Senin, 27 Juni 2016

Pergi dan Pulang dengan Kejemuan

Untuk pergi ke benua Amerika, aku seperti juga para pelancong lainnya harus terlebih dahulu menuju ke negara-negara yang berada di kawasan utara, seperti Hongkong, Jepang, Taiwan, ataupun Korea (selatan). Maklum, tidak ada penerbangan langsung dari Jakarta menuju benua Amerika. Harus singgah di salah satu negara diatas. Kepergianku ke Amerika ini merupakan perjalanan pertama dengan pesawat yang akan memakan waktu tempuh yang lama. Selama ini paling lama aku berada dalam burung besi sekitar 2-3 jam. Belum pernah lebih dari itu.

Sebelum berangkat mengikuti program #IVLP d Amerika Serikat, pihak kedutaan Amerika Serikat di Jakarta mengundang aku untuk mengikuti briefing atau semacam technical meeting menjelang keberangkatanku ke negeri Paman Sam. Ya, ini adalah semacam pengenalan singkat tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama mengikuti program yang dibiayai dari pajak warga USA. Aku tiba Jum’at pagi (4 Maret 2016), di kantor sementara mereka di bilangan Budi Kemulyaan. Diterima dengan hangat oleh Bu Stephanie dan teamnya.

Setelah briefing selesai, bergegas aku menuju Condet, -setelah sebelumnya Jumatan di bilangan Otista- lantaran belum semua barang aku check dalam packing-an. Istriku di rumah sengaja mengambil cuti untuk mengantar kepergianku ke bandara. Rencananya kami akan berangkat dari Kemang, rumah ibuku. Setelah dirasa tak ada yang terlewat, kami meninggalkan Kemang menuju bandara pada pukul 15.30, persis setelah shalat ashar. Sengaja kami berangkat agak dini meski penerbanganku ke Tokyo pada pukul 21.25, khawatir jika tertinggal pesawat. Maklum ini adalah penerbangan pertamaku keluar negeri yang jauh. 

Penerbanganku menuju Amerika Serikat akan transit terlebih dahulu di Bandara Narita, Tokyo, Jepang.  Aku berangkat dengan menggunakan maskapai JAL. Direncanakan tiba keesokan paginya pada pukul 06.35 waktu setempat.  Penerbangan ini memakan waktu 7 jam lebih. Ya, waktu di Tokyo lebih cepat 2 jam ketimbang di Jakarta. Begitu mendarat, Para penumpang yang akan melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya akan melalui terminal transit. Dari sini aku menunggu penerbangan ke Dallas yang direncanakan akan terbang pada pukul 11.30 waktu setempat.

Sepanjang waktu menunggu penerbangan ke benua Amerika ini, kuhabiskan waktuku dengan menyusuri bandara Narita, yang seperti bandara lainnya diisi oleh aneka butik dan toko-toko pakaian, mainan, gadget, dan tentu warung makan. Seperti kebiasannku, sarapan adalah hal wajib. Aku sempat sarapan pagi di salah satu food court, membeli makanan sejenis lontong dengan campuran ikan tuna. Aneh rasanya. Meski demikian, kupaksakan masuk dengan menelan air sebagai pendorong agar sampai di kerongkongan.  Setelah bosan melihat sudut-sudut bandara, aku memutuskan untuk ke ruang tunggu tempat pesawat American Airlines terparkir.

Pesawat yang kutumpangi ini jenis pesawat berbada lebar, dengan komposisi tempat duduk kelas bisnis dan ekonomi dengan formasi seat 3 - 5 – 3 yakni masing-masing 3 seat dipinggir selasar dan 5 seat di lorong atau row tengah. Jenis Boeing, type 777. Aku duduk dibarisan tengah, jauh dari jendela. Meski demikian, sesekali aku bisa melihat angkasa luas dari balik jendela bila kebetulan ada penumpang yang membuka penutup jendela jauh disampingku.

Saat berangkat dari Narita Tokyo menuju Dallas USA (DFW). Rute yang dilalui adalah membelah Samudera Pasifik. Ya hampir 90 persen penerbangan itu berada diatas samudera nan luas. Perjalanan pergi ini memakan waktu 11 jam 40 menit. Hampir setengah hari penuh. Waktu yang sangat lama itu kuhabiskan dengan bengong, nonton film di layar kecil yang ada tepat di depan kursi duduk, denger music, bengong lagi, lalu mencoba tidur atau lebih tepatnya memejamkan mata, tidur sekejap, ngiler, bangun, bengong lagi. Begitu seterusnya. Bosan? Tentu saja. Ditambah lagi makanan yang di sajikan di dalam pesawat tak ada satupun yang menggugah selera. Semuanya hambar. Dilalahnya, kepalaku pun terasa pening dan sakit. Mungkin lantaran terbang di ketinggian atau bisa jadi kurang istirahat. Maklum, semalam saat terbang dari Jakarta ke Tokyo aku sulit tidur. Jadilah penerbangan 11 jam-an ini sangat menyiksa.

Hatta, sampai juga pagi di Amerika. Jam menunjukkan pukul 08.10 waktu Dallas. Pesawat mendarat dengan mulus di bandara yang sangat luas. Ya, sepertinya bandara ini berada di padang gurun yang luas lantaran tidak ada bangunan menjulang tinggi sebagai penanda ada kota deket-dekat situ. Yang tampak dimata hanya tanah lapang dengan langit yang biru bersih, persis seperti di Amerika, hehe.. Finally, sampai juga di Amerika.

