Minggu, 20 Agustus 2017

Hotel Tempatku Menginap

Room @Washington Circle Hotel
Selama mengikuti program IVLP --program yang memang dirancang selain untuk belajar juga untuk mengenal lebih mendalam tentang Amerika-- saya tidak hanya bertandang untuk menemui beberapa counterpart dari satu kota saja, namun beberapa kota di beberapa negara bagian. Dan, selama pindah-pindah kota tersebut, otomatis, saya pun harus angkat-angkat koper untuk berpindah-pindah hotel.

Oleh pihak Department of State, saya disediakan hotel dengan layanan standard bintang 4 (empat). Meski demikian, tak selamanya hotel bintang 4 yang disediakan itu nyaman. Ada hotel yang enak dan convenience untuk di tinggali dan ada pula yang tidak lantaran tempatnya jauh dari keramaian, misalnya. Diantara sekian hotel yang saya tinggali, ada beberapa hotel yang enak karena lokasinya strategis dan dekat kemana-mana, seperti saat kami singgah di DC dan Philadelphia.

Patung Washington dengan hotel dibelakangnya
Di Washington DC, saya menginap di Hotel One Washington Circle. Dari namanya yang circle, hotel ini terletak di dekat bundaran patung George Washington. Dari seberang hotel terlihat dengan jelas kampus prestigious di Washington DC yakni Washington University. Hotelnya cukup nyaman. Strategis, dekat kemana-mana. Terletak di Jalan 23. Bila kita hendak ke Monumen Hall atau Gedung Putih, bisa dicapai hanya dengan 15 menit jalan kaki. Pagi hari disiapkan aneka buah-buahan segar yang dapat diambil di lobby hotel. Sebelum beranjak untuk aktivitas di pagi hari, biasanya saya selalu mengambil apel untuk pengganjal perutku di siang harinya. (Point 8,5)

Nah, sewaktu di Philadelphia, saya menginap di hotel Club Quarters Philadelphia, di Jalan 1628 Chestnut Street. Hotel ini letaknya di pusat kota. Kemana-mana dekat. Hanya perlu berjalan kaki beberapa blok ke alun-alun kota dan Reading Terminal Market. Bahkan dipagi hari, saya hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menitan untuk samapai di Penn’y, yakni pelabuhan tempat pertama kali para imigran datang ke Philly. Di situs bersejarah ini terdapat ornament yang menggambarkan saat para imigran mendarat di Philadelphia. Sama seperti di DC, hotel ini juga menyediakan buah-buahan segar dan aneka minuman (susu dan teh hangat) yang bisa diambil gratis di lobby hotel. (Point 8)

Kamar Hotel CQ
Lalu di St. Louis saya menginap di hotel Drury Plaza Hotel at the Arch, beralamat di 2 South 4th Street.
Kamar Hotel Drury Plaza
Hotelnya hanya sepelemparan batu dengan Arch Gateway, yakni monument melengkung mirip logo restoran McD. Oleh pihak hotel, atas request panitia lokal, saya diberikan kamar yang menghadap langsung ke Arch
sebagai icon Kota St. Louis, dengan sungai Mississippi di belakangnya. Namun lantaran kota berjuluk The Lau ini tidak semeriah Philadelphia, maka kesan sunyi dan sepi sangat terasa di sekitar hotel. Untungnya hotel ini menyediakan menu sarapan pagi dan sore gratis, sehingga bisa menghemat anggaran makanku. (Point 7,5)
S. Mississippi terlihat dari kamar hotel


Kemudian di Helena, saya menginap di hotel Comfort Suites‑Helena, yang terletak di 3180 North Washington Street. lokasinya dekat dengan bandara, hanya sekitar 5 menit-an saja. Kami diberikan makan pagi gratis. Namun sayangnya hotel ini jauh ke tempat-tempat strategis untuk kita jalan-jalan meng-explore kota. Kurang nyaman lah sebagai titik point untuk menjelajah kota Helena.
Kamar Hotel Comfort Suites-Helena
Namun bila kita baru tiba dari Helana, hotel ini cukup recommended mengingat ia berada sangat dekat dengan bandara. Saya sarankan cukup semalam saja kita menginap disini untuk kemuadian, dari sini, mungkin kita bisa mulai menjelajah sisi lain dari Negara bagian Montana. (Point 7)
Photo diambil dari belakang hotel Comfort Helena


