Dari
kedelepan anaknya, entah mengapa Wak Amin menaruh perhatian yang besar pada sepupuku
ini untuk meneruskan cita-cita keluarganya. Padahal, dari kedelapan anaknya,
boleh dikata ia yang paling ringkih. Ampegan, kalau kata orang Betawi. Ya, Wak
Amin berharap minimal ada satu orang anaknya yang menekuni agama, tidak melulu
belajar di sekolah umum, menjadi insinyur, dokter atau ekonom, seperti
anak-anak muda pada masa itu. Aku sendiri heran mengapa bukan kedua abangnya
yang lain, yang di-endorse Wak Amin
untuk belajar agama. I don’t know,
hanya Wak Amin dan Tuhan yang tahu. Dan pilihannya jatuh pada sepupuku ini.
Bila
Wak Amin main ke rumah dan ngobrol dengan ayahku, memang ia yang selalu
dibangga-banggakannya agar bisa menjadi kyai besar. Ia sangat diharap-harapkan menjadi
ulama penerus perjuangan ayahnya yang memang sangat cinta pada ulama dan habaib.
Selain Salamah, kakaknya yang perempuan, hanya ia anak lelaki yang di-pesantrenin.
Usia
kami terpaut satu tahun. Diantara sepupuku semasa kecil, aku relatif dekat dengannya.
Memang, ada beberapa sepupuku lainnya yang umurnya sebaya denganku. Herman dan
Dedy, misalnya, --keduanya anak Wak Munah, kakak Ibuku—namun mereka jarang main
denganku. Maklum, rumahnya jauh, nyebrang
jalan pula. Wajar, bila aku tak dekat dengan keduanya saat kecil.
Walhasil,
lantaran rumahku dan rumahnya tak terlalu jauh ketimbang rumah Herman dan
Deddy, aku dan dia sering main bareng. Bila musim liburan sekolah tiba, hampir saban
hari kami main bersama. Beragam permainan yang sedang nge-trend dan nge-hits
kami mainkan bersama. Main gambaran, perang-perangan, ataupun kelereng. Beranjak
usia, mainan kami pun meningkat, biasanya kami main catur, badminton dan tenis meja.
Kebetulan ada tenis meja yang ditempatkan di samping rumah Wak Amin, yang juga
berfungsi sebagai garasi mobil kijang bak terbukanya.
Kalau
hari biasa, aku ke rumahnya hanya di hari minggu. Maklum meski sekolah kami
sama, yakni di JIS (Ji Sami’un School), namun ia masuk sekolah di siang hari,
sedang aku paginya. Bisa dipastikan saban hari minggu dari pagi sampai menjelang
maghrib aku pasti berada disisinya. Di sekolah, boleh dibilang ia murid terpandai.
Terpandai dalam arti diatas rata-rata anak-anak Kampung Kebon. Rangking 1 atau
2 tak sulit ia peroleh lantaran berotak encer. “Tak aneh, lha ayahnya kan punya peternakan sapi. Saban hari minum susu sapi.
Wajar kalau pintar,” begitu seloroh mereka yang menghibur diri lantaran tak
mampu menandingi nilai akademik sepupuku ini.
Boleh
dikata kami partner dalam segala hal. Partner
in crime and also partner in goodness. Pernah saat bulan puasa kami tergiur
dengan medoknya warna jambu merah
yang baru kami alap di belakang rumahnya. Saat itu ketika main ke Monument
Lubang Buaya, sehabis menengok Kak Mameh di Jatiwaringin, kami membatalkan puasa. Jambu
yang kami alap, habis tandas tak tersisa. Nonton bareng pun pernah kami
lakukan. Biasanya di Pasar Minggu. Di Nirwana Theater. Bioskop ini kini sudah
almarhum, lokasinya di dekat kali. Aku masih ingat film pertama yang kami
tonton berdua adalah film James Bond, judulnya Licence to Kill.
Meski
ia enak diajak main, namun bila datang bad
mood-nya, ia rada nyebelin juga. Ia
orangnya agak temperamental, kalau main, tak mau kalah, maunya menang. Main
apapun, kalau bad mood-nya sudah datang,
ia mudah sekali tersulut emosinya, selalu uring-uringan. Main tenis meja misalnya,
ia sering men-smas ngasal atau asal nyemes. Gak masalah sih kalau smas-nya masuk, namun kalau bola yang di smas
itu melayang jauh, ya capek juga mungutnya. Kalau sudah begitu, biasanya ia, aku
tinggalkan. Gak asik lagi, hehe…
Selepas
Sekolah Dasar kami berpisah. Meski kedua orang tuaku sudah ada planning memasukkanku ke pesantren,
namun orang tuaku tak bermakmum pada Wak Amin. Aku disekolahkan di Pesantren
Darunnajah, sedangkan ia di Assyafiiyah. Wak Amin memang nge-fans berat kepada Kyai Abdullah Syafi’e,
ulama terkemuka dari Betawi. Bahkan, anak perempuan Wak Amin dinamakan persis
dengan nama putri sang Kyai, yakni Tutty Alawiyah. Maka, praktis semenjak itu intensitas
pertemuan kami pun jauh berkurang. Bertemu bila saat musim liburan sekolah saja.
Aku dan dia tentu punya kesibukan dan teman masing-masing.
Kami
kembali bersama saat kuliah di Bandung. Ia di IAIN, di Ujung Berung, aku di
Unpad Jatinagor. Lantaran aku masih anak baru, aku mau saja saat ia dan
temannya, Jamal, yang kebetulan juga kuliah di jurusan HI Unpad, menawariku
untuk kost bareng. Kami kost di Cileunyi, di Gang Al-Jawami, dekat dengan
terminal. Nama kost-an kami Three
Markesot Residence. Hanya setahun kami bersama, selepas itu berpisah. Meski kami
sudah tak satu kost, namun minimal sebulan sekali kami bersua. Di Bandung, bila
aku tak ada kegiatan, kami sering menghabiskan akhir pekan bersama. Biasanya
kami main ke Lembang, atau ke Bandung dan menginap di rumah teman kami yang
kost di Bandung.
Menjelang
reformasi 97/98, intensitas pertemuan kami berkurang. Aku mulai sibuk
berkegiatan di kampus, sedangkan ia sibuk dengan skripsinya. Nah, selepas kuliah
di Bandung, sekitar tahun 1998-an kalau tak salah, ia lulus. Aku kaget juga begitu
mendengar bahwa ia akan meneruskan S2-nya di Timur Tengah. Ya, demi menggenapi
cita-cita ayahnya, ia rela sekolah sampai luar negeri, jauh dari keluarga,
meninggalkan kesenangan hidup di Jakarta. Praktis semenjak itu, hingga saat
ini, dimana kami masing-masing telah berkeluarga, kami jarang bertemu kembali.
Dan
tampaknya, Wak Amin tersenyum bahagia disana menyaksikan ada salah satu anaknya
yang menjadi penerus cita-citanya untuk berdakwah mensyiarkan Islam. Di keluarga besar kami, memang ia yang paling mumpuni dalam
bidang agama. Tak ada yang lain! Dan impian Wak Amin terwujud. Ia adalah Ustaz bagi
keluarga besar kami.