Sedikit aku ingin bercerita tentang bandara Dallas Fort Wort atau DFW. Bandara ini adalah gerbangnya Amerika yang akan menghubungan para pelaju menju kota-kota lainnya di Amerika. Ia semacam bandara hub. Dari sini kita bisa terbang ke utara amerika, ke selatan, terus ke timur bahkan ke Negara tetangga USA lainnya. Ada 5 terminal, A sampai E. Untuk menuju terminal satu dengan yang lainnya, kita harus naik trem atau semacam kereta layang yang mengitari bandara. Bentuk bandaranya sendiri seperti daun atau jembatan semanggi, di Jakarta. Namun daun semanggi ini banyak jumlahnya. Bisa di lihat di

Itulah perjalanan atau keberangkatanku ke Amerika. Nah, lalu bagaiman adengan perjalanan atau kepulanganku dari Amerika? Berbeda tentunya, meski sama-sama dating dan pulang dari bandara Dalllas. Ini sedikit paragraf rute kepulanganku ke Jakarta.

Rute pulang dan pergi ku ke USA mengalami perbedaan yang cukup signifikan. Bila saat pergi hanya menempuh perjalanan terbang selama sekitar 11 jam 40 menit, nah ketika pulang ke Jakarta Via Hongkong, kami menempuh jarak 13.053 Km, dengan waktu terbang selama 16 jam 35 menit! Kok bisa lama? Inilah yang menggelitik keingintahuannku.

Yang namanya pulang, tentu sesuatu yang diidam-idamkan. Ingin cepat bertemu dengan keluarga di rumah. Kalau bisa, penerbangannya tak lama. Namun dari tiket yang kuperoleh, untuk kepulanganku ke Jakarta akan memakan waku tempuh selama 16 jam lebih, non stop!!

Jujur saja aku tidak nyaman dengan jadwal kepulanganku ini. Aku tidak puas dengan itinerary yang dibuat. Namun, mau bagaimana lagi. Dalam programku, kota terakhir yang kusambangi adalah Salt Lake City, Utah. Dari kota ini biasanya penerbangan keluar Amerika yang akan menuju kawasan Asia, akan melalui bandara di negara bagian California, di barat benua Amerika. Nah, lantaran menggunakan maskapai American Airlines, -untuk ke Jakarta- kami harus terlebih dulu kembali ke Dallas yang berada di tenggara Salt Lake City. Agar jelasnya, mungkin bisa aku gambarkan sebagai berikut; Bila kita hendak ke kawasan Timur Tengah atau Eropa dari Indonesia; Jika posisi kita saat itu ada di Palembang, maka tentu lebih dekat langsung ke Batam atau Singapura. Nah, kami dipaksa terbang dulu dari Palembang ke Jakarta untuk kemudian balik lagi ke arah barat, yang berarti akan terbang atau melintasi kembali wilayah Palembang atau Sumatera Selatan! Jika dilihat di peta, tentu akan lebih ekonomis bila dari SLC kami terbang ke San Francisco ataupun kota-kota di California untuk kemudian lompat ke barat, ke arah Jepang atau Pasifik.

Dan ternyata, sialnya pesawat tidak lurus terbang melawati Samudera Pasifik melainkan ke utara melalui Vancouver, Canada, Kutub Utara, Rusia, Korea, Cina dan berakhir di Hongkong. Total waktu tempuh yang digunakan 16 jam 35 menit, nonstop. Jadilah aku rugi 5 jam di udara, grrr grr..!!

Pesawat terbang dari DFW, Sabtu 26 Maret 2016 tepat pukul 12.25, siang hari. Saat mengudara, ada terbersit kekhawatiran bila tiba-tiba saja mesin pesawat mati. Ya, mungkin agak naïf dan konyol, aku sendiri tak tahu mengenai permesinan, tapi dengan 16 jam nonstop mesin dalam kondisi ON dan terus berfungsi, pikiran sederhanaku terbersit. “lha apa gak capek mesin bekerja hamper seharian penuh!” Batinku.

Sama seperti waktu berangkat, pulang pun tak banyak aktivitas yang kulakukan. Hanya duduk tenang, nonton, denger music, tidur, bengong, begitu seterusnya selama 16 jam lebih. Nyaris sepanjang perjalanan aku tidak menjumpa malam. Yang tampak dari balik jendela hanya warna terang, dengan daratan berselimut putih salju. Beruntung aku tak mengalami pusing dan sakit kepala seperti ketika waktu berangkat.

Akhirnya menjelang batas akhir senja, tepat pukul 18.00 waktu Hongkong, American Airlines mendarat dengan mulus. Lega rasanya. Masih tampak jelas kulihat suasana kota Hongkong dengan bangunan-bangunan tinggi menjulang dan posisi bandaranya yang terletak tepat di pinggir laut.

Bergegas kami berlari lantaran hanya tersisa waktu satu jam untuk pindah dan ganti pesawat yang akan membawa kami ke Jakarta. Kami terbang pukul 19.05, dengan Cathay Pacipic, dan direncanakan kami tiba di Jakarta tengah malam pada pukul 22.50. Di Jakarta, Razi dan Ranza telah menunggu. Pelukan dan sapaaan hangat mereka meluluhkan kepenatanku setelah seharian penuh terbang melintasi benua dan samudera. Welcome Jakarta!


2 komentar:

  1. 16 jam di udara.. Hebat. Pengalamanku paling lama 11 jam KL-Istanbul. Melelahkan memang. Tapi tetap mengasyikkan. Selamat ya kawan (y)

    BalasHapus
  2. ceritanya sangat menginspirasi. sukses terus mas rahmat.

    BalasHapus