Senin, 15 Januari 2018

Ajaklah Mereka Jalan-jalan!

“Ayah, mengapa kita tak mengajak Nenek”? Itulah salah satu pertanyaan yang dilontarkan anak saya tatkala kami berlibur ke Bali, hanya berempat. Ya, untuk kali ini kami memang tak mengajak Nenek atau Mbah Kung berlibur bersama, karena Bali, sudah terlalu mainstream bagi mereka. Hampir semua tempat di Bali sudah mereka kunjungi. Pertanyaan itu tercetus lantaran hampir setiap liburan keluarga, pasti Nenek (ibu saya) ikut. Kami merasa berlibur tanpa kehadiran Nenek terasa ada yang kurang. Selain Nenek, secara bergantian kami juga mengajak Mbah Kung (bapak dari istri saya). Kadang juga keduanya kami ajak bersama-sama.

Mungkin bagi banyak orang, pergi berlibur dengan mengajak orang tuanya akan menambah pengeluaran dan merepotkan lantaran harus membawa orang (nenek/kakek) yang sudah sepuh dan lanjut usia. Saya katakan, itu tak benar! Pasti akan ada uang dan rezeki untuk membelikan mereka tiket. Dan, memang selalu ada, tak pernah kami kehabisan uang karena ngajak Nenek atau Mbah Kung. Selama berlibur, tak pernah mereka sakit atau bikin repot. Kalaupun capek, mereka biasanya hanya duduk menunggu di bangku taman, melihat cucu-cucunya berenang atau bermain.

Saya katakan ke istri, selagi Nenek atau Mbah Kung mau diajak pergi dan fisiknya kuat, pasti akan saya ajak. Ini merupakan janji dan bentuk bakti serta kecintaan saya pada mereka. Saya sadar, saya tidak dapat kasih apa-apa ke mereka. Kasih uang? Mereka punya. Kasih kejutan saban bulan? Saya bukan tipe pria romantis. Ngajak makan di restoran? Gak selalu menu di restoran sesuai dengan selera mereka yang berlidah kampung. Maka hanya (ngajak) berlibur-lah yang bisa saya banggakan sebagai amal bakti saya pada mereka.

Saya tahu, tak semua istri akan merasa nyaman jalan-jalan dengan mengajak mertuanya, apalagi mertua perempuan. Manusiawi memang. Ada rasa cemburu bagi istri karena kita lebih perhatian ke ibu kita. Namun syukur alhamdulilah istri saya tak demikian adanya. Bahkan, pernah suatu kali kami berlibur tanpa mengajak Nenek atau Mbah Kung, ada rasa yang kurang sempurna. Kurang rame. Justru kehadiran mereka membuat liburan keluarga tambah semarak. Ada yang bisa di’bully’ oleh anak-anak saya. Ya, Nenek dan Mbah Kung-nya, hehe..

Saya katakan kepada istri, selagi saya ada uang, kuat dan sehat, tentu akan selalu saya ajak mereka berlibur, naik pesawat, pergi ke tempat-tempat yang belum pernah mereka injak, sesering mungkin. Mengapa? Saya tahu dimasa mudanya mereka kurang piknik. Jarang jalan-jalan. Mereka terlalu letih untuk bekerja, dan keseringan berpikir bagaimana membiayai kita agar tetap bisa sekolah. Bahkan, untuk jalan-jalan ke Ancol atau Kebun Binatang, Ragunan pun bisa dihitung dengan jari. Kini, jangankan itu, Bali, Puncak, dan Bandung rasanya sudah bosan.

Saya percaya, salah satu obat mujarab untuk selalu tetap sehat dan bugar adalah dengan jalan-jalan. Bagi orang yang sudah sepuh macam Nenek dan Mbah Kung, kebanyakan berdiam di rumah (jarang jalan-jalan) tentu akan membuat mereka gampang stress. Saya meyakini, jalan-jalan bisa menenangkan pikiran, membuat badan dan perasaan (psikis) mereka akan selalu sehat terjaga.

Saya tidak akan menunggu punya uang banyak untuk mengajak Nenek dan Mbah Kung jalan-jalan. Saya bilang ke istri, ketimbang Nenek dan Mbah Kung sakit karena pikiran stress, lebih baik uang itu kita habiskan untuk mengajak mereka menginap di hotel, dimana anak-anak bisa berenang disana. Lebih baik uang itu kita belikan tiket pesawat untuk pergi ke tempat yang jauh dari rumah, yang belum pernah mereka samperin. Melihat suasana dan hal-hal baru di negeri orang, yang tak pernah mereka lihat dan jumpai di kampung atau rumah.

Saya bisikkan ke telinga anak-anak, selagi Nenek dan Mbah Kung masih ada, selama itu pula kita akan jalan-jalan bersama mereka. Ini juga saya tekankan pada istri. Saya bilang ke istri, bahwa saya ingin mencontohkan pada anak-anak bagaimana saya berbuat pada Nenek dan Mbah Kung mereka. Kalau saat ini saya dan istri hanya sanggup mengajak jalan-jalan orang tuanya paling jauh ke Singapura dan Kuala Lumpur, tentu kami berharap kelak anak-anak kami akan mengajak kami jalan-jalan keliling Eropa, Amerika, bahkan Kutub Utara, ke tempat-tempat yang belum pernah kami singgahi, ke negeri yang selama ini hanya terlihat di film-film atau foto-foto di instagram milik selebritis terkenal dunia.

Saya percaya karma atau hukum timbal balik itu nyata dan ada. Bila kita berbuat baik pada orang tua kita, anak-anak kita pun kelak akan berbuat baik, menjadi anak yang sholeh/ah dan memperhatikan kita, ketika kita sudah tua nantinya. Dan, bila kini kita mengajak berlibur orang tua kita, akan tiba masanya, ketika kita tua dan menjadi kakek/nenek, pasti anak-anak kita akan mengajak kita jalan-jalan. Mereka mencontoh dan melihat apa yang kita perbuat pada Nenek dan Mbah Kung-nya.



Minggu, 07 Januari 2018

Imitate the spirit of sharing from Granite City.

Some volunteers I saw were busy loading bottles of milk, meat and vegetables into the walking basket, as I see when shopping at a supermarket, in Jakarta.. There's also that-because he's old, I've been for about sixty years-just sitting and taking down the expenses and receiving the incoming goods. Yes, it seems he is in charge of the bookkeeping department. In the corner I watched a grandmother sitting on a lounger waiting for her name to be called. The atmosphere in the room measuring 4X6 meters was like a queue at the Public Service. A few moments later, the name of the grandmother was called, and the volunteer came up with a basket full of various food needs for the grandmother.

When I turned, there was a 5 pound rice, bread, processed meat/fish like sardines, vegetables, and fruits and some bottles of liquid milk, all in the basket. I'm afraid, the super-complete foods - that's enough for one week ahead. Luckily, I can freely observe the activities in this 'department store' because in the schedule #IVLP today, one of the activities listed in my agenda is as a volunteer. My job is to help them pack and sort things out.

Who are they and why am I labeling a 'department store'? Here's the story. In my trip to the United States, in March 2016, ago. I had the opportunity to visit an area on the edge of the state of Illinois, in Granite City, bordering St. Louis. Here, there is a local social organization called Granite City Community Care Center, Inc. The institute specifically caters to marginalized, social troublemakers, such as the homeless, as well as the poor families around Granite City. No less than 3000 people per month can be served Center or about 100 people per day who regularly came to this 'department store'.

The Center itself is like a department store that provides a variety of necessities of life for the poor in vicinity. And everything is given free or free. A wide variety of food, drink and live furnishings are available and complete. There is a large warehouse that is specially prepared to accommodate diverse necessities of life, ranging from clothing to all ages, from children to the elderly with a variety of modes for all seasons, even toys are available. Center itself has an office together with a warehouse to store various needs of citizens, both clothing and food.

