Bagi
kami yang pernah merasakan tinggal di pesantren, tentu kehidupan remaja yang
kami alami berbeda dengan remaja kebanyakan yang pada usia pubertas asik
belajar, bermain dan bermain. Kehidupan di alam pesantren (yang berasrama)
membuat hidup kami tak jauh dari kamar, sumur, lapangan bola (bermain) dan
sekolah. Tak lebih. Kami yang pernah nyantren
tentu jarang berhubungan dengan dunia luar. Tak ubahnya seperti lapas, hidup
kami terkungkung di kelilingi tembok, meskipun ada pula pesantren tradisional
yang tidak berpagar dan berbaur dengan lingkungan masyarakat lokal di suatu
dusun (kampung).
Kehidupan
kami tak beda dengan pendidikan yang dijalani sebagian remaja terpilih dari
seluruh Indonesia yang mengikuti pendidikan militer atau Akademi Militer, yang
terkontrol 24 jam dengan beragam aturan, kebiasaan, dan tingkah laku yang
terprogram, terstruktur dan tersistem. Bahkan, untuk urusan busana dan bicara pun
kami punya aturan. Boleh dibilang semua aturan yang ada dan dibuat oleh
pimpinan itu tidak enak. Makan hati. Namun tujuan aturan itu tentu baik, yakni agar
kami bisa menghadapi bekal hidup kedepannya. Agar jiwa dan kepribadian kami
tertempa dengan baik.
Diantara
teman-teman saya sekampung sepermainan, selepas sekolah dasar, hampir 60 persen
diantara kami diutus atau dikirim orang tuanya ke pesantren. Kebanyakan dikirim
ke luar kota Jakarta. Tujuannya tentu agar jauh dari rumah dan jarang pulang. Menurut
orang tua kami, bila keseringan pulang, takutnya kami kena pengaruh ‘angin’
Jakarta yang jelek. Jadilah, kami dikirim ke Jawa Timur atau ke paling dekat ke
jawa Barat (Cirebon, Tasik, dsk). Lantaran jauh, kami hanya pulang setahun
sekali pas mendekati hari raya lebaran.
Oh
ya, beragam latar belakang dan status sosial teman-teman saya yang nyantren. Ada yang orang tuanya dagang
di pasar, ada pula yang jadi makelar tanah atau pegawai kantoran. Meski
pekerjaan orang tua kami beragam, namun kami semuanya berlatar belakang keluarga
yang taat akan ajaran agama. Kami Islam (titik), dalam arti memperoleh ajaran
Islam dari ulama-ulama dimana mereka berguru yang ajarannya bersanad (menyambung)
hingga ke Rasulullah SAW. Sehingga dalam masalah pemahaman keagamaan ketika
awal nyantren, praktis diantara kami
tidak mengalami ‘jetlag’. Semuanya seragam, tak ada yang nganut ajaran agama islam yang ‘aneh-aneh, seperti dari golongan
islam Liberal, apalagi islam Nusantara. Naudzublillah..
Selepas
pesanteren yang di tempuh rata-rata selama 6 (enam) tahun, kami mulai
melanjutkan pendidikan ke berbagai bidang. Ada yang ikutan UMPTN dengan harapan
dapat nerusin kuliah di PTN ternama, adapula yang memilih jalur biasa, dikatakan
biasa karena basis kami berlatar belakang pendidikan agama, maka kuliahnya pun
ke bidang agama, yakni ke Institut Agama Iislam Negeri/IAIN era tahun 90-an (sekarang
UIN) atau ke Universitas berbasis keagamaan seperti Universitas Muhammadiyah
dan sebagainya. Bahkan ada pula dintara kami yang ke luar negeri, biasanya
mereka dari keluarga yang kaya raya, punya kontrakan (property) banyak dan
sawah yang lebar. Arab Saudi, dan Negara di kawasan Timur Tengah lainnya, atau
ke Mesir adalah tujuannnya. Dan, bagi yang berasal dari keluarga yang ‘kismin’
biasanya selepas pesantren mereka tak kuliah dan memilih mengajar agama atau
jadi guru ngaji di kampung mereka.
Nah,
barulah setelah menginjak bangku kuliah jejak dan langkah mereka mulai sulit
terlacak. Ini lantaran kami sibuk dengan dunianya masing-masing. Sibuk dengan
kegiatan dan aktivitas yang baru, yang berbeda dengan dunia pesanteren. Aktivitas
kampus tentu beda dengan pesantren. Di kampus kehidupan kami lebih hetrogen.
Pergaulan pun berbeda.
Hatta, sampailah masa dimana kami telah tumbuh dewasa, telah lulus kuliah,
kerja dan berkeluarga. Mulailah muncul satu dua nama-nama yang dulu aku kenal
yang kembali mampir ke ingatanku. “Ohh.. ternayata dia sekarang di situ, ohh..
ternayata si Fulan di sana.” Begitu biasanya aku berguman tatkala tahu langkah
dan pengabdian selanjutnya dari teman-temanku selepas kuliah.
Mereka
yang tamatan dari pesantren lalu kuliah tersebar dalam beragam ladang
pengabdian. Kebanyakan mereka menjadi guru agama. Menjadi ustaz, ngajar ngaji. Bila dia pintar, tentu
derajat atau maqomnya tak sekadar ustaz namun menjadi Kyai. Sebagian kecil ada
yang jadi PNS, ada pula yang dagang atau berwirasawasta, bahkan tak sedikit
pula yang jadi tukang ojek pangkalan. Yang kerjaannya luntang lantung gak jelas
pun banyak. Pagi ada di rumah, siang ke pangkalan, sore entah kemana, dan malam
baru sampai rumah. Ada juga yang -karena ketokohannya- diangkat jadi Ketua RT
atau RW. Ya, lumayan juga, eksistensinya diakui oleh warga masyarakat, hehe..
Meski
demikian, lulusan pesantren jangan lah dipandang sebelah mata. Ada banyak dari
mereka yang tampil dan sukses berkiprah dalam tataran global (internasional).
Abdurrahman Wahid, misalnya, putra Kyai Haji Wahid Hasyim yang pernah jadi Presiden
ini adalah jebolan dunia pesantren. Begitu pun dengan beberapa menteri dan
pejabat tinggi negara pernah merasakan getirnya hidup di pesantren. AM Fachir yang
menjabat wakil Menteri Luar Negeri, misalnya, adalah PNS karier yang jebolan
pesantren. Begitupun pimpinan lembaga tinggi Negara MPR(S) yakni Idham Chalid
dan Hidayat Nur Wahid juga alumnus pesantren. Kalau rajin menyisir tentu masih
banyak lagi keluaran pesantren yang sukses berkiprah dan berkarier baik di
swasta maupun pemerintahan.
Itulah
mereka-mereka yang pernah merasakan gigitan nyamuk dan bangsat di pesantren, dengan
segala kelebihan dan kekurangannya. Tak peduli jadi orang atau hanya luntang
lantung gak jelas, namun sekecil
apapun kontribusi mereka, yang jelas mereka kebanyakan orang baik-baik dan gak nyusahin, minimal untuk diri mereka
dan keluarga mereka.