Sejak dicanangan pada
tahun 2010 oleh Kementerian PP&PA, Kota Layak Anak (KLA) telah merambah ke
hampir sebagian besar Kota/Kabupaten di Indonesia. Kota Layak Anak adalah suatu
sistem pembangunan Kabupaten/Kota
yang mengintergrasikan komitmen dan sumberdaya dari para pemangku kepentingan,
yakni pemerintah, masyarakat dan dunia usaha secara menyeluruh dan
berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan yang terencana untuk
pemenuhan hak-hak anak. Beranjak dari komitmen tersebut, tiap-tiap Kota/Kabupaten
telah mencoba menerapkan kebijakan KLA dalam program dan tahapan rencana pembangunan
kota/kab mereka.
Dari judul dan
penamaan program, yakni Kota Layak Anak (KLA), niscaya tidak ditemukan atau
belum disentuh pengembangan Pulau Layak Anak (PLA) secara khusus. Selama ini, yang menjadi sasaran program ini adalah
Kota atau Kabupaten di Indonesia, yang berada –tentunya—di pulau-pulau besar,
seperti Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Lalu, bagaimana dengan pengembangan
Pulau Layak Anak itu sendiri? Sudahkah kita menerapkan kebijakan Pulau
Layak Anak? Memang,
sejatinya keberadaan pulau itu sendiri berada dalam lingkup suatu kabupaten,
dan KLA pastinya akan menyasar ke pulau yang notabene berada (include)
dalam
kabupaten tersebut. Namun peng-intensifan atau penajaman program sebaiknya juga
menyentuh suatu pulau atau beberapa pulau sebagai pilot project pengembangan Pulau Layak Anak di Indonesia (PLA).
Lalu, sejauh mana
gaung KLA telah ada atau diimplementasikan di suatu kawasan atau pulau tertentu
di Indonesia. Apakah ada sebuah pulau yang benar-benar menjadi benchmark bagi perwujudan PLA, dengan
kata lain pulau tersebut telah 100 persen menjadi Pulau Layak Anak? Selain Jepang dan Filipina, tak banyak negara di dunia
yang memiliki gugusan kepualaun. Untuk itu, sebagai salah satu negara kepulauan
di dunia, adalah
suatu keniscayaan mewujudkan Pulau layak Anak dalam salah satu kawasan gugusan
kepulauan di nusantara.
Bila melihat dari
scope dan cakupan pelaksanaan program, sejatinya sangat lah mudah mewujudkan Pulau Layak Anak ketimbang perwujudan
Kota/Kab. Layak Anak yang berada di area (baca: daratan)
yang luas. Lantaran luas cakupan areanya kecil, maka kompleksitas yang ada di
pulau tidak serumit ketimbang di daratan yang luas. Pulau Untung Jawa, di
gugusan Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, misalnya, dapat dijadikan role model pengembangan Pulau Layak Anak
di Indonesia. Selain itu, Gugusan Kepulauan di Mentawai, di Sumatera Barat, dan
gugusan kepulauan di Sulawesi Tenggara, juga layak untuk dikembangkan sebagai
percontohan PLA.
Sama seperti
penerapan percepatan pelaksanaan KLA di daratan, maka untuk pengembangan Pulau Layak Anak (PLA) di Indonesia, kami
ingin membagi penerapan PLA dalam 2 (dua) tataran konsep, yakni; Pertama: Tataran
implementasi PLA yang dapat di lihat/tampak (seen) dan Kedua; implementasi perwujudan PLA yang tidak tampak (unseen) atau dalam bentuk pemenuhan data
terpilah, peraturan perundangan, dan pendokumentasian/pengarsipan. Untuk
tataran seen (dapat dilihat) maka
perlu dikembangkan Sekolah Ramah Anak (SRA) di pulau tersebut, lalu mewujudkan
Puskesmas Ramah Anak (PusRA), dan pembangunan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak
(RPTRA).
Seen
concept
adalah percepatan perwujudan PLA dengan membangun sarana dan prasarna (fisik) penunjang
PLA. Keberadaan PLA dapat dirasakan langsung oleh masyarakat penghuni pulau
dengan melihat apakah tersedia sarana dan prasarana yang ramah anak di pulau
tersebut? Taman bermain, misalnya. Berapa dan bagaimana kondisi taman atau
tempat bermain bagi anak yang tersedia?
Faktor seen ini juga sangat penting untuk
membuktikan keseriusan pemerintah dalam mewujudkan PLA. Maka pemenuhan
kebutuhan sarana dan prasarana bermain anak, yakni melalui perwujudan taman
bermain interaktif adalah hal mutlak yang harus
dikerjakan pertama kali bila ingin meng-create
dan men-design pulau yang ramah anak.
Bila lahan/tanah yang
ada cukup luas, maka pembuatan taman bermain tidak hanya tertuju lepada
pembangunan taman bermain an sich
namun dapat dikembangkan dan diintegrasikan menjadi RPTRA. RPTRA yang dimaksud adalah
taman atau ruang yang memadukan konsep bermain, belajar, berkreasi, berseni,
dan berolahraga, serta beragam aktivitas warga masyarakat yang kesemuanya
ditujukan untuk mendukung pengembangan potensi anak. Di RPTRA harus tersedia
Perpustakaan Anak; Panggung Seni & Kreasi Anak; Pojok Cyber/Komputer Anak;
Sekretariat Forum Anak; Lapangan Futsal/Badminton/Tenis Meja dsb, serta sarana
penunjang kegiatan anak lainnya. Singkatnya, RPTRA adalah perwujudan bagi
pengintegrasian seluruh aktivitas dan kegiatan anak dan masyarakat yang ramah
anak.
Disamping pemenuhan
kebutuhan dasar anak (tempat bermain), permasalahan yang lekat dengan anak adalah
dalam hal pendidikan dan kesehatan. Usia anak adalah usia sekolah, maka hampir
sepertiga waktu anak dihabiskan di sekolah. Untuk itu bagaimana kita men-design Sekolah Ramah Anak (SRA); yakni
suatu sekolah yang bertujuan untuk memastikan bahwa sekolah memenuhi, menjamin,
dan melindungi hak anak. Mengembangkan
minat, bakat, dan kemampuan anak agar terwujud anak yang sehat jasmani dan rohani, serta memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, berbudi
pekerti luhur, dan berakhlak mulia. Mempersiapkan anak untuk bertanggung jawab
kepada kehidupan manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa serta membawa rahmat bagi seluruh alam.
Di bidang Kesehatan,
bagaimana kita membangun Puskesmas Ramah Anak (PusRA), dimana didalamnya mutlak
tersedia: Ruang menyusui bagi ibu (Ruang Laktasi); Adanya ruang/space bermain
untuk balita/anak; Tersedianya ruang dan tenaga konsultasi kesehatan remaja
(PIK Remaja); dan sarana penunjang kesehatan yang modern dan meng-cover seluruh
jenis penyakit yang rentan menimpa anak-anak. Di tiap PusRA minimal tersedia
dokter spesialis kulit dan kelamin, dokter spesialis THT, dan dokter spesialis
gigi.
Lalu bagaimana
mewujudkan PLA di Indonesia? Untuk mewujudkan PLA, perlu dukungan dan komitmen
yang kuat dari para stakeholder yang
ada di pulau tersebut agar mereka merasa saling memiliki dan mempunyai ikatan
emosional yang kuat untuk kesuksesan PLA. Para pemangku kepentingan, yakni
kepala kampung/pulau, tokoh agama, guru/pendidik, dokter/bidan, dan aparat
pemerintah setempat dapat merumuskan kebijakan-kebijakan apa yang akan diambil
dan sarana/prasarana apa yang mesti dibangun untuk pelaksanaan PLA.
Dari 31 indikator KLA
yang dikeluarkan oleh Kementerian PP dan PA, maka bila 3
(tiga) bidang tersebut diatas, yakni bidang Pendidikan;
Kesehatan; Dan Pemanfaaatan Waktu Luang, digarap
secara serius dan simultan, maka keberadaan PLA bukan impian
kosong. Untuk mewujudkan itu semua, rasanya tidak berlebihan bila –sebagai negara kepulauan- Indonesia bisa menjadi pilot
project pengembangan suatu pulau atau kepulauan yang ramah anak di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar