Seperti hari-hari kemarin, pagi itu, setelah
bangun, kusingkap jendela kamar hotel, belum ada matahari terlihat, masih
gelap. Dari jam kecil yang tertaruh di meja samping ranjang kulihat angka 5 am.
Di Jakarta, waktu seperti ini tentu sudah masuk shubuh. Bergegas aku ke kamar
mandi, wudhu dan subuh-an, yang, sekali lagi waktunya ku
kira-kira.
Selesai sholat, seperti biasa kulepas colokan charger handphone yang sejak semalam penuh ter-charge. Saat ini tentu anak-anakku sedang bermain sore, lantaran
beda waktu separuh hari antara tempat ku berpijak dengan di Jakarta. Sama
dengan hari-hari yang lalu, aku rutin menelpon mereka menanyakan kabar
hariannya. Setelah melepas rindu itu, kunyalakan TV dan melihat sekilas
acaranya. Tak lama aku menatap tipi,
bosan, atau mungkin juga aku memang tak begitu tertarik dengan tontonan TV selama
berada di Philadelphia.
Biasanya, di Jakarta, pagi-pagi aku bersiap
dan berkemas untuk aktivitas persiapan berangkat kantor, namun kebiasaan itu
tak berlanjut selama aku mengikuti program #IVLP di USA. Senin pagi, 14 Maret
2016 cuaca di luar hotel kulihat sedikit mendung. Hujan rintik terbawa angin
menyapu udara kota Philly. Dari
ranjang tempatku berbaring, aku beringsut, kubuka kulkas, kuambil sisa makanan
malam yang memang seperti biasa selalu tersisa lantaran makanan yang tersaji berporsi
jumbo, dan itu tentunya tak sanggup tuk kuhabiskan. Sisa makanan malam tadi
adalah roti cane khas india bercampur kari ikan salmon, dengan sedikit nasi
berkuah yang kubeli di Reading Market, sore kemaren. Sangat enak, cocok dengan
lidahku, apalagi bila disantap selagi hangat. Aku sangat eman ‘tuk menghabiskannya sekali santap.
Sengaja kusisakan dengan membeli tambahan nasi seharga 3 dollar.
Beruntung, di tiap hotel yang kuinapi selama
di USA selalu tersedia microwave. Benda ini sangat menolong sekali. Dengannya
aku dapat berhemat, sehingga tak perlu membeli makan tiga kali sehari, namun
cukup 2 kali saja, -siang dan malam- dengan sisa makan malam yang dapat
dihangatkan keesokan paginya sebagai bekal sarapan, lantaran di hotel tak
tersedia sarapan pagi.
Sebenarnya aku rada malas juga untuk menceritakan
peristiwa memalukan ini, namun, nampaknya dari beragam peristiwa yang terjadi
selama aku berada di Amerika, kejadian konyol inilah yang patut di catat dan
sayang untuk di-delete dalam memory-ku yang sudah menurun daya ingatnya. Nah,
gara-gara microwave inilah malapetaka bermula. Inilah awal ceritanya.
Kebiasaanku selama menggunakan mesin pemanas
adalah, aku selalu menekan tombol bertuliskan Potato (kentang) sebagai ukuran
durasi memanaskan sesuatu. Jadi, apapun jenis makanan yang kumasukkan dalam
microwave, selalu aku pencet tombol potato. Di situ tertera bahwa untuk memasak
potato diperlukan waktu 5 menit. Nah, aku tentu tak perlu menunggu hingga 5
menit untuk menghangatkan nasi atau makanan lainnya. Biasanya 2 hingga 3 menit
saja makanan itu sudah hangat, dan langsung kutekan tombol stop. Namun entah
mengapa, tampaknya keapesan pagi itu menimpaku. Seperti cerita di awal, aku ada
sisa roti cane (berminyak). Roti ini sudah dingin, dan keras, perlu dihangatkan
agar empuk. Seperti biasa, kumasukkan roti itu dengan kualasi tutup kotak
makanan dari Tupperware. Kututup microwave itu, dan kutekan tombol bertuliskan
potato. Beres, tinggal nunggu 2 hingga 3 menit saja untuk siap disantap.
Selagi menunggu itu, aku sibuk dan asyik
membaca dan membalas WA yang masuk. Banyak juga ternyata. Ditengah-tengah asyiknya
ngobrol di WA, tiba-tiba saja muncul asap pekat dari balik microwave. Jarak
dari kasur tempat ku ber-WA-an dengan microwafe yang berada di laci bawah
televisi hanya sekitar 1,5 meter. Panik. Langsung aku melompat dan menekan
tombol stop. Seketika mesin penghangat itu mati. Beres? Belum. Ternyata asap
sangat banyak keluar menyembul dari sela-sela dalam microwave. Langsung kutekan
open dan kubuka penutupnya, agar tidak berbahaya dan menimbulkan api. Sial,
seketika keluar banyak asap langsung membumbung keatas, memenuhi kamarku. Lantaran
kamar penuh dengan asap, saat asap sampai ke langit-langit hotel, maka
terdeteksilah tanda kebakaran pada alat yang ada dilangit-langit kamarku. Bunyi
alarm tanda bahaya pun meraung-raung. Ya, alarm itu memang sangat sensitive
terhadap api dan asap.
Raungan alarm yang memekakkan telinga itu di
timpali pula oleh suara mesin di koridor dan selasar hotel yang meminta para
tamu untuk turun melalui tangga darurat dan tidak menggunakan lift. Kepanikan
di lantai 11 Club Quarter Hotel pun seketika terjadi. Banyak rekan penghuni
kamar sebelah, depan, kiri kanan yang langsung bergegas turun dengan tenang. Ada
yang baru bangun tidur dengan piyama yang masih melekat dibadan, ada pula yang
hanya memakai baju luar saja tanpa jas tanda belum siap untuk keluar hotel.
Jujur, saat itu aku stress berat. Bukan stess
karena kebakaran, karena aku tahu kondisi kamarku, yang tidak ada api melainkan
asap saja, dan situasinya pun dapat kukendalikan. Aku telah mematikan listrik
dari benda sial itu. Stress lantaran, asap pekat yang hanya berputar-putar di
kamarku tanpa sanggup keluar karena jendela kamar yang sulit terbuka. Walhasil,
alarm masih meraung-raung dan bunyi tanda peringatan bahaya masih menggema, dan
itu tentu menimbulkan kepanikan semua orang. Bagi yang tidak tahu tentu
bertanya-tanya ada apa ini? Ada kebakaran (api) dikamar berapa?
Dalam situasi itu, yang bisa kuperbuat hanya
pasrah menunggu di kamar. Menunggu hingga petugas datang ke kamarku. Kulihat semua
penghuni kamar di lantai 11 telah turun kebawah, hanya aku dan beberapa petugas
hotel yang tersisa, yang memantau kamarku sebagai sumber alarm yang berbunyi. Sejurus
kemudian, kira-kira 10 hingga15 menitan dari mulai tanda alarm berbunyi, muncul
lah beberapa petugas pemadam kebakaran, persis seperti di film Ladder 49. Selain beberapa petugas
pemadam kebakaran, ada pula petugas hotel yang menemani mereka. Dengan sigap
mereka mencari sumber asap dan tentu itu mengarah ke kamarku. Mereka pun memeriksanya.
Kutunjukkan pada mereka sumber asap yang
diakibatkan oleh microwave. Saking merasa malu dan bersalahnya, Aku hanya bisa
mengatakan “overcook” sembari
menunjuk ke arah microwave pada mereka.
Tampaknya mereka maklum, dan sepertinya sudah sering menghadapi kasus kayak gini. Lalu mereka mencoba mengeluarkan
asap dengan berusaha membuka jendela kamarku. Sial, sama sepertiku, mereka pun
kesulitan membukanya. Untung ada cleaning
service hotel, dan dengan arahannya, akhirnya jendela kamarku dapat dibuka,
dan asap pun berangsur-angsur keluar. Seiring dengan keluarnya asap, tak lama
kemudian bunyi alarm pun berhenti. Lega.
