Minggu, 30 Juli 2017

Mewujudkan Perpustakaan Ramah Anak di DKI Jakarta

Selama saya mengunjungi perpustakaan, hampir dapat dipastikan bahwa sebagaian besar pengunjung perpustakaan adalah para mahasiswa/pelajar ataupun para kaum ‘jomblo’ yang mengisi waktunya dengan membaca. Jarang saya jumpai di dalamnya ibu-ibu atau istilah ngetrend-nya “Mahmud” atawa mamah muda, misalnya, yang mengisi hari-harinya sembari mengampu anaknya di perpustakaan.

Lalu, apakah fungsi perpustakaan diperuntukkan hanya untuk para dosen peneliti, mahasiswa/pelajar atau kaum ‘pengangguran’ terdidik dimana mereka mempunyai banyak waktu untuk membaca? Rasanya terlalu sayang bila gedung mewah nan megah perpustakaan dibangun dan berfungsi hanya untuk mereka semata.

Disatu sisi, kebiasaan membaca belum tertanam secara kokoh dalam budaya masyarakat Indonesia. Anak-anak kita lebih asyik ber-gadget ketimbang memegang buku. Agak sulit menanamkan kepada mereka agar menjadikan buku sebagai teman, dan membaca sebagai sebuah hobby yang mengasyikkan. Karena, bila membaca sudah menjadi hobby, maka buku apapun yang ada di rumah pasti dibacanya. 

Sayangnya, tidak semua referensi dan sumber bacaan dapat ditemukan di rumah maupun di sekolah, melainkan hanya ada di perpustakaan. Perpustakaan dengan beragam koleksi buku adalah tempat yang tepat untuk ‘berselanjar’ menambah pengetahuan kita. Lalu bagaimana kita mengenalkan kepada anak-anak tentang perpustakaan sebagai pusat dari beragam buku dan informasi yang tersedia?

Kendala yang sering kita hadapi adalah bagaimana kita menumbuhkan kebiasaan ‘main’ ke perpustakaan (atau bisa juga toko buku), bila untuk pergi ke perpustakaan saja anak-anak enggan atau merasa tak nyaman. Perpustakaan bagi mereka bisa jadi tempat yang membosankan.  Perpustakaan tak ubahnya hanya tempat bagi para ‘pemikir’ dan orang-orang ‘aneh’ yang sedang serius membaca. Ia bukanlah tempat yang asik untuk bermain dan bersenda gurau. Sudah terbayang dalam pikiran mereka bahwa di perpustakaan tidak boleh berisik, tidak boleh ribut, harus tenang, dan segala gambaraan keseriusan lainnya.

Definisi perpustakaan itu sendiri adalah mencakup suatu ruangan, bagian dari gedung/bangunan atau gedung tersendiri yang berisi buku-buku koleksi, yang diatur dan disusun demikian rupa, sehingga mudah untuk dicari dan dipergunakan apabila sewaktu-waktu diperlukan oleh pembaca (Sutarno NS, 2006:11). Bila merujuk pada definisi tersebut, inilah model perpustakaan jadul dan kuno yang sering dan banyak kita jumpai, dimana perpustakaan hanya berisi kumpulan rak-rak buku dengan meja dan kursi baca. Sebaiknya, lebih dari itu. Perlu ada revolusi dalam konsep penataan perpustakaan agar perpustakaan dapat dinikmati oleh beragam kalangan dari beragam usia, mulai anak-anak hingga manula. Ini merupakan tantangan dan peluang bagi para insan pustakawan untuk men-create suatu perpustakaan yang disukai oleh anak. Men-design perpustakaan yang ramah untuk anak.

Seperti yang saya uraikan dimuka, bagi sebagian kalangan, utamanya para ibu rumah tangga yang mempunyai balita, waktu dan kesempatan untuk membaca sangatlah sulit didapatkan. Jangankan jalan-jalan ke toko buku (perpustakaan), untuk membaca saja tak ada waktu bagi merekamembaca. Tidak mungkin seorang ibu meninggalkan anaknya di rumah hanya untuk pergi ke perpustakaan. Bila ia membawa dan mengajak serta anaknya ke perpustakaan, di jamin si anak hanya akan tenang selama 5 menit. Selanjutnya tentu mereka akan uring-uringan, tidak nyaman dan merengek minta keluar untuk bermain. Dunia anak adalah dunia bermain. Tumbuh dan kembang mereka diwarnai dengan keceriaan, kebahagiaan dalam suasana permainan.

Lalu bagaimana agar perpustakaan itu ramah bagi anak? Alangkah idealnya bila di perpustakaan itu disediakan space dan ruang baca sekaligus ruang bermain bagi anak. Disamping orang tua dapat tenang membaca, anak anak mereka pun dapat bermain sekaligus belajar. Mereka dapat melihat gambar-gambar menarik dalam buku dan (jika bisa) membaca isi buku.

Bagi saya, Perpustakaan Ramah Anak (PRA) adalah suatu perpaduan konsep yang menempatkan anak pada subjek dan mengarahkan anak pada budaya dan kebiasaan membaca. Ada dua keuntungan yang didapat dari penerapan konsep perpustakaan ramah anak; yang pertama adalah anak dapat bermain di perpustakaan itu berpadu dengan (aktivitas) orang tua yang membaca dan berinteraksi secara aktif dengan anak; dan kedua adalah penyediaan bahan-bahan bacaan yang ramah anak dan sesuai dengan usia anak.

Di dalam PRA ini, selain anak dapat bermain dengan aneka permainan edukatif yang tersedia seperti: Lego; Susun Balok; dan sebagainya; Anak juga dapat menikmati bacaan atau melihat gambar-gambar menarik yang dapat meningkatkan fungsi kognitif anak. Informasi-informasi pengetahuan (buku) bergambar dan warna-warna yang mereka sukai harus tersedia di PRA.

Selain itu harus tersedia pula berbagai macam bahan dan sumber pengetahuan bagi orang tua dalam mendidik anak-anaknya, seperti: Bagaimana menerapkan disiplin pada anak; Bagaimana membiasakan hidup bersih pada anak; dsb. Buku-buku tentang pola dan cara pengasuhan anak menjadi bacaan yang pastinya disukai oleh para orangtua. Dengan demikian selagi mereka menemani anak-anaknya ke PRA, mereka juga dapat menggali dan mencari pengetahuan tentang tumbuh kembang anak.

Disamping itu PRA harus juga berisi tentang buku-buku bacaan anak yang edukatif dan informatif. Dari buku-buku itu, para orang tua pun dapat membacakan dongeng kepada anaknya. Keragaman koleksi dan kelengkapan PRA juga dilengkapi pula dengan APE atau Alat Permiana Edukatif dan ruang bermain anak. Di sudut PRA dapat diletakkan seperangkat permainan anak yang lazim dijumpai pada permainan outdoor seperti perosotan, ayunan, dan sebagainya.

Selain itu yang tak kalah pentingnya adalah penataan ruang dan fasilitas penunjang harus mencerminkan suatu model penataan yang ramah anak. Pemilihan wall paper dan cat dinding yang dekat dengan dunia anak (gambar winny the poh) misalnya, patut diperhatikan.


Lantas adakah contoh Perpustakaan yang ideal bagi semua kalangan seperti uraian saya diatas? Ada. Perpustakaan yang dikelola oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi DKI Jakarta yang berlokasi di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, misalnya layak diacungi jempol lantaran telah membuat konsep penataan perpustakaan yang ramah bagi semua kalangan, utamanya anak-anak. Jika Anda ada waktu senggang, cobalah ajak buah hati anda bermain dan berekreasi sekaligus belajar disana. Nah, bila konsep ini dapat diaplikasikan pada seluruh perpustakaan yang ada, niscaya anak-anak akan merasa akrab dengan perpustakaan yang pada gilirannya, budaya dan kebiasaan membaca dapat ditumbuhkan sejak usia dini. 

Jumat, 07 Juli 2017

Jangankan Jam Tangan, Sepatu Pun Harus Dilepas

@Helena Airport
Menarik juga mencermati kisah dimana ada istri pejabat yang marah hingga menampar petugas Aviation Security (Avsec) di Bandara. Rada geli juga membaca kisahnya, kok bisa-bisanya penumpang pesawat menampar petugas Avsec. Adakah yang salah dalam prosedur pemeriksaan di bandara di Indonesia? Atau bisa jadi yang bersangkutan kurang ‘piknik’ sehingga berlaku arogan di bandara. Well, Lantaran sudah sering ‘piknik’, aku ingin berbagi pengalaman tentang prosedur pemeriksaan penumpang pesawat terbang di bandara-bandara di Amerika Serikat. Semoga cerita ini menjadi bahan refleksi kita.

@Ronald Reagen Washington DC Airport
Setelah peristiwa 9/11 tampaknya untuk masalah keamanan di bandara-bandara di Amerika Serikat menjadi hal yang sangat prioritas untuk diperhatikan. Meski kejadian itu telah lama berlalu, namun kelengahan sedikit saja, tak bisa ditolerir. Di Bandara Helena, Negara bagian Montana, misalnya, meski bandara ini relatif kecil dan bukan bandara utama, namun untuk prosedur keamanannya tak beda dengan bandara-bandara besar lainnya di negeri Paman Sam. Di dekat ruang pemeriksaan, pas pintu masuk tertulis quote warning atau poster peringatan  bagi para petugas Avsec untuk tidak mengendorkan kewaspadaan dan ketelitiannya sedikit pun dalam memeriksa setiap penungpang. Di poster itu tertulis dengan jelas, “we never forget 9/11”. Sayangnya aku tak diperkenankan mengambil tulisan yang menarik itu.

Begitulah, setiap kali ke bandara untuk bepergian ke kota-kota lainnya di Amerika, aku diminta oleh pendampingku untuk datang lebih awal. Meski jadwal penerbangan tertera pukul 11 misalnya, kita harus sudah tiba di bandara sekitar pukul 09.30. Ada spare waktu sekitar 30 menit untuk menjalani pemeriksaan fisik dan barang bawaan sebelum kita dinyatakan clear and clean untuk naik pesawat.

@St. Louis Airport
Begitu tiba di bandara, setelah urusan (di counter maskapai) tiket penerbangan beres, maka kita akan memasuki antrian untuk menuju (mesin) bilik tembus pandang yang akan memeriksa secara laser seluruh tubuh kita. Nah, saat menunggu masuk ke bilik itu, secara random petugas akan memeriksa kita dengan mengoleskan sejenis cairan khusus, bentuknya seperti tisu basah. Tisu basah itu dioleskan ke tubuh atau ke (tas jinjing) barang bawaan kita. Disamping itu, ada juga beberapa petugas yang hilir mudik dengan anjing pelacaknya. Anjing terlatih itu tak henti-hentinya mengendusi seluruh penumpang. Dengan pelatihnya, si anjing berjalan hilir mudik menyela antrian. Aku, entah mengapa, mungkin lantaran tampangku yang rada kriminal selalu dapet olesan ‘tisu basah’ tersebut.

Lepas dari pemeriksaan pertama ini, barulah kita memasuki bilik (tembus pandang) pemeriksaan. Sebelum masuk, kita harus melepaskan seluruh benda logam yang melakat pada tubuh kita, sepeti gesper, cincin, jam tangan, dompet, bahkan hingga sepatu. Semuanya dimasukkan dan dikumpulkan dalam satu wadah/tempat. Karena banyaknya barang yang harus ditanggalkan, maka setiap penumpang memerlukan minimal dua wadah untuk menaruh barang-barangnya. Praktis hanya baju, celana, dan kaos kaki saja yang melekat dibadan. Tak lebih. Saat memasuki bilik itu, kaki harus dalam posisi terentang, dan tangan diangkat ke atas. Setelah dirasa pada posisi pas, mulailah sejenis sinar tak terlihat ‘menembak’ tubuh kita, memastikan bahwa tubuh kita clear. Lepas dari bilik itu, kita keluar untuk mengambil dan mengemasi kembali barang-barang yang tadi kita tanggalkan dan tertaruh di wadahnya.

Just landed in DC
Nah, keruwetan saat pemeriksaan bertambah lagi bila kita membawa laptop atau tas jinjing yang tak dimasukkan ke dalam bagasi pesawat. Akan butuh waktu extra bila Si pemeriksa, melalui mesin ‘kotak pemeriksa’-nya menemukan ‘sesuatu’ yang mencurigakan. Si petugas akan meminta konfirmasi ke kita tentang temuan yang mereka dapatkan. Disinilah proses ‘interogasi’ berlangsung. Apa barang itu? Untuk apa? Kenapa dibawa? dan pertanyaan menyelidik yang mesti kita jawab dengan clear dan tampang menyakinkan. Jika lolos maka kita akan mengepak-nya kembali, namun jika tidak, inilah masalahnya. Keberangkatan kita akan sedikit terhambat. Butuh waktu yang tak sebentar untuk membuat barang-barang yang kita bawa dapat status clear and clean.