To accommodate thousands of clothing donated by residents, the Center prepared a kind of 'boutique' on the top floor of an area of ​​approximately 200 square meters. The clothes-apparently still worthy of use, may be used only once or even have never been worn at all-, sorted by type, size, and designation. There are summer outfits, there are also clothes for winter. Also, separating clothes, both for children and adults. And of course, men and women's clothing.

Besides, food needs are also provided. The supply of food was obtained in addition to donations from donors in the form of food, as well as donations in the form of money bought in the form of food. To accommodate and store all the food, the Center prepares several refrigerators (refrigerator) or cold storage as the size of a large wardrobe. Various processed ingredients such as meat, fruits, vegetables and milk into the refrigerator.

Those who come to the Center are the poor who live nearby, not even that, some are coming from the next area. I was surprised when I saw those who came mostly driving. However, my rushing companion explained that car ownership is not something fancy in America. Because the car has such a primary needs for most Americans, such as the ownership of motor vehicles for the poor in Jakarta. Here, the rich and poor indicators are not determined by car ownership, but the extent to which they can live independently to make ends meet.

To get help from the Center, they are recorded by volunteers and given a kind of social security card. On the card was recorded the names of family members. Although the impression of "wow" and royalty in giving (charity) is seen in this Center, unfortunately, the value of this policy, whether consciously or not, will make them (spouses of social problems) become spoiled and lulled by the ease of obtaining assistance in the form of goods or food, which is indeed abundant. It seems that the policy came out of the grip that I believe this is better teaching fishing than fishing. However, the Center may have its own consideration. And, it may be that those people who are helped are really citizens who should always be helped like elderly parents who disable to work anymore.


The spirit of sharing is indeed one of the strengths of Americans. They do not hesitate to help someone who really needs help. This spirit seems to be fading and difficult to implement in Jakarta. Either, perhaps because the level of care of the citizens of the city is less or it could be no one who can move and to organize the potential that exists in the community. And the model of social institution such 'department store' like Granite City Community Care Center, inc this when applied in our environment will be super power magnitude. Hopefully!

Kamis, 04 Januari 2018

Kunjungan Pihak Kedubes USA ke Kantor

Saat itu selepas Sholat Jumat. Maret, sekira awal-awal bulan. Waktu itu kami (saya dan Pak Jum, selaku Kabid PP dan PA) sedang padat-padatnya kegiatan dan kerjaan. Ya, meski masih awal tahun anggaran, dalam arti, belum ada kegiatan yang bisa dilaksanakan, tidak lantas hari kami kosong tanpa kerjaan. Justru di bulan Februari dan Maret 2015 itu, kami disibukkan dengan proyek pengerjaan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak, (RPTRA) yang menjadi ‘anak emas’ atau program unggulannya Bu Vero, selaku Ketua TP PKK Prov. DKI Jakarta. Hampir tiap hari, saya dan Pak Jum (tentu Bu tantri, --selaku Kasubid LPA juga--, namun beliau lebih banyak di kantor dan mengurusi kerjaan lain, seperti kasus Pupellla dsb) pontang panting menginisiasi proyek tersebut lantaran ini adalah pilot project untuk pembangunan ratusan RPTRA berikutnya. Harap maklum, kami hanya berdua saat itu lantaran Ewi, partner saya, sedang cuti melahirkan. Jadilah tiap hari, kami, berpindah tempat dari satu palagan ke palagan lainnya –berkoordinasi-- hanya untuk menyiapkan RPTRA ini.
                     
Seperti biasa, sehabis sholat Jum’at ditegakkan, saya makan siang. Namun, kali ini Pak Jum ikut serta. Jadilah kami makan bersama di Soto Mas Hari, Cempaka Putih. Nah, ditengah-tengah santap makan itu, Bu Evi mengabarkan bahwa orang dari Kedutaan Amerika sudah datang di Kantor. Oh ya, sebelumnya memang saya sudah denger selentingan kabar bahwa akan ada pihak dari Kedubes USA yang mau datang ke kantor untuk membicarakan masalah kerjasama atau apalah namanya dengan Bidang PP. Jujur, saya tidak terlalu antusias dan berprasangka macam-macam dengan kehadiran mereka. Alih-alih merasa senang atau sudah ada gambaran akan ada good news dari kehadiran mereka, yang ada dibenak saya –saat itu-- mungkin pertemuan biasa saja. Walhasil, selepas makan, bergegas lah kami ke kantor menemui mereka.

Merasa ini adalah pertemuan tingkat pejabat, maka saya pun tidak terlalu aktif atau sengaja melibatkan diri. Biarkan saja Pak Jum beserta para Kasubid menemui mereka. Namun tatkala saya bersiap membuka file di komputer, seraya berdiri dari ruangannya yang memang terlihat dari posisi duduk saya, Pak Jum memanggil saya. “Mas Rachmat, tolong kemari.” Saya tahu maksud panggilannya. Tentu saya diminta untuk menerjemahkan maksud dan kehendak para pihak (Pak Jum Cs, serta Kedubes USA) dalam berkomunikasi. Ya, meski pihak Kedubes Amerika menyertakan Bu Kus Wahyuni sebagai penerjemah dari Ms. Stephanie M Stallings, namun tampaknya Pak Jum mempercayakan saya untuk mendampinginya. Meski bahasa Inggris saya tidak bagus-bagus amat, namun saya yakin bahasa Inggris saya tentu bisa mengimbangi eksen amerika-nya Ms Stephanie, hehe.. 

Di ruang Pak Jum, selain para Kasubid yang hadir tampak pula 2 (dua) orang wanita. Satu orang kita (Indonesia), dan yang lainnya bule cantik. Mereka memperkenalkan diri. Kami pun balas memperkenalkan diri. Lalu, tanpa basa-basi saya tanya maksud kedatangan mereka. Dengan sigap, Ms Stephanie selaku Political Officer Kedubes Amerika di Jakarta menjelaskan apa itu International Visitor Leadership Program (IVLP). Inti pembicaraan yang saya tangkap adalah pihak Kedubes USA akan mengundang atau meminta 1 (satu) nama dari Bidang PP dan PA untuk berkunjung ke USA mengikuti program dimaksud. “Wah program apa lagi tu,” batinku. Selepas penjelasan, terjadi dialog. Ya semacam tanya jawab mengenai program dan semacamnya. Namun saya enggan menelisik lebih jauh tentang apa itu IVLP, takut semakin mupeng. Jujur, mendengar penjelasan dari Ms. Stephanie M Stalling, hatiku berdetak kencang. Widihh ke Amerika.. Gratis, selama 3 minggu. Ckck.. Namun saya sadar, siapa lah saya yang hanya staf biasa di kantor. Kalaupun saya ada kelebihan dan potensi ketimbang staf lainnya tapi itu pun masih jauh untuk membayangkan bahwa saya lah yang nantinya ditunjuk pergi ke Amerika mengikuti seleksi program IVLP tersebut.

Pertemuan yang singkat itu pun usai. Saat escort (mengantar) mereka kembali ke parkiran mobil, tak lupa Ms. Stephanie dan Bu Kus Wahyuni mengingatkan sekali lagi bahwa mereka sangat berharap --dengan segera-- agar Bidang PP dan PA dapat menunjuk 1 (satu) nama tersebut. ASAP! Mereka memberikan waktu seminggu. Namun, yang namanya birokrasi tetaplah ribet dan terlalu prosedural. Nampaknya pihak Kedubes USA belum terlalu familiar dengan jalur dan jenjang birokrasi yang harus kami lalui. Tidak semudah itu menentukan dan menunjuk satu nama untuk diikutkan dalam seleksi IVLP 2016. Dan itu mungkin yang terlintas di pikiran Pak Jum. Tidak mudah menentukan siapa yang layak ke Amerika. Menunjuk si A tentu harus ada dasarnya, tidak asal tunjuk saja. Sadar akan itu, segera atas inisiatif pribadi dan arahan pak Jum, saya menulis nota dinas ke Bu Dien, selaku Kepala BPMPKB. Ya, semacam laporan agar beliau memberikan disposisi dan arahan.

