicara dan mengutarakan berbagai pendapat, masukan, saran, dan arahan kepada para peserta rapat atau pertemuan. Wewenang berbicara ini tentunya tidak tak terbatas, ia dibatasi oleh aturan terkait kebijakan strategis yang menjadi domain pimpinan.
Itu sekilas gambaran mengenai konsekwensi bila kami mendapatkan disposisi mewakili. Namun apesnya adalah bila kami mendapatkan perintah untuk mendampingi. Ini artinya kami harus hadir mendampingi pimpinan pada kegiatan atau acara itu. Kami menilai bila atasan meminta kami untuk mendampingi, itu artinya atasan tidak pede untuk hadir seorang diri pada acara atau rapat itu. Ketidakpedean itu mungkin disebabkan pimpinan tidak menguasai permasalahan atau bisa jadi itu semacam apresiasi bagi kami, staf senior, lantaran pimpinan menilai kami memiliki kecakapan untuk memberikan penjelasan dan saran atau nasehat kepadanya terkait berbagai permasalahan yang akan dibicarakan pada pertemuan itu.

Nah, kami-kami ini sebagai staf ahli (senior) diharapkan memberikan bahan atau data terkait masalah yang diminta. Untuk tugas mendampingi ini biasanya posisi duduk kami berada di samping pimpinan atau tepat dibelakang kursi pimpinan. Gunanya agar bila pimpinan memerlukan advis atau masukan dari kami, maka kami dengan mudah memberikan bisikan atau catatan terkait apa-apa saja yang harus disampiaikan.

Yang namanya mendampingi, maka kami tak punya hak bicara dan mengajukan pendapat di forum. Ya, kalau atasan atau pimpinan ‘pandai’ berbicara dan berargumen kita akan nyaman berada disamping atau belakang mereka. Dan, satu lagi, bila arahan dan advis yang kita berikan dipakai dan di suarakan oleh pimpinan dalam rapat itu merupakan kebahagian yang tak terkira. Namun sialnya, bila pimpinan atau bos kami tidak pandai berbicara dan hanya diam saja sepanjang pertemuan, maka gregetan lah yang muncul. Gregetan lantaran kami ingin berbicara menjelaskan sesuatu yang memang kami kuasai namun, lantaran ‘kode etik’ dimana kami cuma sekadar mendampingi yang harus tahu diri. Dan perlu diingat bahwa ‘hak’ berbicara itu hanya ada pada pimpinan kami. Apalah artinya kami yang cuma kroco dan staf ini.

Disamping itu kami juga harus menenggang rasa dan pandai menjaga perasaan pimpinan. Ya, meski kami lebih pandai dari mereka (pimpinan) namun adat ketimuran, hierarki, dan kepangkatan lah yang mengerem kami untuk tidak berbicara mendahului pimpinan. Kami harus menjaga agar jangan sampai mereka merasa tersaingi oleh kami. Maka seringkali sebelum berbicara atau mengutarakan pendapat dan masukan didahului dengan kalimat; “izin pak/bu.”


Begitulah sekilas tentang makna disposisi “mewakili atau mendampingi”. Dua kata yang membuat kami, para staf senior bisa menjadi manusia ‘terhormat’ atau hanya sekadar kroco dibalik punggung pimpinan. Hehe..