Saat
menjadi tamu dari Kemeneterian Luar Negeri Amerika Serikat dalam program
International Visitor Leadership 2016 (IVLP) Maret silam, aku, dan beberapa
peserta lainnya ditemani oleh pendamping yang bertugas sebagai Liason Officer dan
penterjemah bagi kami, peserta dari Indonesia. Maklum, tidak semua dari kami yang
empat orang ini lancar ber cas cis cus dengan style American English. Menyadari
bahwa program ini sangat penting bagi transfer pengetahuan dan menjalin mutual understanding diantara kedua anak
bangsa, Indonesia dan warga Amerika, pihak Kemenlu USA tampaknya tidak mau
mengambil resiko. Dan, supaya program berjalan efektif dan lancar, mereka pun
menyediakan dua orang penterjemah untuk kami.
Kedua
penterjemah kami telah lama tinggal dan menetap di Amerika. Lancar berbicara
bahasa Indonesia dan Inggris. Wanita (WNI) bersuamikan WN Amerika, dan seorang
lagi, pria, ber-WN- Amerika. Keduanya adalah orang aseli Indonesia. Dikatakan
asli karena keduanya sejak lahir, kecil dan tumbuh remaja tinggal di Indonesia,
berdarah Indonesia, ditambah berayah dan ibu Indonesia. Namun, dalam perjalanannya
suratan nasib lah yang membuat
keduanya mempunyai WN yang berbeda.
Nah,
saat senggang diwaktu break kegiatan, iseng-iseng aku coba menelisik kisah ‘kepindahan’
pendampingku, sebut saja namanya Jonny, dari WNI ke WN Amerika. “Pak Jon,
kenapa sih milih jadi WN Amerika? Selidikku.
(jawabannya
kurang lebih dalam redaksi yang bebas seperti ini) “Saya itu orangnya gak suka ribet Mas Rachmat. Coba
bayangkan, saya dan keluarga tinggal disini (USA), mencari nafkah dan bekerja
disini. Hampir dibilang jarang sekali kami pulang ke Indonesia. Bahkan pernah,
saking jarangnya, selama 5 tahun itu paspor Indonsia saya nyaris bersih dari
cap imigrasi Indonesia. Parahnya, meski saya jarang ke Indonesia atau bepergian
ke lauar dari Amerika, namun saya harus memperpanjang passport itu 5 (lima)
tahun sekali. Dan itu sangat menyita waktu saya. Bayangkan saja, saya tinggal
di California, untuk mengurus urusan keimigrasian (passport), saya harus
terbang ke kedutaan di Washington DC. Butuh waktu 4 jam terbang, sudah itu ditambah
pula dengan keruwetan birokrasi khas Indonesia. Jadi ya, saya memutuskan pindah
jadi WN Amerika agar PRAKTIS saja.” Ujarnya.
Kemudian
dia menceritakan padaku tentang proses seseorang mendapatkan kewarganegaraan Amerika.
Kebanyakan dari mereka (WNI atau WN luar Amerika yang melamar menjadi WN
Amerika) sebelumnya telah mendapatan status Permanent Resident atau PR. PR
adalah semacam pintu masuk untuk menjadi WN Amerika. “Saya pun juga demikian,
Mas Rachmat”, ujarnya. Lalu ia kembali menjelaskan bahwa sebenarnya status PR
dengan WN Amerika lainnya kedudukannya hampir tak ada beda. Semua hak dan
kewajiban hukum yang melekat bagi seorang PR dan Warga Negara Amerika lainnya
sama. Perbedaanya hanya pada urusan politik saja yakni WN Amerika boleh nyoblos Pemilu. Mereka boleh ikut election, pemilihan presiden Amerika, Hanya
itu, tak lebih.
Nah,
di lain waktu, pendampingku yang seorang lagi sebut saja namanya Wati, karena
ia menikah dengan WN Amerika, maka ia telah mendapatkan PR. Ia pernah ‘curhat’
padaku, “Mas Rachmat, enaknya gimana ya,
apakah aku apply jadi WN Amerika atau
tetap dengan status ini. Toh aku juga jarang sekali ke Indonesia. Hidupku lebih
banyak disisni, di Amerika.”
Dengan
bijak aku kasih pandangan. “Mbak Wati, kata Pak Jonny, PR itu kan gak beda dengan WN Amerika. Mempunyai hak
dan kedudukan yang sama di mata hukum. Nah, buat apa pula ngelamar jadi WN Amerika. Toh dengan masih memiliki passport hijau Indonesia,
mbak punya keterikatan batin dengan Indonesia, disamping itu kalau suatu saat
mbak berencana ‘pensiun’ dan menghabiskan masa tua di tanah air, mbak bisa beli
tanah dan rumah di Indonesia. Kalau tak salah kan kepemilikan tanah untuk WN
Asing dilarang di Indonesia.” Begitu kira-kira advisku. “Iya juga mas”. Ujarnya
menutup obrolan kami.
Nah,
bicara mengenai kasus Arcandra Tahar, Menteri ESDM saat ini, perlu juga
ditelisik latar belakang dan motif yang bersangkutan mendapatkan passport Amerika.
Dari obrolanku dengan kedua orang pendampingku itu maka dapat diduga bahwa
lantaran Arcandra telah lama tinggal dan bekerja di Amerika, tentu ia
sebelumnya telah mendapatkan status Permanent Resident (PR) sebagai syarat untuk ‘meningkatkan status’ nya
menjadi WN Amerika.
Lalu
apa yang menjadi motif Arcandra melamar jadi WN Amerika. Apakah motif nya sama
dengan Pak Jonny itu, karena ribet harus gonta-ganti passport ataukah ada motif
lain? Apapun motif dan tujuannya, hanya Tuhan dan Arcandra yang tahu. Namun
dari situ kita bisa sedikit menilai jiwa dan semangat patriotisme yang bersangkutan
terhadap bangsa dan tanah air Indonesia. Tentu kadar dan bobotnya berbeda
dengan Umar Bakrie, guru yang bergaji kecil namun tetap setia dengan
pengabdiannya. Nasionalisme Arcandra Tahar juga tak bisa disamakan dengan
Ngadinu, tukang becak di Solo yang mengaku pernah menempeleng pemuda rakyat di
tahun 1965.
Bicara
masalah nasionalisme dan patrotisme, tentu akan panjang dan menyita energy kita.
Ahh persetan dengan nasionalisme, ahh masa bodo dengan patriotsime, toh
kewarganegaraan tidak ditanyakan malaikat maut saat kita meninggal, misalnya. Ok,
aku tidak menyalahkan mereka yang punya pikiran itu, namun aku punya prinsip,
bila seseorang telah meng-apply
kewarganegaraan asing, bersumpah setia terhadap Negara asing itu, maka yang
bersangkutan tentu tak mau ambil pusing dengan apapun yang terjadi di
Indonesia. Ia tentu saja lebih concern
dengan Negara ‘barunya’ tempat ia mencari makan dan hidup. Tempat dimana ia
menghabiskan waktu dan hidupnya. Indonesia? Nanti dulu.
Kenapa
aku bisa pada kesimpulan itu karena dengan ia menjadi WN (asing) Amerika,
misalnya, maka ia dapat menentukan kebijakan dan arah politik bangsa Amerika dengan
ikut pemilu misalnya. Lalu untuk apa pula seseorang bersusah payah menjadi WN (Asing)
Amerika bila dengan status PR saja ia sudah mendapatkan segalanya di Amerika.
Toh, cukup dengan status PR saja, kewarganegaran Indonesia-nya tak kan hilang. Lalu
dimana letak kepeduliannya terhadap Indonesa bila –mungkin- saja ia tidak
memilih presiden Indonesia, karena paspornya otomatis hangus akibat kebijakan
dari UU Nonor 12/2016. Namun, terlepas dari apapun motif dan tujuannya,
dimataku bagi seseorang yang sudah (pernah) menjadi WN Asing, tentu tak lah
elok untuk dilibatkan membicarakan nasib dan masa depan (kemajuan) Indonesia
kedepan.