Dan, inilah yang terjadi padaku. Jauh sebelumnya aku sudah diwanti-wanti bahwa setiap barang atau cairan dilarang dibawa ke dalam bagasi pesawat. Rules itu aku patuhi dan camkan benar-benar. Namun sayangnya, lantaran sering kali bongkar pasang koper dan re-packing karena harus pindah-pindah kota (states), maka terlewatlah sebuah botol kecil, masuk ke tas besar. Ya, biasanya aku tak pernah lupa memasukan odol, parfum, deterjen ataupun sejenis barang cairan lainnya, termasuk obat-obatan pribadi ke dalam koper besar. Lha kok bisa ada satu barang yang luput masuk ke koper besar itu. Ingatnya pas saat koper besar sudah masuk ke jalur bagasi.

Aku baru menyadari ada sesuatu yang salah pas aku membuka resleting tas kecil untuk mengambil paspor. Oalah, ternyata ada botol kecil madu terselip didalamnya. “Wah gimana ini?” batinku. Padahal biasanya botol kecil isi madu itu ada di koper besar. “Ah, abaikan saja, semoga saja lolos,” batinku.

Aku sengaja membawa madu ke Amerika lantaran madu itu bukan sembarang madu. Itu adalah madu “Wadi Bin Ali”, madu obat. Sangat manjur tatkala badan kurang fit dan kondisi tubuh lemah. Aku bawa ini lantaran badanku memang ringkih. Gampang masuk angin. Madu ini semacam ‘jimat’ bagiku sebagai bekal (obat) kepergianku ke Amerika. Makanya, pas ada madu di tas kecil itu, kaget juga aku. Aku khawatir madu ini akan jadi masalah lantaran tergolong benda cair.

Saat pemeriksaan fisik (di bilik tembus pandang) aku lalui dengan lancar, maka tibalah saat mengambil barang-barangku yang telah masuk melalui mesin pemeriksaan yang terpisah. Ternyata tas kecilku belum keluar juga dari mesin pemeriksa. Di computer kulihat petugas meneliti dengan seksama isi tasku. Tampaknya ia tahu bahwa ada botol atau cairan dalam tas itu. Kekhawatiranku terbukti. Sejurus kemudian, petugas itu memerintahkan temannya untuk mengambil tas kecilku untuk dilakukan pemeriksaan (fisik) langsung. Nah, kejadian juga akhirnya, batinku. Oleh petugas madu itu ditemukan, dan diambilnya. Dengan setengah berteriak, petugas itu berkata, punya siapa tas ini? Mengacunglah aku. Lalu proses interogasi-pun dimulai. Ditanya olehnya, barang (botol) apa ini? Dengan sedikit gugup kujelaskan bahwa botol itu adalah obat. “Hi, Buddy, It’s only honey, like jelly, no water,” terangku padanya. Meski aku menjelaskan bahwa botol kecil itu bukan sembarang cairan, namun ia tetap pada aturan bahwa sesuatu yang bersifat cair, meskipun itu madu, tidak boleh lolos ke dalam pesawat. Jiahhh kejadian juga deh.

Aku masih berharap madu itu akan lolos. Aku hubungi pendampingku yang telah menunggu diluar area pemeriksaan. Aku terangkan padanya bahwa barangku ada yang disita. Aku berharap ia, dengan passport USA-nya, dapat meminta keringanan ke petugas supaya maduku lolos. Pendampingku sendiri sudah yakin usahanya akan sia-sia, namun karena aku memaksa, dicobanya juga untuk meloby petugas itu.  Ia coba menerangkan ke petugas bahwa cairan itu just honey, dan untuk obat!! Namun tetap aja si petugas Avsec tak meloloskannya. Ia ku-nilai saklek menerapkan aturan, atau memang demikianlah SOP-nya.

Dengan perasaan berat hati, akhirnya kurelakan Wadi Bin Ali-ku direngut secara paksa oleh aturan. Ya, petugas hanya menjalankan aturan, akulah yang ceroboh. Hanya kepasrahan saja yang ada. Pasrah sekaligus mangkel dan kesal. Untungnya sisa hariku di Amerika hanya tinggal sepekan saja, sehingga ketiadaan madu itu tidak mempengaruhi kondisi fisikkku.


Akhirnya, disetiap pemeriksaan berikutnya dengan sangat teliti kuperiksa tas kecilku, jangan sampai terjadi ada botol kecap atau saos masuk ke tas itu. Untung hanya madu, coba kalau parfum dengan merk terkenal nan mahal. Bisa nangis bombay lantaran harus di buang, hehe..