Sesudah pertemuan terlihat masing-masing Kasubid mulai saling ‘ledek-ledekan’.
Wah enak neh kalo kita bisa ke Amerika,” sahut A.
Pak Jum, saya saja ya yang ke Amerika-nya, sekalian ngecengin bule sana,” canda Si B.
Aduh saya juga mau.. saya aja ya,” teriak yang lain.
Pak Jum tentu berada dalam posisi dilematis. Meng-iya-kan Kasubid yang ini tentu akan menyakiti Kasubid yang itu. Mendisposisikan ke Subid A tentu gak enak dengan Subid B.

Dari penjelasan Ms Stephanie tergambar bahwa program IVLP untuk tahun 2016 ini akan mengambil tema “Sistem Peradilan Anak.” Nah, mengacu pada tema tersebut tampaknya Subid saya lah yang punya chance besar untuk ditunjuk. Saya sendiri, tentu saja berharap-harap cemas. Ya, selain Pak Jum tentunya, masih ada Bu Tantri yang menjadi atasan saya yang mempunyai peluang terbesar untuk diikutkan dalam seleksi IVLP 2016 ini. Saya berusaha realistis dengan menyodorkan pilihan agar Pak Jum saja yang ke Amerika, saya akan menjadi cadangannya, mengingat persyaratan usia yang harus di bawah 45 tahun, sedangkan Pak Jum sudah kepala 5. Pertimbangannya, bila Pak Jum gagal diproses seleksi administrasi, maka saya berpeluang menggantikannya. Namun Pak Jum tidak bereaksi atas usulanku. Tampaknya beliau menunggu arahan dan disposisi dari Bu Dien.

Beberapa hari kemudian keluarlah disposisi dari Bu Dien. Ia menyambut baik tawaran tersebut. Namun celakanya ia tidak serta merta mengarahkan agar bidang PP menunjuk satu nama, melainkan meminta agar pihak Kedubes USA bersurat ke Gubernur DKI Jakartta. Beliau berpandangan bahwa kerjasama ini (pengiriman utusan IVLP) sudah menyangkut G to G. Jadi, bukan level-nya Kaban untuk menindaklanjutinya.
Wahh.. bakalan lama dan ribet lagi neh urusan. Padahal pihak sana (Kedubes) hanya meminta Bidang PP&PA untuk mengirim 1 (satu) saja nama untuk ikutan seleksi. Ya, cuma mengirim nama dan di-email ke mereka. It’s so simple. Kenapa harus melibatkan Gubernur..? batinku.

Tanpa membuang waktu, langsung saja saya ber-sms dengan Bu Kus, mengabarkan bahwa pihak Pemprov DKI Jakarta membutuhkan surat dari Kedubes USA sebagai dasar dan legal standing menentukan atau menominasikan 1 (satu) nama untuk diikutkan dalam seleksi program tersebut. Beruntung, Bu Kus mau menerima penjelasan saya. Sejurus kemudian surat itu sampai ke kantor melalui fax. Segera saya menindaklanjutinya dengan mengirimnya langsung ke ajudan Gubernur, tanpa melalui ‘calo’ atau perantara.

Akhirnya setelah menunggu kurang lebih semingu, keluar lah disposisi dari Gubernur. Nah, disinilah perasaan galau dan deg-degan terjadi. Ya, sejak awal saya yang mengawal proses ini, --menghubungi para ajudan dan sekretariat Gubernur hingga Sekda-- namun hingga saat ini belum ada kepastian siapa yang akan ditunjuk sebagai nominasi mengikuti seleksi program IVLP 2016 ke USA. Meski secara tidak resmi saya sudah ber-email (atas arahan Pak Jum) ke Ms Stephanie, me-info-kan bahwa nama saya yang dinominasikan untuk mengikuti program tersebut, namun dalam email itu jelas saya memberi note bahwa nama saya masih tentative, dalam arti masih bersifat sementara, sembari menunggu arahan dan disposisi dari Gubernur.


Ada yang bilang kalau rezeki takkan kemana. Syukur Alhamdulillah disposisi itu turun berjenjang, dari Gubernur ke Kekda lalu ke Kepala BPMPKB, kemudian ke Kabid PP & PA. Akhirnya, Pak Jum secara resmi menominasikan saya untuk mengikuti seleksi program tersebut. Segera, dengan hati berbunga, saya buat surat dari BPMPKB Prov. DKI Jakarta, --officially-- yang menginformasikan bahwa saya lah yang dinominasikan untuk mengikuti proses seleksi IVLP 2016, ke email Ms. Stephanie. Alhamdulillah, satu tahapan langkah menuju ke Amerika telah dilalui.

Pesta dan Bahagia dari Kegagalan.

Akibat mengikuti proses lelang jabatan di BPTSP awal tahun 2015 lalu --maka karena system itu-- aku harus hengkang dari BPMPKB yang telah menempaku lebih kurang selama 5 tahun ini. Sejak awal Mei 2015 aku sudah tidak berkantor di Ahmad Yani, By Pass. Banyak kenangan dan romantika yang kuperoleh selama ini. Suka serta duka. Kejenuhan dan kedinamisan. Semuanya hadir silih berganti.

Jujur, rada kaget juga saat tahu bahwa listing gajiku per Mei 2015 sudah tidak tercantum lagi di BPMPKB. Ini berarti, secara de jure aku bukanlah pegawai BPMPKB. Kemana gerangan nyangkutnya? Walhasil, aku harus cari tahu dan menyelidiki ada dimana daftar gajiku itu. Beruntung seorang kawan memberikan clue. “Mat, mungkin gaji loe nyangkut di BPTSP, kan loe pernah daftar ikutan lelang di BPTSP.”
“Oh iya, mungkin juga ya,” batinku.

Akhirnya, selepas upacara hari Kebangkitan Nasional di IRTI Monas, bersama Pak Jum aku meluncur ke gedung BPTSP mencari tahu akar masalah dan sebab musabab status kepegawaianku. Nah, ternyata dugaan temanku benar adanya. Listing gajiku sudah ada di BPTSP. Menurut cerita dari Staf kepegawaian BPTSP, bahwa mereka telah berulangkali coba mengontakku, namun hasilnya selalu nihil. Bahkan pihak kepegawaian BPTSP telah menghubungiku sejak pertengahan awal Maret, namun sayangnya nomor HP yang mereka peroleh salah. Terjadi kekeliruan dan keterbalikan angka.

Jujur, saat mengikuti proses lelang jabatan, dan gagal, ada perasaan sedih dan kecewa. Kenapa aku bisa gagal? Padahal, aku telah mengidam-idamkan posisi dan jabatan itu. Terbayang saat hadir di acara pelantikan pejabat teman dan bersua dengan rekan-rekan yang lulus dan terlantik hari itu. Ada perasaan sedih. Mereka dilantik, kenapa aku gagal?  Bahkan rekan se-kantorku pun banyak yang ikut terlantik. Hanya aku seorang yang tidak terlantik. Sedih rasanya kalau mengingat itu. Bagimanapun juga kegagalan adalah hal yang pahit. Kegagalan bukan untuk di rayakan.

Namun, jalan takdir dan suratan nasib telah ditentukan. Bisa saja aku lulus dan dilantik, tapi apakah itu nantinya membuatku bahagia? Bisa saja aku peroleh nilai yang baik dalam proses seleksi, namun apakah itu membuatku nyaman dengan posisi dan jabatan yang aku peroleh? Allah SWT telah menggariskan-ku gagal, dan mencukupkan-ku hanya sebagai staf.

Kalau aku set back, aku bersyukur ditakdirkan gagal. Ada beberapa kejadian yang membuat aku mensyukuri kegagalan dan ketidakberhasilan-ku. Lho kenapa kegagalan layak disyukuri dan dirayakan? Ini hikmahnya. Andaikata aku lulus dan dilantik, maka akan terjadi:

Pertama; Aku menyesal dengan posisi dan jabatanku saat ini. Kedua; Aku terbebani dengan jabatan-ku dan tidak enjoy dengan semua itu.
Banyak teman bercerita dan berkeluh kesah kepadaku lantaran mereka tidak nyaman dan tidak enjoy dengan posisi sebagai pejabat saat ini.
“Enakan loe, mas, jadi staff. Nyesel gw ikutan lelang dan jadi pejabat,” kata si A, temenku.
“Masih enakan di kantor lama, disini gak bisa kemana-mana” kata si B, juga temanku.
“Ah, banyakan nombokin, gw, uang pribadi banyak kepake, enakan loe, mas jadi staf, nyantai gak ada beban,” sungut si C, masih temanku.
Pada intinya, semua teman yang aku kenal, menyesal ikut lelang jabatan dan jadi pejabat.

Meski aku gagal dalam lelang jabatan di BPTSP --lantaran kuota yang terbatas-- namun bila saja aku peroleh nilai lumayan baik, niscaya aku akan menjadi pejabat di tempat lain (ikut pelantikan berikutnya) tentu aku telah hengkang dari BPMPKB sekitar bulan Februari. Artinya semenjak Februari aku mungkin menjadi pejabat di kelurahan atau di sekolah. Dan, aku akan bergelut dengan suasana dan budaya kerja baru, yang berbeda dari tempatku kerja selama ini.

Mungkin ini yang orang sebut, bila rezeki, gak kan kemana. Saat aku gagal ikutan lelang, seharusnya, --sebagai konsekwensinya-- aku harus pindah ke BPTSP sebagai staf. Nah, dengan sistem itu, santer terdengar bahwa aku akan dipindahkan ke BPTSP. Tapi kapan? Bulan besok, 3 bulan lagi atau bahkan tidak sama sekali. Gosip berseliweran. Banyak pula ‘ledekan’ yang terdengar, “eh kapan pindah ke BPTSP?” Kata temanku. Aku pun tidak tahu persis kapan bisa segera pindah ke BPTSP. Aku hanya pasif menunggu telpon dari mereka. Dan, dilalahnya, staf kepegawaian di BPTSP gagal menghubungiku lantaran nomor yang mereka peroleh dari BKD, salah.

Mujur tampaknya. Dengan gagalnya mereka menghubungiku, akibatnya aku masih tertahan di BPMPKB hingga akhir April. Sepanjang masa itulah terjadi berbagai peristiwa, kegiatan, dan pekerjaan yang bisa mengubah segalanya. 2 (dua) bulan ‘bonus’ di BPMPKB membuatku berkesempatan jumpa dengan pihak Kedubes USA. Mungkin akan lain cerita bila mereka –staf BPTSP-- berhasil menghubungiku di bulan Maret itu, kesempatan ke USA akan terbang. (kisahnya dirubrik terpisah).


Beranjak dari kejadian itu, banyak hikmah yang aku petik. Ternyata berbaik sangka dengan Allah SWT itu suatu keniscayaan. “Ana ‘inda dzonni abdi, Aku menurut persangkaan hambaku,” begitu yang kerap kudengar dari ustazdku saat mengurai hikmah berbaik sangka dengan Rabb. Ada hikmah yang terkandung di balik suatu peristiwa. Aku selalu berpikir positif atas kegagalanku. Mungkin memang jalanku harus seperti ini dan tetap menjadi staf. Kembali ter-ngiang di telinga saat Ustazku mengutip firman Allah SWT, yakni, boleh jadi sesuatu yang kamu nilai baik, ternyata jelek di mata Tuhan. Dan sesuatu yang kamu nilai jelek, bisa jadi, ternyata baik di mata Tuhan.