Rabu, 15 Juni 2016

Pergilah Keluar, di Jamin Anda Tak Nyasar!

Sering kita merasa kebingungan bila baru datang di suatu tempat. Ingin pergi dan lihat-lihat suasana sekitar kota, namun tak tahu harus kemana. Tak ada petunjuk atau clue yang bisa jadi pegangan. Mau keluar atau pergi pun ada perasaan takut. Takut nyasar tepatnya. Mengingat saat check in dan tinggal di hotel, tak semua hotel menyajikan peta dan denah suatu kota, sebagai pegangan kita untuk melangkah. Akhirnya satu-satunya cara ya harus membuka applikasi google map, dan itu tidak lah seringkas bila ada peta saku yang tersedia.

Untuk menjelajahi suatu kota, adakalanya kita perlu adaptasi yang lama untuk mengenali dan menghapal nama-nama jalan di kota itu, dan itu tidaklah mudah. Maklum, nama-nama jalan di kota-kota di Indonesia sangat banyak dan beragam. Ada yang diberi nama tumbuhan, gunung, pulau, hewan, kota, bahkan bisa juga sebuah hurup. Dan anehnya, nama itu pun kadang tidak teratur. Misalkan saja sering kita jumpai untuk mengklasifikasikan jalan di satu kawasan, penamaannya dengan nama-nama bunga, (cendana, anyelir, kamboja, dsb), namun ajaibnya kadang terselip nama orang (pahlawan), gunung, bahkan binatang pada kawasan yang sama. Tidak ajek dan teratur.

Kelemahan atau kekurang cerdasan kita dalam penataan suatu kawasan atau jalan adalah ketidakdisiplinan kita dalam menerapkan aturan yang baku. Ya, contohnya seperti penamaan jalan atau kawasan itu. Ada yang berurutan atau dengan langgam yang sama, seperti nama-nama tumbuhan dan semacamnya, namun entah mengapa -ujug-ujug- bisa dijumpai penamaan itu keluar dari pakemnya.

Memang demikianlah adanya. Penamaan jalan-jalan di kota-kota di Indonesia tidak diatur berdasarkan hurup seperti A, B, C, dst, ataupun berupa angka seperti jalan 1, jalan 2, 3 dst yang merujuk kepada petunjuk dari satu blok berpindah ke blok sebelah atau blok lainnya, namun berupa nama-nama tertentu. Inilah yang membuat kita harus ektra hati-hati dalam mempelajari jalan dan lingkungan kota yang baru kita kunjungi, di Indonesia. Lalu, bagaimana dengan di negara maju? Adakah situasinya sama dengan di Indonesia? Tentu beda. Bagai langit dan sumur.

Saat aku berkesempatan di undang Department of State Amerika untuk menengok sisi-sisi kota mereka pada Maret 2016 silam, ketakjubanku, -seperti juga takjubnya orang kampung atau ndeso yang baru tiba dan pertama kali sampai di kota- adalah kesan “wah.” Dan semua yang terlihat adalah; Teratur, bersih, dan tertib.

Untuk jalan raya misalnya, tak akan dijumpai jalan yang tak lurus atau bengkok. Tiap persimpangan jalan, bisa menjadi enam bahkan hingga delapan simpang, seperti arah mata angin. Meski simpangannya banyak, namun pengaturan lalu lintas dapat dibuat teratur dan tertib. Tak ada antrian kendaraan di tiap persimpangan lampu merah, meskipun simpangannya lebih dari empat, seperti kebanyakan simpangan rata-rata di Indonesia.

Selain itu, ciri khas dari keteraturan tersebut adalah bentuk kotanya laksana ukuran kotak persegi. Kotak-kotak bergaris lurus. Jalan dan blok tertata jelas. Bisa dipastikan, kita tak akan kesasar bila berjalan seorang diri di rimbunan bangunan menjulang di DC ataupun Philadelphia, misalnya. Tak ada kawasan libirin yang membingungkan.

Oh ya, ini istimewanya, penamaan jalan di Amerika sangat berbeda dengan di tanah air. Penamaan jalan ditata dengan tertib. Jalan di belah menjadi blok dan sector. Lazimnya penanda jalan itu dimulai dari hurup atau angka yang berurutan. Misalkan saja namanya: Jalan 1SW, artinya jalan 1 dalam sektor South West. Maka tentu di blok berikutnya jalan 2SW, begitu seterusnya. Blok pun demikian. Bila di depan kita Blok A, tentu setelahnya Blok B, C, D berurutan dalam jejeran blok yang memancang.

Untuk peletakan plang jalan pun ada pakemnya. Di tiap persimpangan selalu terpampang nama jalan dengan posisinya yang menggantung di tengah-tengah jalan, atau bisa juga diletakkan disamping rambu lalu lintas. Dan ini sudah semacam SOP hingga kita tak akan kesasar bila menemukan persimpangan.

Disamping itu kenyamanan kota juga tergambar dari keteraturan bangunan yang ada di dalamnya. Di Washington DC misalnya, semua gedung bertingkat seragam tingginya, tidak ada yang boleh melebihi dari Washington Monument (WM), sebagai landmark kota. Semua bangunan seakan tunduk dan taat pada pimpinannya, yakni MW. Monas pun sebenarnya dicita-citakan seperti itu dimasanya. Oleh Bung Karno sebagai inisiator pembangunannya,  tidak beleh ada bangunan yang melebihi ketinggian Monas. Namun sayang, seiring perjalanan waktu, aturan dan konsep itu dilanggar.


Menurutku, keteraturan tata kota di Amerika lantaran kota itu direncanakan dan dibangun terlebih dahulu untuk kemudian ditempati. Beda dengan di Indonesia yang kesemuanya ditempati dulu baru kemudian di adjust atau disesuaikan dengan sesuatu yang telah ada. Bila kebetulan disitu telah ada lebih dulu pemukiman, maka jalan raya pun bisa dibelokkan, digeser menyamping. Akibatnya bentuknya tidak presisi atau lurus namun bengkok. Pertokoan dan perkantoran pun akan digeser letaknya lantaran sebelumnya telah ada sesuatu yang sulit digeser. Jadilah tata aturan kota yang diatas kertas bagus namun dalam tataran aplikasinya menjadi menyimpang dan tentu saja semrawut. Begitulah adanya. Mungkin inilah yang membedakan antara mereka dan kita. Dan, justru inilah keunikan kita dibandingkan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar