Imlek tahun ini --seperti imlek-imlek
beberapa tahun yang lalu-- tak berarti apa-apa bagi mami. Meski mamiku berdarah tionghoa, namun sudah
sejak lama beliau tidak pernah lagi merasakan suasana imlek. Sebelumnya, sekitar
tahun 90-an saat famili dan kerabat dekat mamiku masih hidup, kami rutin kecipratan suasana imlek. Ya, Ini karena
ada beberapa keluarga mami yang non-muslim, yang masih menjaga tradisi
pergantian tahun baru china atau imlekan
itu. Jadi, saban imlek tiba, kami pun bisa merasakan kemeriahan dan suka cita imlek
sebagaimana saudara-saudara tionghoa lainnya di Indonesia.
Bicara tradisi Imlek di keluarga kami, mamiku pasti akan mengaitkannya
dengan kisah dan cerita tentang saudara sepupunya. Kakak
Sepupu mami ini tinggal di Kebayoran Lama, dekat pasar. Namanya Lauw Hong Nio. Aku memanggilnya Wak Hong Nio. Usianya lebih
tua sekitar sepuluh tahun dengan mami. Yang hingga kini kami kenang dari
kebiasaan Uwakku semasa hidupnya adalah, menjelang datangnya hari imlek, beliau tak pernah
absen mengirimkan aneka kue, yang kami
kenal dengan nama dodol china. Kebiasaan ini selalu dilakukan rutin saban tahun, hampir tak
pernah absen,
hingga beliau wafat sekitar tahun 2000-an. Biasanya menjelang imlek, Ncang Amin, Abang mamiku akan datang ke rumah
Wak Hong Nio untuk silaturahmi sekaligus mengambil titipan kue dodol cina yang
memang sudah disiapkan oleh Hong Nio. Adakalanya juga salah satu anaknya datang
ke rumah mengantarkan bingkisan kue imlek. Namun sayang, selepas kematiannya,
kebiasaan yang baik ini tidak diteruskan oleh Beng Tek, Beng
Yang, dan anak-anaknya yang lain.
Mamiku cukup
dekat dengannya. Sebab, hanya Wak Hong
Nio, saudara sepupu mami yang tinggal di Jakarta. Sepupu-sepupu mami yang lain
menyebar di beberapa kota. Jarang sekali mereka bertemu. Kalaupun mereka
berkumpul, itu terjadi hanya setahun sekali, saat lebaran tiba, ketika kami
ziarah dan silaturahmi kepada leluhur dan kerabat di Subang. Diluar itu
biasanya kami bersua saat salah satu diantara saudara kami ada yang menggelar
pesta perkawinan.
Saking dekatnya dengan Wak Hong Nio, dimasa muda
mami, beliau sering menginap
di rumah Wak-ku ini. Biasanya selepas
kursus menjahit di kawasan Blok A, seperti anak gadis angkatan
60-an pada umumnya, mamiku -dengan bersepeda- kerap keluyuran hingga jauh ke
Kebayoran Lama. Bersama teman-temannya, mamiku menghabiskan sore dengan mencari
hiburan sembari nonton di bioskop Bintang Mas, di Pasar Kebayoran Lama. Pulang
nonton, bukannya kembali ke Kemang, ke rumah nenekku, namun mamiku justru
mampir bertandang ke rumah Hong Nio, yang letaknya tak jauh dari pasar.
Seperti lazimnya pergaulan antar saudara, Hong Nio, sebagai seorang
kakak sangat menjaga dan memperhatikan mami. Ya, mungkin lantaran Hong Nio tahu
betapa kurang bahagianya mami menjalani masa kecilnya lantaran di tinggal mati
ayahnya. Untuk menghibur mami, kadang-kadang keluarga Hong Nio mengajak mami
jalan-jalan, plezier, bahkan hingga
keluar kota.
“Mami pernah diajak ke Cimaja (?),
waktu nguburin wak Alam, kuburannya ada di gunung. Kuburan China,” kenang mamiku bercerita padaku di suatu sore,
di batas akhir senja.
Sebagai seorang yatim, mamiku memang kurang piknik, hehe.. Kalaupun piknik, palingan
hanya main ke Pasar Kebayoran, ke rumah sepupunya ini. Biasanya sebelum
bertandang, mami akan meng-ebel pintu
gerbang dulu, memastikan keadaan ‘aman’. Begitu di tengok ada mami datang, Wak Hong
Nio menyuruh Beng Tek (DR. Sunaryo, pakar pembuatan kapal laut), putranya yang
masih kecil untuk mengandangkan anjing-anjing mereka. Mamiku memang takut
anjing.
“Tek, hayo dimasukin anjing-nya,
ada Omah (panggilan dari Rohmah) datang,” kenang mamiku menirukan suara
Hong Nio saat menyambut kedatangannya.
Keluarga Wak Hong Nio memang memelihara anjing. Anjingnya kecil, namun
kalau menyalak, tak kalah garang dengan anjing herder yang besar.
Meski Wak Hong Nio telah wafat dan tradisi hantaran
kue china terputus, namun silaturahmi antar keluarga kami dengan keluarga Wak Hong
Nio tetap terjaga. Saban lebaran tiba, anak-anaknya selalu datang ke rumah mamiku untuk ber-lebaran. Biasanya
mereka datang siang hari, setelah tamu-tamu dan kerabat mami bersilaturahmi selepas Shalat Ied dengan
mami. Maklum, mami kini orang tua yang dituakan. Sebab, hanya tinggal mami-lah
anak dari kakek/nenek-ku yang masih hidup.
Biasanya, di lebaran hari pertama, setelah para saudara dan ponakan-ponakan
mami yang muslim pulang, hanya tinggal mami, aku dan adik-adik-ku saja yang tersisa.
Meski sebagian besar tamu dan kerabat dekat telah datang bersilaturahmi, namun
mami belum bisa tenang untuk
sekadar selonjoran atau beristirahat. Ada salah satu tamu yang ditunggu kehadirannya
oleh mami. Siapa dia? Mamiku belum tenang bila keluarga Wak Hong Nio belum
datang berlebaran. Maka, sebagai
persiapan menyambut mereka, sebelum para ponakannya (anak-anak Wak Hong Nio) datang,
mami pasti akan menyisakan ketupat lebaran sebagai santapan makan siang untuk mereka.
“Mat, pisahkan 10 ketupat buat
anak-anaknya Hong Nio. Ketupat jangan sampai habis,” itulah executive order dan titah mamiku dihari
pertama lebaran, saat aku bersiap menyantap hidangan ketupat yang tergelatak di
meja.
Dan biasanya sekitar jam makan siang, barulah sebagian keluarga Besar
Wak Hong Nio datang silaturahmi ke rumah. Nah,
selepas mereka datang, legalah hati mami lantaran ketupat beserta sayur dan
daging semur habis disantap oleh ponakan-ponakannya. Berkah, kata mami.
Oh ya, selain kue imlek, Mami juga berbagi kisah lainnya,
kebiasaan orang tua dulu sewaktu imlek adalah membeli ikan bandeng ukuran jumbo
untuk disantap bersama. Sewaktu
muda, mami sering diajak Wak Hong Nio membeli ikan bandeng ukuran jumbo
di Pasar Rawa Belong, arah utara Pasar kebayoran lama. Mami
dengan lancarnya bercerita, sewaktu muda ia pernah bersepeda hingga ke kawasan
Slipi, dekat Rawa Belong.
Begitulah mamiku mengenang masa-masa mudanya bersama Wak Hong Nio
menjelang imek tiba. Semoga kenangan mami tak lekang dimakan usianya yang kian
sepuh. Panjang umur dan sehat selalu, mami. Gong Xi Fat Coi!!