Saya ingin berbagi kisah tentang staf di kantor saya.
Bagi kami yang bekerja di instansi pemerintah, dalam
hierarki kedudukan dan jabatan, ada di kenal dengan yang namanya staf dan pimpinan atau pejabat struktural. Selain pejabat, tentu ada staf. Pejabat dibantu oleh
beberapa orang staf. Bisa satu staf, bisa pula banyak, tergantung kebutuhan
organisasi. Bahkan adapula pejabat yang tidak mempunyai seorang pun staf. Bila
ini terjadi, biasanya terdapat pada lingkup organisasi yang kecil.
Bagi pimpinan yang punya staf banyak, jangan senang dulu.
Adakalanya banyak staf namun tak satu pun staf itu yang bisa kerja. Inilah yang
dikatakan pimpinan yang punya staf namun tanpa staf. Praktis Ia bekerja
sendirian. Tak ada seorang staf pun yang dapat diandalkan untuk membantunya
bekerja, bahkan staf itu menjadi beban. Gimana
gak beban, bila saban makan siang
bersama, si pimpinan akan mentraktir para staf yang notabene adalah anak buahnya sendiri, hehe..
Kita mungkin pernah dengar istilah staf ahli yang merujuk
kepada jabatan seseorang. Biasanya mantan pejabat yang di-lengser-kan akan di
tempatkan posisinya di jajaran staf ahli. Di lingkungan militer kejadian ini
adalah sesuatu yang jamak dan lazim. Yang ingin saya tekankan adalah sebenarnya tidak ada perbedaan antara staf
ahli, staf senior atau staf lainnya. Staf ya staf. Kroco (titik). Tak lebih dan kurang. Meski kami sama-sama staf, namun, diantara kami para staf, ada ‘kasta’ tak tertulis yang telah dipahami oleh setiap
staf, lantaran itulah terjalin harmoni diantara kami, sehingga antara staf satu
dengan lainnya saling tahu diri dan respek diantara mereka.
Lalu -meski sama-sama staf- yang membedakan antara staf
yang satu dengan staf yang lainnya adalah pada golongan dan tingkatan pangkat, walkasil
gaji dan tunjangan diantara kami, para staf pun berbeda. Staf golongan 3A tentu
berbeda dengan staf golongan 2A. Perbedaan (tunjangan) nya bisa bagai langit
dan sumur. Kebanyakan staf 3A berlatar belakang pendidikan S1, berbeda dengan
2A yang hanya tamatan SMA. Pola pikir dan attitude
mereka pun berbeda, meskipun sama-sama staf, hehe..
Nah, lantaran perbedaan ‘kasta’ pendidikan inilah, staf pun ada ‘golongannya’-nya, yakni mulai dari yang
‘prestise’-nya tertinggi yakni staf
ahli atau staf senior hingga staf rendahan alias staf yang tidak mempunyai keahlian apa-apa, selain kerjanya di suruh-suruh.
Kedua golongan staf inilah yang mewarnai blantika perbirokrasian di tanah air,
dimana ada sebagian staf dengan keahlian yang mumpuni dan banyak sekali staf
yang tak bisa apa-apa. Ada staf
yang sering kerja dan ada pula staf yang hanya ngisi absen lalu duduk
dan baca koran saja sepanjang hari.
Lantaran staf rendahan itu gak bisa ngapa-ngapain, maka oleh bos, tiap harinya disuruh kerja
yang enteng-enteng aja, seperti disuruh
moto copi, disuruh nge-fax ataupun di suruh nyopirin bos. Merekalah kasta terendah
dari staf. Ya, satf rendahan ini gak bisa
di suruh ngapa-ngapain selain
pekerjaan yang tak membutuhkan keahlian komputer ataupun di suruh mikir yang
rada berat-berat. Ciri-ciri staf rendahan model begini kebanyakan adalah usia
mereka sudah mendekati pensiun; Menjadi PNS sejak zamannya Pak Harto, dimana masuk
(PNS) nya pun gak pake tes, hanya
bermodalkan izajah SD/SMP dan tentu dengan koneksi atau kenalan kepada pejabat
yang membawanya. Biasanya si pejabat itu akan merekrut saudara atau orang
sekampungnya untuk ikut bekerja di instransinya. Untuk loyalitas, mereka pasti
sangat loyal kepada yang ‘membawa’-nya. Hutang budi. Maka tak heran bila pada
zaman itu suatu instansi atau kantor dikuasai oleh etnis tertentu. Di Pemprov DKI misalnya, pada rentang tahun
80 hingga 90-an terkenal dengan istilah yang disingkat “Babi Kuning”, suatu
akronim yang merujuk ke etnis tertentu.
Diatas staf rendahan ini, masih ada juga staf yang rada mendingan.
Ini kasta menengah. Mereka masih bisa diandalkan untuk bantu-bantu staf
lainnya. Konduite kerjannya pun
lumayan, bisa disuruh ngetik ataupun membantu menyiapkan kegiatan atau acara. Staf
model begini kebanyakan diisi oleh para lulusan SLTA yang masih ada. Sama seperti staf rendahan, mereka masuk jadi PNS sudah lama, sejak rezim Orde Baru. Karena ijazah mereka sebatas SLTA, maka
tak ada yang bisa diharapkan dari mereka selain
aktivitas administrasi belaka, semisal ngetik (itupun sudah
dikonsep oleh staf senior atau pejabat-nya), menghubungi narasumber, ataupun
mengurus perbal surat dinas.
Nah, terakhir adalah golongan staf yang rajin kerja, mikir, dan ngonsep inilah yang menduduki kasta
tertinggi. Mereka (staf senior) inilah yang kontribusinya benar-benar dibutuhkan republik ini. Ya, ini
lantaran pejabat –kebanyakan- bisanya hanya nyuruh
doang. Sedangkan yang mengkonsep, memikir dan meng-create adalah para staf senior. Mereka, karena nasib yang belum
berpihak, belum diangkat jadi pejabat, masih menyandang status staf. Jika staf rendahan pulangnya selalu tenggo, maka staf senior ini sering sekali pulang
lembur, kerja pagi pulang larut malam. Saking giatnya kerja, banyak
diantara mereka yang tumbang, bila fisik tak kuat, sakit demam typoid akibatnya,
sungguh kasihan..
Boleh dibilang yang mengalami suka duka dunia per-staf-an
adalah para staf senior ini. Dinamika dan asam garam kerja jadi pegawai negeri
benar-benar dirasakan oleh mereka. Bayangkan saja, disaat orang lain sudah tiba
di rumah dan bercengkrama dengan anak istrinya, para staf senior ini masih
berjibaku dan berkutat dengan kerjaan-nya. Menyusun anggran dan kegiatan,
misalnya menjadi menu utamanya. Meng-create suatu pola program dan kebijakan
adalah santapan harian mereka. Ringkasnya tiada hari tanpa berpikir dan
berkarya. (Bagaimana dengan) Pimpinan? Ya tahu beres aja. Kebanyakan mereka
(pejabat) sudah sibuk dengan kegiatan seremonial ataupun pendampingan. Namun demikian
mereka juga full supported kepada anak buahnya (staf senior) yang kerja. Dengan
‘dignity’-nya mereka memberikan supervisi, arahan dan persetujuan terhadap
rancangan kerja yang dibuat oleh staf senior.
Kalau tadi kita bicara duka, maka sukanya adalah kami para
staf senior ini sering kali ditugaskan keluar kota bahkan keluar negeri sampai
ke Amerika untuk mengikuti pelatihan atau acara yang berkaitan dengan
kedinasan. Untung-untungan juga sih, tergantung rezeki, pasalnya adapula undangan
kegiatan/program yang ditujukan langsung dan harus dihadiri oleh si pejabat. Namun
adakalanya pula undangan itu ditujukan -karena berkaitan dengan hal-hal teknis
yang hanya dikuasai oleh staf- kepada staf senior, jadilah disposisi itu jatuh
ke tangan mereka.
Ya, begitulah romantika kerja, suka dan duka kami para
staf senior, dimana pengabdian dan dedikasi kami tak pernah terlihat. Kami
selalu bergerak dibelakang layar, ibaratnya yang punya susu kerbau, yang punya
nama sapi. Yang kerja kami, yang punya nama pimpinan/pejabat, hehe..
Alhamdulillah...barakallahu
BalasHapusTerima kasih teh Imun, telah mampir di blog saya. tabarakallah..
BalasHapus