Nah, di kota terakhir, Salt Lake City, saya menginap di Hotel Little America. Hotelnya bagus, dekat dengan trem yang dilewati dari dan menuju ke bandara. Letaknya di 500 South Main Street.
Bila kita ingin menuju pusat perbelanjaan yang berlokasi agak ‘diatas’ misalnya, kita dapat menggunakan trem (free), dengan terlebih dulu berjalan sekitar 200 meter menuju haltenya. (Point 7)
Kamar Hotel Little America, Salt Lake City

Jumat, 18 Agustus 2017

Tentang Sepupuku (4)

Dari kedelepan anaknya, entah mengapa Wak Amin menaruh perhatian yang besar pada sepupuku ini untuk meneruskan cita-cita keluarganya. Padahal, dari kedelapan anaknya, boleh dikata ia yang paling ringkih. Ampegan, kalau kata orang Betawi. Ya, Wak Amin berharap minimal ada satu orang anaknya yang menekuni agama, tidak melulu belajar di sekolah umum, menjadi insinyur, dokter atau ekonom, seperti anak-anak muda pada masa itu. Aku sendiri heran mengapa bukan kedua abangnya yang lain, yang di-endorse Wak Amin untuk belajar agama. I don’t know, hanya Wak Amin dan Tuhan yang tahu. Dan pilihannya jatuh pada sepupuku ini.

Bila Wak Amin main ke rumah dan ngobrol dengan ayahku, memang ia yang selalu dibangga-banggakannya agar bisa menjadi kyai besar. Ia sangat diharap-harapkan menjadi ulama penerus perjuangan ayahnya yang memang sangat cinta pada ulama dan habaib. Selain Salamah, kakaknya yang perempuan, hanya ia anak lelaki yang di-pesantrenin.

Usia kami terpaut satu tahun. Diantara sepupuku semasa kecil, aku relatif dekat dengannya. Memang, ada beberapa sepupuku lainnya yang umurnya sebaya denganku. Herman dan Dedy, misalnya, --keduanya anak Wak Munah, kakak Ibuku—namun mereka jarang main denganku. Maklum, rumahnya jauh, nyebrang jalan pula. Wajar, bila aku tak dekat dengan keduanya saat kecil.

Walhasil, lantaran rumahku dan rumahnya tak terlalu jauh ketimbang rumah Herman dan Deddy, aku dan dia sering main bareng. Bila musim liburan sekolah tiba, hampir saban hari kami main bersama. Beragam permainan yang sedang nge-trend dan nge-hits kami mainkan bersama. Main gambaran, perang-perangan, ataupun kelereng. Beranjak usia, mainan kami pun meningkat, biasanya kami main catur, badminton dan tenis meja. Kebetulan ada tenis meja yang ditempatkan di samping rumah Wak Amin, yang juga berfungsi sebagai garasi mobil kijang bak terbukanya.

Kalau hari biasa, aku ke rumahnya hanya di hari minggu. Maklum meski sekolah kami sama, yakni di JIS (Ji Sami’un School), namun ia masuk sekolah di siang hari, sedang aku paginya. Bisa dipastikan saban hari minggu dari pagi sampai menjelang maghrib aku pasti berada disisinya. Di sekolah, boleh dibilang ia murid terpandai. Terpandai dalam arti diatas rata-rata anak-anak Kampung Kebon. Rangking 1 atau 2 tak sulit ia peroleh lantaran berotak encer. “Tak aneh, lha ayahnya kan punya peternakan sapi. Saban hari minum susu sapi. Wajar kalau pintar,” begitu seloroh mereka yang menghibur diri lantaran tak mampu menandingi nilai akademik sepupuku ini.

Boleh dikata kami partner dalam segala hal. Partner in crime and also partner in goodness. Pernah saat bulan puasa kami tergiur dengan medoknya warna jambu merah yang baru kami alap di belakang rumahnya. Saat itu ketika main ke Monument Lubang Buaya, sehabis menengok Kak Mameh di  Jatiwaringin, kami membatalkan puasa. Jambu yang kami alap, habis tandas tak tersisa. Nonton bareng pun pernah kami lakukan. Biasanya di Pasar Minggu. Di Nirwana Theater. Bioskop ini kini sudah almarhum, lokasinya di dekat kali. Aku masih ingat film pertama yang kami tonton berdua adalah film James Bond, judulnya Licence to Kill.

Meski ia enak diajak main, namun bila datang bad mood-nya, ia rada nyebelin juga. Ia orangnya agak temperamental, kalau main, tak mau kalah, maunya menang. Main apapun, kalau bad mood-nya sudah datang, ia mudah sekali tersulut emosinya, selalu uring-uringan. Main tenis meja misalnya, ia sering men-smas ngasal atau asal nyemes. Gak masalah sih kalau smas-nya masuk, namun kalau bola yang di smas itu melayang jauh, ya capek juga mungutnya. Kalau sudah begitu, biasanya ia, aku tinggalkan. Gak asik lagi, hehe

Selepas Sekolah Dasar kami berpisah. Meski kedua orang tuaku sudah ada planning memasukkanku ke pesantren, namun orang tuaku tak bermakmum pada Wak Amin. Aku disekolahkan di Pesantren Darunnajah, sedangkan ia di Assyafiiyah. Wak Amin memang nge-fans berat kepada Kyai Abdullah Syafi’e, ulama terkemuka dari Betawi. Bahkan, anak perempuan Wak Amin dinamakan persis dengan nama putri sang Kyai, yakni Tutty Alawiyah. Maka, praktis semenjak itu intensitas pertemuan kami pun jauh berkurang. Bertemu bila saat musim liburan sekolah saja. Aku dan dia tentu punya kesibukan dan teman masing-masing.

Kami kembali bersama saat kuliah di Bandung. Ia di IAIN, di Ujung Berung, aku di Unpad Jatinagor. Lantaran aku masih anak baru, aku mau saja saat ia dan temannya, Jamal, yang kebetulan juga kuliah di jurusan HI Unpad, menawariku untuk kost bareng. Kami kost di Cileunyi, di Gang Al-Jawami, dekat dengan terminal. Nama kost-an kami Three Markesot Residence. Hanya setahun kami bersama, selepas itu berpisah. Meski kami sudah tak satu kost, namun minimal sebulan sekali kami bersua. Di Bandung, bila aku tak ada kegiatan, kami sering menghabiskan akhir pekan bersama. Biasanya kami main ke Lembang, atau ke Bandung dan menginap di rumah teman kami yang kost di Bandung.

Menjelang reformasi 97/98, intensitas pertemuan kami berkurang. Aku mulai sibuk berkegiatan di kampus, sedangkan ia sibuk dengan skripsinya. Nah, selepas kuliah di Bandung, sekitar tahun 1998-an kalau tak salah, ia lulus. Aku kaget juga begitu mendengar bahwa ia akan meneruskan S2-nya di Timur Tengah. Ya, demi menggenapi cita-cita ayahnya, ia rela sekolah sampai luar negeri, jauh dari keluarga, meninggalkan kesenangan hidup di Jakarta. Praktis semenjak itu, hingga saat ini, dimana kami masing-masing telah berkeluarga, kami jarang bertemu kembali.


Dan tampaknya, Wak Amin tersenyum bahagia disana menyaksikan ada salah satu anaknya yang menjadi penerus cita-citanya untuk berdakwah mensyiarkan Islam. Di keluarga besar kami, memang ia yang paling mumpuni dalam bidang agama. Tak ada yang lain! Dan impian Wak Amin terwujud. Ia adalah Ustaz bagi keluarga besar kami.

Kamis, 10 Agustus 2017

Mutasi, Antara Dibina Dengan Dibinasakan

Bagi perusahaan besar yang telah mempunyai sistem yang tertata dengan baik, tentu ada aturan dan mekanisme yang mengatur pegawainya dalam bekerja. Pegawai yang baik tentu akan memperoleh promosi sebagai reward-nya. Sebaliknya, bagi mereka yang berkinerja buruk alias tidak perform tentu akan di demosi sebagai hukumannya. Syukur-syukur kalau masih bisa dibina, ya cukup di mutasi saja.

Mutasi adalah hal yang wajar, tidak perlu ditakutkan ataupun di-lebay-lebay-kan. Tidak selamanya kita akan berada dalam suatu tempat dan posisi. Cepat atau lambat pasti kita akan dipindah. Bahkan dalam dunia militer, biasa dikenal dengan istilah “tour of duty dan tour of area” atau perpindahan tempat/lokasi dan posisi/jabatan seseorang dalam ketentaraan. Mutasi itu sendiri saya maknai sebagai perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya. Atau bisa pula dimaknai perpindahan dari satu jenis pekerjaan ke jenis yang lain. Idealnya, mutasi ini dimaksudkan sebagai ‘pembinaan’ kepada pegawai, dan bukannya pembinasaan karier si pegawai.

Nah, ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang dimutasi atau di pindah. Biasanya alasan yang dipakai oleh HR Manager adalah karena kebutuhan organisasi, dimana tempat/unit yang baru membutuhkan tenaga muda yang potensial, atau bantuan tenaga baru yang masih fresh, yang menguasai suatu bidang. Mutasi dengan alasan seperti ini tentu mempunyai nilai yang positif bagi jalannya roda organisasi. Penempatan pegawai sesuai dengan keahliannya. The right man in the right job.  

Ironisnya, tidak semua per-mutasi-an dilakukan karena kebutuhan organisasi ataupun dalam rangka pembinaan pegawai. Ada mutasi yang dilakukan oleh pimpinan kepada bawahannya lantaran Si Bos menilai bahwa pegawai tersebut membahayakan kedudukan pimpinan. Ketimbang ia berulah macam-macam, ya dimutasikan saja, beres! Mutasi model inilah yang kental dengan aroma like and dislike, bukan karena performa atau konduite dari pegawai yang terkena mutasi.

Selain itu, mutasi terjadi lantaran kehadiran pegawai tersebut tidak diingini oleh sebagian besar pegawai lainnya. Biasanya, ia dibuang lantaran diangap sebagai orang yang tak ‘disukai’ ditempat lama. Sengaja saya beri tanda kutip karena ada banyak faktor yang menyebabkan pegawai tersebut tidak disukai. Tidak disukai karena susah diajak untuk ‘berkolusi’ dalam suatu kegiatan/proyek. Ia typical pegawai yang taat asas dan aturan. Nah, pegawai model begini kebanyakan tidak disukai oleh rekan-rekan lainnya yang suka nyerempet-nyerempet. Ia terlalu ‘lurus’, tidak cocok bila di tempatkan di lingkungan yang ‘basah’ yang biasa dengan hal-hal yang sedikit-sedikit ‘melenceng’. Ketimbang jadi kerikil dalam sepatu, makanya ia terkena mutasi.

Bagi pegawai yang terkena mutasi tentu ada perasaan kecewa. Wajar, lha wong lagi kerja enak-enak dipindahin. Namun ada pula yang merasa senang, tergantung sudat pandangnya terhadap mutasi itu sendiri. Ada pegawai yang memaknai mutasi sebagai musibah. Dikatakan musibah lantaran mutasi itu menyebabkan ia kehilangan ‘kenyamanan’ di tempat lamanya. Kenyamanan-kenyamanan itu diantaranya:
Nyaman tempatnya, karena dekat dengan rumah atau dekat dengan tempat-tempat strategis.
Nyaman orang-orangnya, artinya ditempat lama orangnya asik asik alias friendly.
Nyaman pendapatannya, dimana uang di peroleh dengan gampang karena tempatnya ‘basah’.

Nah, ada pula yang justru berbahagia terkena mutasi. Baginya, mutasi dimaknai sebagai sebuah anugerah lantaran kepindahannya itu tentu akan membuat suasana baru yang akan ia dapatkan ketimbang di tempat lama yang tak nyaman, dan tentunya sudah jenuh.

Selama berkarir sebagai pegawai pemerintah --dalam kurun waktu tujuh tahun ini-- telah lima kali saya mengalami mutasi. Boleh dibilang rata-rata sekitar 1,5 tahun berada di satu tempat untuk kemudian dipindah ke tempat lain. Macam-macam alasan saya dimutasi. Kesal dan marah? Tentu saja! Namun, usahlah itu saya ungkit, biarlah menjadi cerita untuk anak cucuku kelak. Ketimbang menyesalinya, justru saya memaknai mutasi itu sebagai penambah teman di tempat baru dan terlepas dari kejenuhan rute bermotor saat pulang pergi dari/ke kantor yang lama, hehe.. So, mari hadapi mutasi dengan happy.

Sumber foto:

https://www.123rf.com/clipart-vector/job_placement.html?mediapopup=60186979