Kamis, 26 Januari 2017

Imlek; Mengenang yang Wafat

Imlek tahun ini --seperti imlek-imlek beberapa tahun yang lalu-- tak berarti apa-apa bagi mami. Meski mamiku berdarah tionghoa, namun sudah sejak lama beliau tidak pernah lagi merasakan suasana imlek. Sebelumnya, sekitar tahun 90-an saat famili dan kerabat dekat mamiku masih hidup, kami rutin kecipratan suasana imlek. Ya, Ini karena ada beberapa keluarga mami yang non-muslim, yang masih menjaga tradisi pergantian tahun baru china atau imlekan itu. Jadi, saban imlek tiba, kami pun bisa merasakan kemeriahan dan suka cita imlek sebagaimana saudara-saudara tionghoa lainnya di Indonesia.

Bicara tradisi Imlek di keluarga kami, mamiku pasti akan mengaitkannya dengan kisah dan cerita tentang saudara sepupunya. Kakak Sepupu mami ini tinggal di Kebayoran Lama, dekat pasar. Namanya Lauw Hong Nio. Aku memanggilnya Wak Hong Nio. Usianya lebih tua sekitar sepuluh tahun dengan mami. Yang hingga kini kami kenang dari kebiasaan Uwakku semasa hidupnya adalah, menjelang datangnya hari imlek, beliau tak pernah absen mengirimkan  aneka kue, yang kami kenal dengan nama dodol china. Kebiasaan ini selalu dilakukan rutin saban tahun, hampir tak pernah absen, hingga beliau wafat sekitar tahun 2000-an. Biasanya menjelang imlek, Ncang Amin, Abang mamiku akan datang ke rumah Wak Hong Nio untuk silaturahmi sekaligus mengambil titipan kue dodol cina yang memang sudah disiapkan oleh Hong Nio. Adakalanya juga salah satu anaknya datang ke rumah mengantarkan bingkisan kue imlek. Namun sayang, selepas kematiannya, kebiasaan yang baik ini tidak diteruskan oleh Beng Tek, Beng Yang, dan anak-anaknya yang lain.  

Mamiku cukup dekat dengannya. Sebab, hanya Wak Hong Nio, saudara sepupu mami yang tinggal di Jakarta. Sepupu-sepupu mami yang lain menyebar di beberapa kota. Jarang sekali mereka bertemu. Kalaupun mereka berkumpul, itu terjadi hanya setahun sekali, saat lebaran tiba, ketika kami ziarah dan silaturahmi kepada leluhur dan kerabat di Subang. Diluar itu biasanya kami bersua saat salah satu diantara saudara kami ada yang menggelar pesta perkawinan.

Saking dekatnya dengan Wak Hong Nio, dimasa muda mami, beliau sering menginap di rumah Wak-ku ini. Biasanya selepas kursus menjahit di kawasan Blok A, seperti anak gadis angkatan 60-an pada umumnya, mamiku -dengan bersepeda- kerap keluyuran hingga jauh ke Kebayoran Lama. Bersama teman-temannya, mamiku menghabiskan sore dengan mencari hiburan sembari nonton di bioskop Bintang Mas, di Pasar Kebayoran Lama. Pulang nonton, bukannya kembali ke Kemang, ke rumah nenekku, namun mamiku justru mampir bertandang ke rumah Hong Nio, yang letaknya tak jauh dari pasar.  

Seperti lazimnya pergaulan antar saudara, Hong Nio, sebagai seorang kakak sangat menjaga dan memperhatikan mami. Ya, mungkin lantaran Hong Nio tahu betapa kurang bahagianya mami menjalani masa kecilnya lantaran di tinggal mati ayahnya. Untuk menghibur mami, kadang-kadang keluarga Hong Nio mengajak mami jalan-jalan, plezier, bahkan hingga keluar kota.
“Mami pernah diajak ke Cimaja (?), waktu nguburin wak Alam, kuburannya ada di gunung. Kuburan China,” kenang mamiku bercerita padaku di suatu sore, di batas akhir senja.

Sebagai seorang yatim, mamiku memang kurang piknik, hehe.. Kalaupun piknik, palingan hanya main ke Pasar Kebayoran, ke rumah sepupunya ini. Biasanya sebelum bertandang, mami akan meng-ebel pintu gerbang dulu, memastikan keadaan ‘aman’. Begitu di tengok ada mami datang, Wak Hong Nio menyuruh Beng Tek (DR. Sunaryo, pakar pembuatan kapal laut), putranya yang masih kecil untuk mengandangkan anjing-anjing mereka. Mamiku memang takut anjing.
Tek, hayo dimasukin anjing-nya, ada Omah (panggilan dari Rohmah) datang,” kenang mamiku menirukan suara Hong Nio saat menyambut kedatangannya.
Keluarga Wak Hong Nio memang memelihara anjing. Anjingnya kecil, namun kalau menyalak, tak kalah garang dengan anjing herder yang besar.

Meski Wak Hong Nio telah wafat dan tradisi hantaran kue china terputus, namun silaturahmi antar keluarga kami dengan keluarga Wak Hong Nio tetap terjaga. Saban lebaran tiba, anak-anaknya selalu datang ke rumah mamiku untuk ber-lebaran. Biasanya mereka datang siang hari, setelah tamu-tamu dan kerabat mami bersilaturahmi selepas Shalat Ied dengan mami. Maklum, mami kini orang tua yang dituakan. Sebab, hanya tinggal mami-lah anak dari kakek/nenek-ku yang masih hidup.

Biasanya, di lebaran hari pertama, setelah para saudara dan ponakan-ponakan mami yang muslim pulang, hanya tinggal mami, aku dan adik-adik-ku saja yang tersisa. Meski sebagian besar tamu dan kerabat dekat telah datang bersilaturahmi, namun mami belum bisa tenang untuk sekadar selonjoran atau beristirahat. Ada salah satu tamu yang ditunggu kehadirannya oleh mami. Siapa dia? Mamiku belum tenang bila keluarga Wak Hong Nio belum datang berlebaran. Maka, sebagai persiapan menyambut mereka, sebelum para ponakannya (anak-anak Wak Hong Nio) datang, mami pasti akan menyisakan ketupat lebaran sebagai santapan makan siang untuk mereka.
Mat, pisahkan 10 ketupat buat anak-anaknya Hong Nio. Ketupat jangan sampai habis,” itulah executive order dan titah mamiku dihari pertama lebaran, saat aku bersiap menyantap hidangan ketupat yang tergelatak di meja.

Dan biasanya sekitar jam makan siang, barulah sebagian keluarga Besar Wak Hong Nio datang silaturahmi ke rumah. Nah, selepas mereka datang, legalah hati mami lantaran ketupat beserta sayur dan daging semur habis disantap oleh ponakan-ponakannya. Berkah, kata mami. 

Oh ya, selain kue imlek, Mami juga berbagi kisah lainnya, kebiasaan orang tua dulu sewaktu imlek adalah membeli ikan bandeng ukuran jumbo untuk disantap bersama. Sewaktu muda, mami sering diajak Wak Hong Nio membeli ikan bandeng ukuran jumbo di Pasar Rawa Belong, arah utara Pasar kebayoran lama. Mami dengan lancarnya bercerita, sewaktu muda ia pernah bersepeda hingga ke kawasan Slipi, dekat Rawa Belong.


Begitulah mamiku mengenang masa-masa mudanya bersama Wak Hong Nio menjelang imek tiba. Semoga kenangan mami tak lekang dimakan usianya yang kian sepuh. Panjang umur dan sehat selalu, mami. Gong Xi Fat Coi!!

Selasa, 03 Januari 2017

Berkaca Dari Udin Sarap

Bagi pasangan yang baru menikah, atau yang kita sebut pengentin baru, saat-saat awal pernikahan merupakan moment yang penuh dengan kebahagian. Segalanya indah. Aktivitas berkasih sayang, misalnya, boleh dibilang selalu rutin dilakukan, persis seperti minum obat, 3 kali dalam sehari. Itulah yang lazim kita sebut sebagai masa bulan madu. Praktis tidak ada gejolak dan keributan diantara mereka. Semuanya selalu terasa indah. Nah, seiring perjalanan waktu, madu pun habis, yang ada tinggal sepahnya saja. Saat usia pernikahan beranjak memasuki usia 1 tahun mulai lah kejenuhan terjadi. Yang tadinya saling memanggil dengan panggilan sayang, berubah menjadi hanya panggilan nama. Yang tadinya selalu memperhatikan dan mengingatkan, berubah menjadi mengabaikan. Mulailah terjadi letupan-letupan kecil. Masalah sepele bisa berubah menjadi besar. Bagi kita yang sudah/pernah menikah, tentu pernah mengalami hal seperti itu khan?

Saat saya hendak menikah, Udin Sarap, panggilan akrabku kepada sepupu yang bernama Safrudin ini, memberikan sedikit gambaran tentang lika-liku dan suka duka hidup berumah tangga. Lantaran ia adalah abang sepupuku, maka nasehatnya tentang pernikahan mau tak mau saya perhatikan dengan sungguh-sungguh. Ia, yang lebih dahulu menikah ketimbangku, dan kini telah mempunyai empat orang anak yang sudah beranjak dewasa, tentu telah kenyang makan asam garamnya pernikahan.

Diantara point penting obrolan ringan kami dengan suguhan pisang goreng dan kopi panas, buatan Mpo’ Mumun, istrinya, yang kuingat ialah tentang 5 tahun pertama usia pernikahan. Menurut Udin Sarap, sama seperti balita, maka usia pernikahan 5 tahun pertama boleh dibilang usia rawan. Beragam masalah yang sepele bisa menjadi besar. Belum punya anak, misalnya, jadi bahan cela’an dan beban yang tak ada habis-habisnya.

Menurut Udin Sarap, boleh dibilang pada masa-masa itu adalah rentang waktu yang genting dalam berumah tangga, bila lulus melaluinya, maka kesana-sananya akan lancar. Saya, yang memang belum pernah menikah sebelumnya, rada kaget juga dengan warning yang ia ungkapkan. Kenapa harus lima tahun pertama? Ada apa dengan lima tahun pertama itu? Akhirnya, setelah saya menjalani pernikahan yang telah menginjak satu dasawarsa ini, barulah saya ngeh betapa pentingnya mencermati 5 tahun pertama ini.

Oh ya, perlu diketahui bahwa dari pengamatan yang pernah saya lihat, dengar, dan tonton, ada beberapa orang atau teman dekat saya yang gagal dalam membina hubungan rumah tangga. Dan menariknya, kegagalan mereka itu (baca: perceraian) terjadi pada usia pernikahan di bawah 5 tahun. Benar juga apa yang diomongin Si Udin Sarap, batinku. Oke, lantaran saya sudah khatam dan melalui 5 tahun pertama itu, saya akan berbagi kisah dan analisa mengapa 5 tahun pertama dalam pernikahan itu bernilai penting dan strategis bagi perkawinan seseorang. Ada beberapa faktor yang meyebabkan itu terjadi.

Pertama, 5 tahun pertama adalah masa dimana pasangan suami istri itu belum mapan. Karena mereka baru menikah dan masih berusia muda, (rata-rata menikah dibawah usia 30 tahun) maka kemapanan secara ekonomi pun masih minim. Pendapatan bulanan hanya cukup untuk makan berdua, dan itu pun pas-pas-an tanpa mampu ber-saving. Bila salah satu pasangan menuntut gaya hidup mewah, dan tidak mau tahu dengan kondisi ekonomi yang ada, tentu akan merepotkan pasangannya. Bila ini tidak di-adjust dengan baik dan bijak, maka jangan kaget bila muncul konflik-konfik kecil diantara mereka.

Kedua, belum punya rumah dan masih gabung/tinggal dengan orang tua atau mertua. Kalian tentu pernah merasakan dong suka dukanya tinggal dan hidup serumah dengan orang tua atau mertua. Ada plus minusnya. Ada enak dan kagaknya. Ya, kalau banyakan enak ketimbang kagaknya mungkin tak masalah, namun bila sebaliknya, yang saya istilahkan banyakan makan hati, ketimbang daging, tentu menjadi problem tersendiri. Bagi mereka yang tidak bisa mengelola plus minusnya tinggal di rumah mertua, tentu akan menimbulkan konflik tersendiri. Bila tinggal dengan mertua/orang tua, yang sering terjadi ialah istri berkonflik dengan mertua perempuan. Atau, bisa pula suami berkonflik dengan mertua laki-laki. Si Suami yang dinilai oleh sang istri lebih condong atau sayang ke ibunya ketimbang dia. Nah, hal-hal inilah yang bisa menjadi benih pertengkaran diantara mereka, suami istri.

Ketiga penyatuan dan adaftasi dari dua karakter yang berbeda. Sifat dan karakter asli yang tidak bisa diterima dengan baik oleh pasangan, seperti kebiasaan bangun siang; Tidur selalu mendengkur; Merokok dalam kamar; Tidak membuatkan kopi/teh pada pasangan; Cemburu berlebihan; Boros; Suka keluyuran atau begadang, ataupun perilaku negatif lainnya dari pasangan  yang baru muncul justru setelah menikah.

Keempat, belum punya anak. Bagi mereka yang ingin segera memiliki momongan, setelah menikah tentu ingin segera punya anak. Nah, setelah 2, 3 hingga 4 tahun pernikahan kok belum ada tanda-tanda hamil bagi si istri. Kondisi ini tentu menjadi tanda tanya. Kok istri belum hamil, apa yang salah. Disatu sisi orang tua/mertua juga ingin cepat-cepat memomong cucu. Timbulllah rasa curiga jangan-jangan salah satunya mandul atau tidak bisa membuahi. Nah, mulailah timbul riak-riak kecil yang menggangu keharmonisan rumah tangga yang bisa berakibat perceraian.  

Kelima sudah atau terlalu cepat punya anak. Dilalahnya mereka justru belum mau punya anak. Akibatnya dalam pola pengasuhan dan pendidian anak mereka belum siap, mereka belum faham dalam mendidik dan mengurus anak. Celakanya, masalah (kehadiran) anak ini justru menyulut potensi perceraian. Masing-masing pihak menyalahkan yang lain dalam mengasuh dan mendidik anak.


Itulah sekilas gambaran dan analisa saya mengapa 5 tahun pertama masa pernikahan itu begitu urgent bagi pasangan suami istri. Dan yang perlu diingat adalah meski kita akan menghadapi kondisi kegentingan dan kerawanan di 5 tahun pertama itu, hindarilah perkataan “cerai”. Bila kita sukses melaluinya, niscaya kita akan mudah untuk menjalani etape-etape berikutnya dalam mengarungi bahtera rumah tangga, semoga.