Setelah dirasa kondisi dapat ditangani,
petugas pemadam keluar dari kamarku. Dengan wajah penuh rasa bersalah, aku
berkata. “Sorry. It’s my fault. I
overcook.” Mereka cukup simpatik, Sambil mengulurkan tangan salah seorang
dari mereka berkata: “No problem, it’s ok.”
Setelah itu, para tamu hotel yang berada di lantai 11 mulai berdatangan ke
kamar masing-masing. Lift berfungsi. Kegaduhan sekitar setengah jam di pagi itu
pun berangsur hilang. Aktivitas normal pun kembali hadir seolah tidak pernah
terjadi apa-apa sebelumnya.
Setelah kondisi normal, aku mandi dan
bergegas ke lobby hotel untuk menjalani agenda di hari senin. Di lift, selainku
banyak tamu yang juga turun untuk beraktivitas. Dan, tampaknya mereka yang di lift
maupun di lobby tidak tahu bahwa akulah penyebab masalah di pagi itu. Di lobby,
saat menunggu lift ke lantai dasar, samar-samar kudengar ada beberapa tamu yang
menanyakan penyebab ‘kebakaran’ atau lebih tepatnya penyebab berbunyinya alarm
kepada petugas hotel. Mereka menjawab dengan merujuk microwave sebagai
penyebabnya. Sekilas kudengar “Overcook”
dari mulut petugas hotel.
Saat kejadian, jujur saja aku takut dan panic.
Bukan ketakutan kamarku akan terbakar, namun aku takut akan berurusan panjang
setelahnya. Ya, kekhawatiran bakal di bawa ke kantor aparat entah itu
kepolisian atau aparat di county untuk kemudian di perbal atau di BAP
menghantui pikiranku. Pasti aku akan diinterogasi dan ditanya-tanya perihal
kecerobahannu yang dapat menyebabkan bahaya, dan itu tentu tidak dapat ditolerir.
Namun tampaknya kekhawatiranku tidak terjadi. Setelah kejadian, tak ada petugas
yang datang kekamarku. Tak ada petugas yang menanyakan ini itu. Setelahnya
fine-fine saja, seolah tak pernah ada kehebohan. Business as usual.
Dalam mobil baru aku bercerita pada
rekan-rekanku sesama peserta #IVLP bahwa penyebab kehebohan di pagi itu adalah
aku. “Oo ternyata Pak Rachmat toch,”
sahut mereka, berbarengan. Dengan tersenyum tanda memaklumi, Mba Nunu,
penghubung kami selama program berlangsung berkata: “Saya sudah menyangka pasti
kejadian lagi hal seperti ini. Setiap ini (overcook
akibat penggunaan microwave) terjadi, Saya selalu berharap ini adalah kejadian
yang terakhir, namun sayangnya selalu saja ini berulang.” Dengan masih
menyantap roti sebagai bekal sarapannya, Mba Nunu menambahkan bahwa aku bukan
orang pertama dari Indonesia yang seperti ini.
Kalimat terakir dari Mba Nunu sedikit
menghiburku. Ya, aku bukanlah yang pertama yang pernah bermasalah dengan mesin
penghangat dan membuat heboh di hotel, ada orang-orang ceroboh sepertiku
sebelumnya. Dan, semoga saja doa Mba Nunu terkabulkan, cukup akulah orang
terakhir. The lesson
#the fact
- Baru aku tahu kemudian ternyata roti cane yang kuhangatkan itu berminyak, sehingga akibat overcook dapat menimbulkan asap yang pekat.
- Pemadam kebakaran kota Philly mengerahkan 4 unit mobil pemadam di depan hotel.
- Satu lagi, percaya atau tidak, kamar hotelku adalah 1109. Angka ini jika dibalik sama dengan 911, tanda atau symbol bahaya di Amerika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar