Banyak yang bilang bahwa kaya dan miskin itu relatif.
Bagaimana mengukur seseorang kaya atau miskin. Apa parameternya? Apa tolak
ukurnya? Bagi saya pribadi, untuk menilai seseorang masuk golongan kaya atau
tidak kaya (sengaja saya gunakan kata tidak kaya untuk menggantikan kata
miskin) yakni bila ia memiliki rumah pribadi (bukan ngontrak atau masih numpang
dengan orang tua/mertua, hehe..) berlokasi MASIH di Jakarta, lebih spesifik
lagi di kawasan Menteng, Kebayoran Baru, Kemang, dan Pondok Indah, dengan luas
tanah sekitar –sedikitnya-- 500 meter persegi, plus punya kendaraan roda empat
tentunya, dan penghasilan sebulan at
least 20 jutaan. It’s simple
parameter. Lebih dari itu, berarti kaya bingits.
Nah, justru, bagi orang yang kaya bingits, bila ukurannya hanya memakai, saya
punya parameter, seperti diatas, bisa jadi mereka masih dianggap belum kaya
atau masuk kategori orang yang biasa-biasa saja. Jadi, mungkin inilah makna
relativitas dari kekayaan atau ketidak-kayaan itu sendiri.
Jika saya amati sekilas, ada 2 (dua) type atau golongan orang kaya. Pertama; Orang kaya yang tahu
bahwa ia kaya. Ia sadar bahwa ia orang kaya dan tahu akan kemana uang dan harta
kekayaannya itu akan ia gunakan. Lantaran tahu bahwa ia kaya, maka ia nikmati
harta kekayaannya sebaik-baiknya. Ia tidak ingin dibelenggu oleh harta dan
kekayaanya, justru gunakan uang dan hartanya untuk bersenang-senang. Tiada hari
tanpa kebahagiaan, tawa dan canda.
Banyak teman saya memanfaatkan kekayaannya untuk kesenangan
pribadi dan keluarganya. Saban semester diisi dengan jalan-jalan, wisata
kuliner, spa, hangout, dan
sebagainya. Sering saya jumpai dalam updetan
status di fesbuk-nya, teman saya
terlihat sedang ber-selfie dengan latar belakang Menara
Eifel. Di lain kesempatan saya lihat pula ia berada di Patung Liberty, NY.
Nah, menariknya golongan ini mampu mengimplementasikan
kekayaanya dengan amal sosial yang bernilai ibadah. Mereka membelanjakan
kekayaannya --disamping untuk kesenangan pribadi-- juga untuk kemaslahatan umat
manusia. Mereka mendonasikan sebagian –entah besar atau kecil—harta yang
dimiliki untuk amal ibadah sosial secara simultan dan beriringan. Tak jarang
mereka saban tahun suka ber-umroh ke Masjidil Haram, Kerap mengundang anak
yatim untuk perayaan hari ulang tahunnya ataupun perayaan kesyukuran lainnya. Bahkan,
saking ‘riya’ nya foto-foto aktivitas sosial dengan para pengurus panti sosial
di unggah di medsos. Dengan kata lain, Ia dan harta kekayaannya bermanfaat bagi
kemaslahatan umat manusia. Inilah jenis atau type
orang kaya yang saya
istilahkan “High Quality Rich.” Orang kaya model ini adalah mereka yang sadar bahwa meraka kaya sehingga
mampu dan mendayagunakan potensi kekayaannya untuk sesuatu yang bernilai sosial,
produktif, rekreatif, dan multi useful.
Tegasnya, kekayaan yang ia miliki mampu membuat ia dihormati, dipandang dan di’anggap’ oleh masyarakat sekitar.
Nah, ada pula orang kaya yang sadar bahwa ia kaya
namun mereka membelanjakan kekayaannya hanya untuk kepentingan dan ego pribadi dan
keluarga saja tanpa memperhatikan lingkungan sekitar. Bahasa sosiologinya “Asosial”. Tidak
peduli akan nasib tetangga yang kesusahan. Tidak care terhadap anak yatim dan
janda sekitar rumah yang perlu disantuni. Bahkan, tidak pernah ikut iuran
satpam atau iuran RT/RW. Bila ada tetangga selemparan rumah yang meninggal, ia
tidak melayat ataupun menitipkan amplop uang duka kepada shohibul musibah.
Golongan ini berprisnsip: “gw gak ngerugiin
loe, so jangan janggu gw.” “Loe asik,
gw asik.” Walhasil, mereka menikmati kekayaannya hanya untuk kepentingan
diri sendiri, hanya untuk pemuasan ego dan nafsu pribadi, tanpa peduli dengan
lingkungan masyarakat sekitar. Sepanjang tidak merugikan
orang lain, buat apa
pusing mikirin orang lain. Ego lah yang timbul.
Sebaliknya, ada pula golongan kedua, yakni orang kaya
yang tidak sadar bahwa ia kaya sehinga tidak bisa menikmati dan memanfaatkan
harta kekayaannya. Mereka diperbudak oleh hartanya. Mereka ini, sibuk bekerja
dari pagi buta hingga malam berselimut gelap. Yang ada dibenaknya bagaimana
uang hari ini terkumpul banyak. Buka toko dipagi hari, berdagang seharian di
toko, tutup toko lalu pulang, begitu seterusnya. Bagi mereka yang kerja
kantoran, eksekutif papan atas, misalnya, pergi saat belum tampak mentari, pas jam pulang tak sempat bersua dengan kelembutan mentari. Jika
saya lirik dari penampilannya tentu gajinya sekitar 30 jutaan. Mobil keluaran
terbaru, walaupun masih ada sisa kredit 12 bulan.
Karena tidak sadar bahwa ia kaya, maka hampir dibilang
tidak ada kamus ber-leisure dan
bersenang-senang dalam hidup mereka. Tiap akhir pekan menghadang, hanya pergi
ke mall lalu balik ke rumah. Tak pernah sekalipun saya lihat keluarga mereka plezier ke Bali, misalnya. Namun demikian,
beruntung mereka masih mau iuran RT/RW, masih mau nyumbang pembangunan gedung PAUD, dan masih peduli dengan menyantuni
anak tetangga yang ileran dan belekan lantaran kurang gizi. Menarik
memang, meski gak pernah jalan-jalan ke Lombok, mereka juga masih sempet-sempetnya
nyumbang kegiatan maulid Nabi SAW di mushola deket rumah. Golongan ini ‘pelit’
terhadap diri sendiri, namun royal terhadap lingkungan sekitar. Mereka masih
mau bersosialisasi dengan warga sekitar tempat tinggal.
Nah, celakanya golongan kedua ini adalah meski kaya,
namun tidak sadar ia kaya malahan justru apaptis terhadap lingkungan sosialnya.
Sungguh, saya kasihan terhadap mereka, tidak bahagia hidupnya. Dibudak oleh
harta, tanpa mampu menikmatinya. Pergi pagi, pulang malam, begitu saban hari
menumpuk dan mengumpulkan harta. Apesnya lagi, dalam tata pergaulan masyarakat
pun golongan ini nyaris diacuhkan bahkan tidak di reken keberadaannya oleh Pak RT/RW. Kalau ia mati, entah ketabrak
Bus TransJakarta atau tertimpa pohon tumbang, dipastikan gak ‘kan ada orang
yang men-shalatinya, bahkan tetangga kiri kanan pun segan bertandang ke
rumahnya tuk ngelawat.
Maka, beruntunglah kita bila diamanahi kekayaan oleh Tuhan YME dan sadar bahwa kita kaya karena-Nya dan
membelanjakan kekayaan itu untuk diri sendiri, keluarga, dan masyarakat sekitar,
amien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar