Senin, 15 Agustus 2016

Menelisik Motif Seseorang Menjadi Warga Negara (Asing) Amerika

Saat menjadi tamu dari Kemeneterian Luar Negeri Amerika Serikat dalam program International Visitor Leadership 2016 (IVLP) Maret silam, aku, dan beberapa peserta lainnya ditemani oleh pendamping yang bertugas sebagai Liason Officer dan penterjemah bagi kami, peserta dari Indonesia. Maklum, tidak semua dari kami yang empat orang ini lancar ber cas cis cus dengan style American English. Menyadari bahwa program ini sangat penting bagi transfer pengetahuan dan menjalin mutual understanding diantara kedua anak bangsa, Indonesia dan warga Amerika, pihak Kemenlu USA tampaknya tidak mau mengambil resiko. Dan, supaya program berjalan efektif dan lancar, mereka pun menyediakan dua orang penterjemah untuk kami.

Kedua penterjemah kami telah lama tinggal dan menetap di Amerika. Lancar berbicara bahasa Indonesia dan Inggris. Wanita (WNI) bersuamikan WN Amerika, dan seorang lagi, pria, ber-WN- Amerika. Keduanya adalah orang aseli Indonesia. Dikatakan asli karena keduanya sejak lahir, kecil dan tumbuh remaja tinggal di Indonesia, berdarah Indonesia, ditambah berayah dan ibu Indonesia. Namun, dalam perjalanannya suratan nasib lah yang membuat keduanya mempunyai WN yang berbeda.

Nah, saat senggang diwaktu break kegiatan, iseng-iseng aku coba menelisik kisah ‘kepindahan’ pendampingku, sebut saja namanya Jonny, dari WNI ke WN Amerika. “Pak Jon, kenapa sih milih jadi WN Amerika? Selidikku.
(jawabannya kurang lebih dalam redaksi yang bebas seperti ini) “Saya itu orangnya gak suka ribet Mas Rachmat. Coba bayangkan, saya dan keluarga tinggal disini (USA), mencari nafkah dan bekerja disini. Hampir dibilang jarang sekali kami pulang ke Indonesia. Bahkan pernah, saking jarangnya, selama 5 tahun itu paspor Indonsia saya nyaris bersih dari cap imigrasi Indonesia. Parahnya, meski saya jarang ke Indonesia atau bepergian ke lauar dari Amerika, namun saya harus memperpanjang passport itu 5 (lima) tahun sekali. Dan itu sangat menyita waktu saya. Bayangkan saja, saya tinggal di California, untuk mengurus urusan keimigrasian (passport), saya harus terbang ke kedutaan di Washington DC. Butuh waktu 4 jam terbang, sudah itu ditambah pula dengan keruwetan birokrasi khas Indonesia. Jadi ya, saya memutuskan pindah jadi WN Amerika agar PRAKTIS saja.” Ujarnya.

Kemudian dia menceritakan padaku tentang proses seseorang mendapatkan kewarganegaraan Amerika. Kebanyakan dari mereka (WNI atau WN luar Amerika yang melamar menjadi WN Amerika) sebelumnya telah mendapatan status Permanent Resident atau PR. PR adalah semacam pintu masuk untuk menjadi WN Amerika. “Saya pun juga demikian, Mas Rachmat”, ujarnya. Lalu ia kembali menjelaskan bahwa sebenarnya status PR dengan WN Amerika lainnya kedudukannya hampir tak ada beda. Semua hak dan kewajiban hukum yang melekat bagi seorang PR dan Warga Negara Amerika lainnya sama. Perbedaanya hanya pada urusan politik saja yakni WN Amerika boleh nyoblos Pemilu. Mereka boleh ikut election, pemilihan presiden Amerika, Hanya itu, tak lebih.

Nah, di lain waktu, pendampingku yang seorang lagi sebut saja namanya Wati, karena ia menikah dengan WN Amerika, maka ia telah mendapatkan PR. Ia pernah ‘curhat’ padaku, “Mas Rachmat, enaknya gimana ya, apakah aku apply jadi WN Amerika atau tetap dengan status ini. Toh aku juga jarang sekali ke Indonesia. Hidupku lebih banyak disisni, di Amerika.”
Dengan bijak aku kasih pandangan. “Mbak Wati, kata Pak Jonny, PR itu kan gak beda dengan WN Amerika. Mempunyai hak dan kedudukan yang sama di mata hukum. Nah, buat apa pula ngelamar jadi WN Amerika. Toh dengan masih memiliki passport hijau Indonesia, mbak punya keterikatan batin dengan Indonesia, disamping itu kalau suatu saat mbak berencana ‘pensiun’ dan menghabiskan masa tua di tanah air, mbak bisa beli tanah dan rumah di Indonesia. Kalau tak salah kan kepemilikan tanah untuk WN Asing dilarang di Indonesia.” Begitu kira-kira advisku. “Iya juga mas”. Ujarnya menutup obrolan kami.

Nah, bicara mengenai kasus Arcandra Tahar, Menteri ESDM saat ini, perlu juga ditelisik latar belakang dan motif yang bersangkutan mendapatkan passport Amerika. Dari obrolanku dengan kedua orang pendampingku itu maka dapat diduga bahwa lantaran Arcandra telah lama tinggal dan bekerja di Amerika, tentu ia sebelumnya telah mendapatkan status Permanent Resident (PR)  sebagai syarat untuk ‘meningkatkan status’ nya menjadi WN Amerika.

Lalu apa yang menjadi motif Arcandra melamar jadi WN Amerika. Apakah motif nya sama dengan Pak Jonny itu, karena ribet harus gonta-ganti passport ataukah ada motif lain? Apapun motif dan tujuannya, hanya Tuhan dan Arcandra yang tahu. Namun dari situ kita bisa sedikit menilai jiwa dan semangat patriotisme yang bersangkutan terhadap bangsa dan tanah air Indonesia. Tentu kadar dan bobotnya berbeda dengan Umar Bakrie, guru yang bergaji kecil namun tetap setia dengan pengabdiannya. Nasionalisme Arcandra Tahar juga tak bisa disamakan dengan Ngadinu, tukang becak di Solo yang mengaku pernah menempeleng pemuda rakyat di tahun 1965.

Bicara masalah nasionalisme dan patrotisme, tentu akan panjang dan menyita energy kita. Ahh persetan dengan nasionalisme, ahh masa bodo dengan patriotsime, toh kewarganegaraan tidak ditanyakan malaikat maut saat kita meninggal, misalnya. Ok, aku tidak menyalahkan mereka yang punya pikiran itu, namun aku punya prinsip, bila seseorang telah meng-apply kewarganegaraan asing, bersumpah setia terhadap Negara asing itu, maka yang bersangkutan tentu tak mau ambil pusing dengan apapun yang terjadi di Indonesia. Ia tentu saja lebih concern dengan Negara ‘barunya’ tempat ia mencari makan dan hidup. Tempat dimana ia menghabiskan waktu dan hidupnya. Indonesia? Nanti dulu.


Kenapa aku bisa pada kesimpulan itu karena dengan ia menjadi WN (asing) Amerika, misalnya, maka ia dapat menentukan kebijakan dan arah politik bangsa Amerika dengan ikut pemilu misalnya. Lalu untuk apa pula seseorang bersusah payah menjadi WN (Asing) Amerika bila dengan status PR saja ia sudah mendapatkan segalanya di Amerika. Toh, cukup dengan status PR saja, kewarganegaran Indonesia-nya tak kan hilang. Lalu dimana letak kepeduliannya terhadap Indonesa bila –mungkin- saja ia tidak memilih presiden Indonesia, karena paspornya otomatis hangus akibat kebijakan dari UU Nonor 12/2016. Namun, terlepas dari apapun motif dan tujuannya, dimataku bagi seseorang yang sudah (pernah) menjadi WN Asing, tentu tak lah elok untuk dilibatkan membicarakan nasib dan masa depan (kemajuan) Indonesia kedepan. 

Selasa, 02 Agustus 2016

Patokan yang Pernah Melegenda di Jakarta

Saya masih ingat, saat kecil bila ingin pergi ke rumah teman atau kerabat di kawasan Ciganjur, mesti akan dikasih clue oleh tuan rumah, “dari Herman Soesilo belok kiri.“ atau “sebelum Herman Soesilo ada gang, kanan pertama, namanya Gang Manggis.” Begitulah petunjuk yang diberikan. Ya, Herman menjadi patokan.

Bagi anak yang lahir tahun 90-an keatas, mungkin rada asing atau tak terlalu kenal dengan nama dan sosok Herman Soesilo. Siapa dia? Saya akan me-refresh ingatan kita akan dokter berkaca mata yang pernah popular pada tahun 80-an. Beliau adalah bekas Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Beliau terkenal lantaran wajahnya sering terlihat pada acara-acara kesehatan di TVRI, satu-satunya stasiun televisi pada masa itu. Ok, Saya tidak akan membahas tentang sosok Herman Soesilo, namun saking populernya nama tersebut, ia atau lebih tepatnya rumah kediamannya di tetapkan sebagai patokan dan rujukan bagi penduduk di kawasan sekitar Ciganjur. Maklum, dokter ini tinggal di ujung Jalan Kahfi I (sekarang posisinya dekat dengan taman Tabebuya). Kenapa (rumah) Dokter Herman bisa jadi patokan. Ya, mungkin saat itu tidak ada tempat atau icon yang menjadi penanda kawasan Ciganjur.

Bila kita berkendara dari arah Blok M menuju ke kawasan Ragunan, tentu bias melawati Jalan Kemang Raya sebagai akses terdekat ke sana. Waktu tahun 80-an yang menjadi icon dan perlambang kawasan Kemang adalah: Kem-Chick, Hotel Kemang, LPPI (sekarang IBI) dan Pom Bensin, di ujung jalan arah ke Ampera. Ya, hanya empat tempat itu, tak ada yang lain. Maklum, belum ada bangunan atau gedung fenomenal yang dapat dijadikan rujukan dan tanda. Saat itu, sepanjang Jalan Kemang hanya ada perumahan penduduk di kiri kanannya, dengan beberapa kavling tanah kosong yang belum dibangun yang akhirnya hanya berupa kumpulan ilalang tempat tumbuhnya rumput-rumput liar.

Sama dengan Kemang, di sepanjang Jalan Sudirman pun, awal tahun 80-an rada sulit juga kita menentukan patokan berdiri. Saat itu yang masih kuingat, sewaktu usiaku masih sekolah dasar hanya ada showroom Toyota di kanan jalan arah ke Dukuh Atas. Showroom ini bukanlah gedung bertingkat seperti banyak dijumpai di kiri kanan Jalan Sudirman, namun hanya bangunan 2 (dua lantai). Bila dari arah Kebayoran Baru, maka gedung Summitmas akan menjadi pertanda. Ini adalah gedung bertingkat pertama yang akan dijumpai di sebelah kanan jalan. 

Di kawasan Cilandak pun demikian adanya. Komplek Marinir di Cilandak menjadi rujukan bagi siapapun yang hendak menuju dari dan ke Cilandak/Ragunan. Beringsut ke utara, ke kawasan Jalan Sahardjo dan sekitarnya, dulunya ada (nama) Jembatan Merah. Kondektur Bus PPD 105 (?) tujuan Manggarai - Blok M sering meneriakan kata “merah-merah’. Posisinya sendiri sebelum Jalan Barkah, berada di sebelah kiri arah ke Manggarai. Oh ya, di namakan Jalan Barkah, lantaran jalan ini adalah jalan masuk ke Masjid Al Barkah. Sekira 800 meteran ada masjid dan Perguruan Islam As-Syafiiyyah, milik ulama legendaris KH. Abdullah Syafi’e.

Demikian adanya, tiap-tiap kawasan di Jakarta mempunyai tempat atau nama sebagai clue atau penanda patokan arah. Patokan itu sendiri bisa berupa kediaman rumah tokoh terkenal, tempat legendaris, ataupun kantor/instansi yang besar. Tentu patokan ini sangat membatu di zaman yang belum ada aplikasi google map. Terlebih, saat itu sangat sedikit bangunan dan gedung besar yang dapat dijadikan rujukan bagi seseorang yang baru tiba atau sampai di lokasi itu.

Begitulah warna warni dalam menentukan patokan dan arah di tahun 80-an, Kini, meski beberapa ‘situs’ masih tetap berdiri, namun ada pula yang hilang atau terlupakan lantaran sudah jarang disebut atau diperbincangkan. Tak hanya itu, tragisnya beberapa bangunan dan tempat bahkan sudah digusur dan diganti fungsinya.


Zaman boleh berubah, pembangunan boleh lanjut, namun tidaklah elok bila ‘situs-situs; yang ada di Jakarta itu tergusur. Harus ada kesadaran kolektif untuk melestarikan peninggalan masa lalu sebagai penanda atau legacy (pengingat) bahwa disitu atau di kawasan itu pernah –dulunya- terkenal dengan sebutan dan menjadi penanda kawasan, bahwa dimasanya tempat atau bangunan itu pernah berjaya dan menjadi patokan atau rujukan untuk orang-orang sekitarnya. Kita berharap generasi sekarang masih ingat dimana Rumah Herman Soesilo, dimana Kem-Chick dan dimana posisi Jembatan Merah, semoga.