Aku tiba Sabtu siang, 05 Maret 2016, sekitar
jam 13.32 waktu setempat, setelah sebelumnya menempuh perjalanan sekitar dua
jam dari Dallas Ft Worth Intl’ Airport, Texas. Pesawat American Airlines mendarat
mulus di bandara Ronald Reagen, di pusat
kota. Ya, bandara ini memang tak jauh dari White House dan Washington
Monument. Dari kedua tempat itu, bila kita berjalan-jalan menyusuri indahnya
kota, akan jelas terlihat body pesawat saat akan landing.
Saat tiba, Mba Nunu, penghubung kami selama program
#IVLP di USA telah hadir untuk menjemput kami. Namun sebelum kami keluar dari
bandara, ada kekisruhan yang terjadi lantaran koper-koper kami belum tampak di
tempat pengambilan barang berjalan, hingga koper terakhir habis. Kami segera menuju
counter lost and found untuk
mengadukan masalah tersebut. Beruntung selagi kawanku mengantri, tampak
koper-koper kami, bermunculan dari conveyor berjalan. Aku lantas berseru, “koperne wis teko.” Lega rasanya.
Setelah koper didapatkan, kami lalu keluar
menuju mobil jemputan yang sudah disiapkan oleh pihak penyelenggara. Begitu
keluar areal bandara, hawa dingin langsung menyergap. Maklum, musim salju baru
saja usai. Hembusan angin yang bertiup kencang terasa sangat dingin, mampu
membuat badanku yang hanya berbalut longjohn dan jaket tipis menggigil,
meskipun sinar mentari menyorot badanku. Kulihat di temperature board, udara di
luar berada pada kisaran 5 derajat celcius.
Lantaran koper yang telat datangnya itu
membuat kami harus tertahan di bandara hampir 1 jam, akibatnya kami tiba di
hotel sekitar jam 15.00. Lelah? Tentu saja. Setelah check in dan mendapatkan
brosur dan jadwal kegiatan selama di DC dari recepsionis, aku bergegas naik ke
lantai 8. Ingin rasanya segera istirahat, tidur diempuknya kamar Hotel One
Circle yang lokasinya berseberangan jalan dengan Universitas George Washington.
Dan malam ini adalah malam pertamaku tinggal di hotel, di Washington DC, setelah
menempuh penerbangan hampir 20 jam dari Jakarta.
Malam ini dan malam-malam selanjutnya selama
berada di ibukota Amerika ini aku tak bisa tidur nyenyak lantaran masih berada
dalam suasana jetleg. Mata ini sulit terpejam. Kalaupun tertidur, paling lama
hanya 3 jam, untuk kemudian bangun lagi di tengah malam. Maklum, ritme dan
metabolisme tubuh belum menyesuaikan. Saat ini di Jakarta tentu siang hari,
kebalikan dari DC yang tengah malam dengan selisih 12 jam. Begitu seterusnya
hingga malam ke 5.
Sialnya, kesusahanku dalam tidur juga
ditambah oleh rauangan sirene yang hampir saban setengah jam memecah keheningan
malam kota DC. Bunyi sirine itu sangat menganggu. Raungan sirene itu seolah
menyambut malam pertamaku di Washington DC. Sirine dari 911 itu meraung silih
berganti dengan deru satu dua kendaraan yang kudengar.
Bicara mengenai raungan sirine, aku ingin
berbagi kisah. Selama di ibu kotanya Amerika ini aku kerap melihat mobil merah
ini berseliweran di jalan-jalan kota. Dengan peralatan dan sarana penunjang
yang lengkap di dalamnya, si merah ini begitu lincah berliak liuk di padatnya
jalan. Mobil merah ini beragam bentuk dan jenisnya. Ada yang berbody panjang,
yakni mobil pemadam kebakaran. Biasanya kulihat ada minimal dua iringan yang
menyertai perjalanannya. Satu mobil berukuran lebih kecil, sebagai pembuka
jalan, dan satu lagi ukuran besar dengan peralatan yang lebih lengkap. Namun
seringpula kulihat hanya satu mobil saja yang jalan. Disamping itu, adapula
mobil ambulance, yang ukurannya lebih ringkas.
Tadinya kupikir raungan sirene itu milik
mobil brandweer, tanda kebakaran di suatu
tempat, namun dugaanku salah. Sirene itu bukan penanda kebakaran namun itu
adalah bunyi sirene untuk segala kedaruratan yang terjadi dalam masyarakat. Jadi,
apapun segala keluhan dan kekisruhan yang terjadi dalam masyarakat akan merujuk
ke 911. Di Amerika Serikat, nomor ini adalah nomor pangglilan darurat untuk
minta tolong.
Saking saktinya ini nomor, konon, pernah ada
seorang nenek yang kehilangan anjing kesayangannya langsung menelpon 911 untuk
meminta bantuan petugas mencari anjingnya yang hilang. Pun demikian bila
kebetulan di rumah atau flat seseorang ada sesuatu yang mencurigakan, mereka
dengan cepat menelpon 911, dan dengan responsif pula petugas 911 menjawab
panggilan mereka.
Beruntung malam-malam berikutnya raungan
sirine tak sesering yang kutemui seperti Sabtu malam itu. Mungkin saja suasana
sudah aman terkendali. Atau -menurut dugaanku- karena malam minggu, dimana
keesokan harinya adalah hari libur membuat banyak orang ngadain pesta dan melek
semalaman. Akibatnya, mungkin ada yang mabok lalu jatuh ke got, dan butuh
pertolongan dari 911, hehe..
Nah, saat pindah ke kota lainnya di Amerika
Serikat, raungan sirene yang memekakkan telinga itu jarang kutemui, seperti di
Helena maupun di Philadelphia dimana aku menghabiskan akhir pekanku di dua kota
itu. Entah kenapa di DC seringkali terdengar raungan sirene. Baik itu pagi
dinihari atau bahkan siang sekalipun. Bisa jadi lantaran DC adalah ibukota
dimana semua warga dari berbagai kalangan ras dan etnis berkumpul. Dan karena
berasal dari beragam latar belakang itu mungkin banyak kejadian yang harus
melibatkan 911 untuk solusi pemecahannya.
Kredit photo;
http://dailycaller.com/2015/04/27/dc-fire-department-still-has-no-preventative-maintenance-program/
http://technical.ly/dc/2015/04/02/dc-fire-and-emergency-medical-services-fems-foia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar