“Yah (ayah), enam kali ya..”
“Iya,
tapi ayah makan dulu ya, ayah laper..,”
jawabku
“Ok,” sahutnya.
Masih
belum hilang penat dan lelah ini setelah seharian dihadapkan oleh aneka rupa
dan ragam manusia yang silih berganti datang mengurus berbagai keperluan di kantor
kelurahan, saat motorku tiba persis di depan pintu pagar dan suara motor
terdengar olehnya. Dari balik jendela ia mengintip. Sejurus kemudian ia
langsung membuka pintu dan terucaplah kata itu.
Selepas
makan cemilan, langsung papan catur kami buka. Masing-masing membereskan bidak
caturnya. Biasanya ia suka hitam, entah mengapa. Jelas ia belum mengerti akan
makna hitam putih bidak catur, seperti belum paham pula makna hitum putih
kehidupan. Meski memegang bidak hitam, ia selalu melangkah lebih dulu. Baginya,
bidak warna putih tidak otomatis akan melangkah dan memulai permainan.
Sejujurnya
aku agak bingung melatih dan mengajarinya main catur. Mulai dari mana? Bagaimana
mengajarinya? Apa yang harus dikenalkan lebih dulu, dsb. Bagiku, awalnya
–pembelajarannya-- hanya sambil lalu saja. “Kuda jalannya miring, seperti hurup
“L”, kalau benteng lurus saja” ujarku, mengajarinya. Beruntung, mungkin
lantaran otaknya rada encer ia sudah dapat menangkap bagaimana menjalankan
bidak-bidak catur. Ia paham memindahkan kuda, benteng, luncur, menteri, hinga
raja. Lalu ‘pelajaran’ berikutnya adalah cara memakan bidak.
Mulanya
ia berpikir bahwa jika bidak itu berdekatan atau berhimpitan, maka bisa langsung
dimakan. Awalnya aku acuh saja dan mendiamkannya. Namun setelah beberapa kali bermain,
mulai dengan telaten aku mendebat pemikirannya. Aku bilang bahwa pion itu
makannya miring. Meski begitu, ia sering kali keliru. Tetap saja ia suka
memakan apapun yang berhimpitan dengan bidak catur. Untungnya, kekeliruan itu
cepat kubenarkan, dan kembali ia patuh dan taat asas. Namun sayangnya ia hanya
mampu menjalankan saja, memakan saja. Ia belum paham makna dan nilai benteng
vis a vis pion. Atau menteri vis a vis kuda. Baginya, jika ada kesempatan dan
bidak catur bisa dimakan, maka dimakanlah. Simple.
Well,
bagiku itu sudah bagus. Bahkan ia kerap ‘mengajariku’
“Yah (ayah), bentengnya kok gak dimakan. Ini kan bisa dimakan ama ini, “
tunjuknya.
Padahal,
sengaja aku tidak memakan bidaknya, lantaran memberikan voor untuknya, agar bidakku banyak dimakan oleh bidaknya hingga ia
nantinya akan mudah meruntuhkan rajaku. Serba salah juga. Jelas ia belum paham
strategi dan taktik permainan. Ia selalu bermain cepat, nyaris tanpa berpikir.
Dan selalu memakan apa yang bisa dimakan.
Maka
tidak lah bijak bila saban main catur dengannya aku selalu menang. Itu tidak
mendidik. Tentu ia akan down, dan tak semangat bermain lantaran selalu kalah. Nah,
bagaimana membuatnya menang? Menang dengan wajar tentunya. Nah, inilah
sulitnya. Bermain catur dengan anak kecil usia 6 (enam) tahun, tentu beda
dengan anak yang sudah rada besar. Bila dengan anak yang sudah agak mahiran, tentu mudah men-skenario-kan
kekalahan. Namun bagaimana bila bermain dengan anak yang tahunya cuma makan doang.
Jujur, kadang aku kesulitan juga untuk membuatnya menang. Pernah aku coba membuat
rajaku mudah dimakannya, namun ia justru memakan benteng. Dan skenario-ku pun
berantakan. Di lain kesempatan aku memakan pionnya dengan harapan ia akan
memakan rajaku, namun yang terjadi ia justru balik memakan pion juga. Serba
salah. Untung-untungan juga membuatnya agar bisa mengalahkanku. Tentu dengan
cara yang seolah-olah memang ia mampu menaklukkanku. Begitulah, seringkali agar
permainan cepat berakhir, dengan sengaja aku memposisikan raja pada posisi yang
memudahkannya untuk memakannya, heheh..
Maka
sudah dapat ditebak, akhir permainan kita selalu dengan skor imbang 3-3. Ya,
ini sesuai pintanya bermain catur dalam 6 set atau 6 kali permainan. Selepas
itu, aku bisa beristirahat melepas lelah tanpa disibukkan dengan rengakannya: “Yah, (ayah) enam kali ya..” sambil
menenteng papan catur, menyambutku sepulang kerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar