Sering kita merasa kebingungan bila baru
datang di suatu tempat. Ingin pergi dan lihat-lihat suasana sekitar kota, namun
tak tahu harus kemana. Tak ada petunjuk atau clue yang bisa jadi pegangan. Mau keluar atau pergi pun ada
perasaan takut. Takut nyasar tepatnya. Mengingat saat check in dan tinggal di
hotel, tak semua hotel menyajikan peta dan denah suatu kota, sebagai pegangan
kita untuk melangkah. Akhirnya satu-satunya cara ya harus membuka applikasi google map, dan itu tidak lah seringkas
bila ada peta saku yang tersedia.
Untuk menjelajahi suatu kota, adakalanya kita
perlu adaptasi yang lama untuk mengenali dan menghapal nama-nama jalan di kota
itu, dan itu tidaklah mudah. Maklum, nama-nama jalan di kota-kota di Indonesia
sangat banyak dan beragam. Ada yang diberi nama tumbuhan, gunung, pulau, hewan,
kota, bahkan bisa juga sebuah hurup. Dan anehnya, nama itu pun kadang tidak
teratur. Misalkan saja sering kita jumpai untuk mengklasifikasikan jalan di satu
kawasan, penamaannya dengan nama-nama bunga, (cendana, anyelir, kamboja, dsb), namun
ajaibnya kadang terselip nama orang (pahlawan), gunung, bahkan binatang pada
kawasan yang sama. Tidak ajek dan teratur.
Kelemahan atau kekurang cerdasan kita dalam penataan
suatu kawasan atau jalan adalah ketidakdisiplinan kita dalam menerapkan aturan
yang baku. Ya, contohnya seperti penamaan jalan atau kawasan itu. Ada yang
berurutan atau dengan langgam yang sama, seperti nama-nama tumbuhan dan
semacamnya, namun entah mengapa -ujug-ujug- bisa dijumpai penamaan itu keluar
dari pakemnya.
Memang demikianlah adanya. Penamaan jalan-jalan
di kota-kota di Indonesia tidak diatur berdasarkan hurup seperti A, B, C, dst,
ataupun berupa angka seperti jalan 1, jalan 2, 3 dst yang merujuk kepada
petunjuk dari satu blok berpindah ke blok sebelah atau blok lainnya, namun
berupa nama-nama tertentu. Inilah yang membuat kita harus ektra hati-hati dalam
mempelajari jalan dan lingkungan kota yang baru kita kunjungi, di Indonesia. Lalu,
bagaimana dengan di negara maju? Adakah situasinya sama dengan di Indonesia?
Tentu beda. Bagai langit dan sumur.
Saat aku berkesempatan di undang Department
of State Amerika untuk menengok sisi-sisi kota mereka pada Maret 2016 silam,
ketakjubanku, -seperti juga takjubnya orang kampung atau ndeso yang baru tiba dan pertama kali sampai di kota- adalah kesan
“wah.” Dan semua yang terlihat adalah; Teratur, bersih, dan tertib.
Untuk jalan raya misalnya, tak akan dijumpai
jalan yang tak lurus atau bengkok. Tiap persimpangan jalan, bisa menjadi enam
bahkan hingga delapan simpang, seperti arah mata angin. Meski simpangannya
banyak, namun pengaturan lalu lintas dapat dibuat teratur dan tertib. Tak ada
antrian kendaraan di tiap persimpangan lampu merah, meskipun simpangannya lebih
dari empat, seperti kebanyakan simpangan rata-rata di Indonesia.
Selain itu, ciri khas dari keteraturan
tersebut adalah bentuk kotanya laksana ukuran kotak persegi. Kotak-kotak
bergaris lurus. Jalan dan blok tertata jelas. Bisa dipastikan, kita tak akan
kesasar bila berjalan seorang diri di rimbunan bangunan menjulang di DC ataupun
Philadelphia, misalnya. Tak ada kawasan libirin yang membingungkan.
Oh ya, ini istimewanya, penamaan jalan di
Amerika sangat berbeda dengan di tanah air. Penamaan jalan ditata dengan
tertib. Jalan di belah menjadi blok dan sector. Lazimnya penanda jalan itu
dimulai dari hurup atau angka yang berurutan. Misalkan saja namanya: Jalan 1SW,
artinya jalan 1 dalam sektor South West. Maka tentu di blok berikutnya jalan
2SW, begitu seterusnya. Blok pun demikian. Bila di depan kita Blok A, tentu
setelahnya Blok B, C, D berurutan dalam jejeran blok yang memancang.
Untuk peletakan plang jalan pun ada pakemnya.
Di tiap persimpangan selalu terpampang nama jalan dengan posisinya yang menggantung
di tengah-tengah jalan, atau bisa juga diletakkan disamping rambu lalu lintas.
Dan ini sudah semacam SOP hingga kita tak akan kesasar bila menemukan
persimpangan.
Disamping itu kenyamanan kota juga tergambar
dari keteraturan bangunan yang ada di dalamnya. Di Washington DC misalnya,
semua gedung bertingkat seragam tingginya, tidak ada yang boleh melebihi dari Washington
Monument (WM), sebagai landmark kota. Semua bangunan seakan tunduk dan taat
pada pimpinannya, yakni MW. Monas pun sebenarnya dicita-citakan seperti itu
dimasanya. Oleh Bung Karno sebagai inisiator pembangunannya, tidak beleh ada bangunan yang melebihi
ketinggian Monas. Namun sayang, seiring perjalanan waktu, aturan dan konsep itu
dilanggar.
Menurutku, keteraturan tata kota di Amerika
lantaran kota itu direncanakan dan dibangun terlebih dahulu untuk kemudian
ditempati. Beda dengan di Indonesia yang kesemuanya ditempati dulu baru
kemudian di adjust atau disesuaikan
dengan sesuatu yang telah ada. Bila kebetulan disitu telah ada lebih dulu pemukiman,
maka jalan raya pun bisa dibelokkan, digeser menyamping. Akibatnya bentuknya
tidak presisi atau lurus namun bengkok. Pertokoan dan perkantoran pun akan
digeser letaknya lantaran sebelumnya telah ada sesuatu yang sulit digeser.
Jadilah tata aturan kota yang diatas kertas bagus namun dalam tataran
aplikasinya menjadi menyimpang dan tentu saja semrawut. Begitulah adanya. Mungkin
inilah yang membedakan antara mereka dan kita. Dan, justru inilah keunikan kita
dibandingkan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar