Senin, 11 Juli 2016

Siapa Bilang Mengalah Itu Mudah

Yah (ayah), enam kali ya..”
“Iya, tapi ayah makan dulu ya, ayah laper..,” jawabku
Ok,” sahutnya.

Masih belum hilang penat dan lelah ini setelah seharian dihadapkan oleh aneka rupa dan ragam manusia yang silih berganti datang mengurus berbagai keperluan di kantor kelurahan, saat motorku tiba persis di depan pintu pagar dan suara motor terdengar olehnya. Dari balik jendela ia mengintip. Sejurus kemudian ia langsung membuka pintu dan terucaplah kata itu.

Selepas makan cemilan, langsung papan catur kami buka. Masing-masing membereskan bidak caturnya. Biasanya ia suka hitam, entah mengapa. Jelas ia belum mengerti akan makna hitam putih bidak catur, seperti belum paham pula makna hitum putih kehidupan. Meski memegang bidak hitam, ia selalu melangkah lebih dulu. Baginya, bidak warna putih tidak otomatis akan melangkah dan memulai permainan.

Sejujurnya aku agak bingung melatih dan mengajarinya main catur. Mulai dari mana? Bagaimana mengajarinya? Apa yang harus dikenalkan lebih dulu, dsb. Bagiku, awalnya –pembelajarannya-- hanya sambil lalu saja. “Kuda jalannya miring, seperti hurup “L”, kalau benteng lurus saja” ujarku, mengajarinya. Beruntung, mungkin lantaran otaknya rada encer ia sudah dapat menangkap bagaimana menjalankan bidak-bidak catur. Ia paham memindahkan kuda, benteng, luncur, menteri, hinga raja. Lalu ‘pelajaran’ berikutnya adalah cara memakan bidak.

Mulanya ia berpikir bahwa jika bidak itu berdekatan atau berhimpitan, maka bisa langsung dimakan. Awalnya aku acuh saja dan mendiamkannya. Namun setelah beberapa kali bermain, mulai dengan telaten aku mendebat pemikirannya. Aku bilang bahwa pion itu makannya miring. Meski begitu, ia sering kali keliru. Tetap saja ia suka memakan apapun yang berhimpitan dengan bidak catur. Untungnya, kekeliruan itu cepat kubenarkan, dan kembali ia patuh dan taat asas. Namun sayangnya ia hanya mampu menjalankan saja, memakan saja. Ia belum paham makna dan nilai benteng vis a vis pion. Atau menteri vis a vis kuda. Baginya, jika ada kesempatan dan bidak catur bisa dimakan, maka dimakanlah. Simple.

Well, bagiku itu sudah bagus. Bahkan ia kerap ‘mengajariku’
Yah (ayah), bentengnya kok gak dimakan. Ini kan bisa dimakan ama ini, “ tunjuknya.
Padahal, sengaja aku tidak memakan bidaknya, lantaran memberikan voor untuknya, agar bidakku banyak dimakan oleh bidaknya hingga ia nantinya akan mudah meruntuhkan rajaku. Serba salah juga. Jelas ia belum paham strategi dan taktik permainan. Ia selalu bermain cepat, nyaris tanpa berpikir. Dan selalu memakan apa yang bisa dimakan.

Maka tidak lah bijak bila saban main catur dengannya aku selalu menang. Itu tidak mendidik. Tentu ia akan down, dan tak semangat bermain lantaran selalu kalah. Nah, bagaimana membuatnya menang? Menang dengan wajar tentunya. Nah, inilah sulitnya. Bermain catur dengan anak kecil usia 6 (enam) tahun, tentu beda dengan anak yang sudah rada besar. Bila dengan anak yang sudah agak mahiran, tentu mudah men-skenario-kan kekalahan. Namun bagaimana bila bermain dengan anak yang tahunya cuma makan doang. Jujur, kadang aku kesulitan juga untuk membuatnya menang. Pernah aku coba membuat rajaku mudah dimakannya, namun ia justru memakan benteng. Dan skenario-ku pun berantakan. Di lain kesempatan aku memakan pionnya dengan harapan ia akan memakan rajaku, namun yang terjadi ia justru balik memakan pion juga. Serba salah. Untung-untungan juga membuatnya agar bisa mengalahkanku. Tentu dengan cara yang seolah-olah memang ia mampu menaklukkanku. Begitulah, seringkali agar permainan cepat berakhir, dengan sengaja aku memposisikan raja pada posisi yang memudahkannya untuk memakannya, heheh..


Maka sudah dapat ditebak, akhir permainan kita selalu dengan skor imbang 3-3. Ya, ini sesuai pintanya bermain catur dalam 6 set atau 6 kali permainan. Selepas itu, aku bisa beristirahat melepas lelah tanpa disibukkan dengan rengakannya: “Yah, (ayah) enam kali ya..” sambil menenteng papan catur, menyambutku sepulang kerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar