Bagiku, menjadi ‘beban’ tersendiri bila
bepergian jauh ke suatu tempat sudah dipusingkan dengan keruwetan mau beli apa tuk dijadikan oleh-oleh atau buah
tangan. Menjadi beban kalau kebetulan duit cekak,
sedangkan request dari istri, anak
atau kerabat harus dituruti, bila tidak, bakalan end! Kalaupun uang tersedia, kadang aku bingung mau membelikan apa
untuk mereka. Maklum, tak semua tempat yang dikunjungi banyak tersaji buah
tangan atau sesuatu yang khas yang layak tuk
dibeli.
Paling enak tentu pergi ke tempat-tempat yang
kaya akan budaya dan kulinernya. Sumatera Barat misalnya, beli saja keripik
sanjai ‘tuk oleh-oleh, beres! Ke
Jogja pun demikian, borong saja batik, selesai urusan! Namun, bagaimana kalau
kita pergi ke tempat yang kita sendiri bingung mau nyari apa lantaran tidak ada yang khas atau istimewa dari daerah
itu.
Nah, inilah yang menjadi kegalauan dan
bebanku lantaran dititipi ‘oleh-oleh’ menjelang keberangkaanku ke Amerika
Serikat, Maret silam. Sebelum berangkat, orang rumah, yakni istri dan saudara-saudaraku
jauh-jauh hari berpesan. “Mat, pokoknya
gw jangan dibeliin apa-apa, cukup celana levis aja, ukurannya 42 ya,” pesan
kakakku. Adikku yang laki gak mau
kalah: “Bang, gw jaket aja ya.” (Saudara)
Yang lain? Ya 11 12. Mereka juga kepengen
dibelikan oleh-oleh khas Amerika. Dengan canda kubalas permintaan mereka. “Iya, tenang aja, kalo perlu patung liberty
gw bungkus,” jawabku dengan santai sambil ngeloyor pergi meninggalkan mereka, hehe..
Apa sih
yang menjadi ciri khas Amerika yang bisa dijadikan oleh-oleh? Jeans, tentu
saja! Celana itu sudah menjadi semacam trade
mark bagi mereka. Dikenal dengan celana cowboy, lantaran si pemakai adalah
para penggembala sapi yang menggembakan hewan peliharaannya dengan berkuda dan
hidup di padang rumput di pedalaman Amerika. Kata temanku, (jeans) disana
selain tentunya asli, juga murah ketimbang di Jakarta. Selain celana jeans, aku
belum ada gambaran mau beli apa lagi disana. Yang ada dalam pikiran palingan membeli gantungan kunci dan
tempelan kulkas. Hanya itu. Sepertinya gantungan kunci atau tempelan kulkas
sudah menjadi oleh-oleh yang mainstream,
yang biasa dibawa sebagai buah tangan dari luar negeri.
Beruntung, ditengah padatnya business meeting dan acara-acara resmi lainnya
di Washington DC, kami, peserta #IVLP dari Indonesia masih bisa mencuri sedikit
waktu di sela-sela jam makan siang. Ya, siang itu selepas rehat, kami dengan
dipandu oleh Pak Hengky, sebagai yang punya wilayah, meluncur ke ‘pinggiran’
DC, ke kawasan yang disebut “Gudang”. Gudang ini letaknya masih di kota DC,
namun agak menjauh dari ‘pusat kota’. Adanya di kawasan ‘hitam’, yang banyak
dihuni oleh warga African American. Alamatnya? Wah, lupa nyatet, namun tak jauh dari Capitol Hill kearah timur.
Tak banyak turis atau orang luar DC yang tahu
keberadaan gudang ini. Maklum tempatnya memang menyerupai gudang beneran,
tempat bongkar muat. Gudang ini adalah pusat grosir oleh-oleh. Hanya orang-orang
tertentu saja, semacam Pak Hengki, penghubung kami di USA yang tahu letaknya. Ada
beragam perintilan yang disediakan,
seperti gantungan kunci, tempelan kulkas, pulpen, gelas souvenir, kaos,
aksesoris penghias meja, dan sebagainya. Melihat itu semua, kami seakan kalap. Maklum
harganya yang miring. Sebelumnya kami telah survey harga. Perintilan yang ada
di Gudang banyak di jajakan di toko bermobil, di pinggiran jalan di tengah
kota, seperti di dekat objek-obyek wisata (monument Washington, Monument Hall,
dsk) namun harga yang mereka tawarkan rada mahalan. satu item rata-rata 1 (satu)
dollar. Nah, kalau di gudang ini
harganya bandrolan. Harganya di hitung per kantong atau bisa juga per lusin.
Rata-rata 10 item bisa kena 6 dollar, tergantung pinter-pinternya kita menawar.
Setelah urusan oleh-oleh yang ‘mainstream’ terpenuhi, kini giliran mencari
oleh-oleh yang rada mahalan. Ya, masak
cuma gantungan kunci. Kan gak
mungkin pergi jauh-jauh ke Amerika hanya beli itu saja. Nah, inilah sulitnya. Meski barang disana bagus-bagus namun made in nya buka made in USA melainkan made in
china.
Diperhentian kota berikutnya, di
Philadelphia, beberapa temanku membeli parfum, baju, tas, sepatu ataupun jaket
musim dingin yang banyak dijual di store dan supermarket disana. Katanya sih murah, ketimbang beli di Indonesia,
sudah begitu, branded pula. Aku tentu
saja tertarik, ingin juga membeli satu atau dua barang sebagai buah tangan.
Namun saat kepengen beli, selalu saja
urung. Ada saja yang kurang sreg. Ya
itu tadi, kebanyakan barang yang ter-display
ber-made in bukan made in USA.
Begitulah, setiap kali tertarik ingin belanja
dan beli sesuatu, yang selalu aku perhatikan pertama kalinya adalah made in nya.
Jangan sampai beli di Amerika namun ber-made in China, ntar disangka belanja di PGC lagi, hehe.. Nah, pas asyik menelisik
label made in tersebut, ada juga ternyata made in Indonesia di USA. Untung gak kebeli. Kan lucu jauh-jauh belanja di Helena, nyatanya barangnya buatan
Solo, Indonesia. grgh grgh..
Selain China, kuperhatikan banyak pula barang-barang
buatan negara dunia ketiga atau negara berkembang, semisal Vietnam, Bangladesh,
Haiti, Honduras, Malaysia, dsb. Jarang sekali barang buatan eropa, meskipun ada
satu dua ber-made in dari negara di kawasan eropa timur.
Kalau temanku sudah mem-voor belanja oleh-oleh di DC dan Philly, hingga kopernya beranak
menjadi satu, penuh dengan buah tangan, aku masih menahan diri, belum belanja
banyak. Dollar masih kusimpan, belum banyak kubelanjakan. Maklum, masih ada
tiga kota tersisa.
Tampaknya siasatku terbukti topcer. Di dua kota terakhir yang kami
sambangi, di Helena, Montana dan Salt Lake City, Utah, barulah aku hamburkan
dollar-ku. Aku banyak shopping lantaran di kedua kota itu barangnya bagus-bagus
dengan harga yang relatif lebih murah ketimbang di kawasan east coast. Di Salt
Lake City misalnya. Ada satu toko dekat dengan hotel Little Amerika, tempat
kami menginap, yang menjual barang-barang kebutuhan hidup mulai dari baju, jas,
jaket, hingga perkakas rumah tangga dengan harga yang sangat murah dan kualitas
yang sangat bagus. Aku banyak membeli aksesoris kecil, kaos, jaket, dan baju
musim dingin.
Begitulah, sampai menjelang kepulanganku,
setelah lebih kurang berada satu bulan di beberapa kota di Amerika Serikat, aku
masih belum juga mendapatkan sesuatu yang unik, khas, dan menarik. Tadinya
kupikir bisa membeli semacam keripik sanjai atau dodol garut. Namun Amerika
bukan Indonesia yang kaya akan dunia kuliner. Jadilah hanya kaos dan gantungan
kunci yang terbeli, sebagai oleh-oleh khas Amerika. Dan, satu lagi, sungguh
sangat susah menemukan merk barang ber-made in USA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar