Selasa, 24 Mei 2016

Para Pengemis Yang Tahu Hukum & Aturan

Disampingnya tampak tumpukan kardus besar yang berisi pakaian hangat, selimut, dan kebutuhan pribadi lainnya. Ia kulihat bersandar pada dinding pagar pembatas taman. Sesekali ia berdiri dan berucap dengan suara yang cukup jelas terdengar:”..give me your pennies, please.” Lelah, kembali ia bersandar dengan meletakkan botol gelas plastik sebagai wadah tempat menampung coin-coin pemberian orang-orang yang iba, yang lewat di depannya. Begitulah, kuamati aktivitas pengemis itu dari tempatku bersantap siang di sekitaran Dupont Circle, Washington DC.

Pandangan kualihkan ke sudut lain, masih di lokasi yang sama, terlihat pemuda, yang kutaksir masih berusia 30-an, berbadan tegap tanpa cacat. Ia bediri menyandar pada tiang lampu pengatur lalu lintas di persimpangan jalan, persis di depan toko buku dekat Dupont Circle. Ia kuperhatikan meracau tak jelas. Mungkin mabok, atau bisa jadi stress berat, lantaran ditinggal kekasih pergi, entahlah. Sesekali ia duduk. Sama dengan temannya di taman lingkar Dupont, tampak kertas karton bertuliskan: “Homeless, Need Money. Give Penny $ Please!” tergeletak dengan posisi tegak di dekat selangkangannya

Saat itu awal bulan Maret, musim dingin baru saja usai. Mereka, para pengemis dan penyandang masalah sosial atau lazim disebut homeless lantaran tidak punya rumah sedang keluar untuk menyambut datangnya musim semi setelah tinggal di shelter-shelter dan pusat penampungan yang mereka diami selama musim dingin. Hampir 3 purnama mereka tinggal disana. Dan kini, saatnya cuci mata mencari kesegaran suasana kota. 

Jujur saja, kaget juga aku saat baru sehari tiba di Ibukota Amerika, tatkala melangkah mengukur jalan, di sepanjang Pennsylvania Avenue, melihat dan menjumpai pengemis di jalan-jalan utama DC. Kagetku tentu beralasan. Tadinya kukira di negara maju macam Amerika ini mustahil ada pengemis, namun yang kulihat adalah sebaliknya. Ada pengemis juga disana. Mungkin inilah suatu keniscayaan hidup, dimanapun adanya. Entah itu negara kaya ataupun miskin (berkembang), selalu saja ada yang berkecukupan dan ada pula yang miskin (homeless).

Di DC dan Philadelphia, mereka, para kaum homeless, sangat mudah ditemukan. Jalan saja ke persimpangan jalan yang ramai, dimana banyak orang berhenti untuk menunggu lampu warna hijau menyala, tanda boleh menyebrang, atau bisa juga di taman-taman kota dengan lokasi view yang bagus, tempat dimana banyak orang berkumpul menikmati hangatnya mentari, niscaya di sana akan ada para homeless. Biasanya mereka berada di setiap perempatan.

Para gelandangan itu tidak berasal dari ras atau etnis tertentu saja, namun semua ras ada. Menariknya, baik di DC, Philly, St. Louis, dan Salt Lake City, tidak ada satupun gelandangan pengemis yang menyandang kecacatan tubuh, seperti banyak kita jumpai di Jakarta, semuanya sehat sempurna. Sehat dan kuat untuk bekerja. Bila melihat kondisi ini, tentu tak ada iba dalam diriku, namun anehnya, ada saja yang memberikan uang receh ke mereka. Namun itulah adanya. Entah apa yang menyebebkan mereka menjadi pengemis. Belum ada penelitian kualitatif yang di rilis yang bisa menjelaskan kenapa orang Amerika bisa jadi pengemis dan menggelandang di jalan-jalan.

Penasaran, aku coba menyelidik. Dari beberapa sumber yag kutanyai, biasanya mereka menjadi homeless karena bercerai atau berpisah dengan pasangannya. Lantaran bercerai, maka seluruh harta gono gini dibagi habis. Bagi pasangan yang bernasib sial, mungkin mereka akan terusir dari rumah dan tempat tinggalnya. Inilah yang menjadikan mereka homeless atau menggelandang, seperti yang kujumpai di Philly, dimana ada wanita umur sekitar 30 tahun dengan perut buncit tanda hamil, duduk di pojok antara jalan Chesnut dan jalan 13. Di pahanya terpangku kertas karton tercetak tebal: “Homeless, need money”.

Oh ya, meski menggelandang, mereka tidak mengganggu, atau mengancam para pejalan dengan kontak fisik, mereka hanya berkata-kata saja. Mereka tampaknya tahu hukum. Sekali mereka mengganggu, mereka akan berhadapan dengan petugas hukum. Dan, sepanjang mereka berada di areal publik, tak ada seorangpun yang berhak melarang mereka duduk, berdiri atau ngetem disana, even petugas ‘trantib’-nya kota DC. Ya, Amerika sangat menjunjung tinggi kebebasan individu dan tentu juga perlindungan terhadap setiap warga negaranya.

Sebagai negara adidaya, Amerika Serikat tentu sanggup melakukan apa saja. Dengan uang  yang ada, program dan kebijakan apa pun yang digulirkan tentu akan mudah diwujudkan. Begitupun dengan kebijakan pengentasan kemiskinan atau penanganan terhadap mereka yang menyandang masalah sosial, misalnya, tentu akan mudah di terapkan. Dan memang itu telah dilakukan. Banyak shelter dan tempat atau rumah aman bagi para penyandang tunawisma dibangun di pinggiran kota. Tujuannya apa lagi kalau bukan untuk menyediakan tempat yang aman dan nyaman bagi kaum homeless yang ada di Amerika. Namun yang terjadi adalah para homeless malahan keluar dari ‘rumah-rumah’ mereka untuk –mungkin- cuci mata ke pusat kota. Dan.


Meski keberadaan gelandangan itu tak mengganggu dan mengancam secara fisik kepada para pejalan kaki, namun tentu keberadaan mereka merusak keindahan kota atau bahasa sederhananya mengganggu pandangan mata. Dan itulah yang kulihat di kota-kota yang kusinggahi di Amerika, bahkan pemerintah kota (county) seakan tak berdaya menghadapi mereka. Inilah Amerika. Semuanya ada. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar