Saat melantik Ali Sadikin sebagai gubernur
Jakarta di April 1966, Soekarno, di ujung senja kekuasaanya, berpesan pada Ali
agar menjadikan kota ini mempunyai physical
face yang waardig (wajah
penampilan yang berharga) bagi Indonesia*. Untuk mewujudkan hal tersebut Jakarta
harus mempunyai national pride,
sesuatu yang menjadi kebanggaan nasional, sesuatu yang abadi, yang akan
dikenang oleh umat manusia. Itulah visi kedepan seorang Soekarno yang sudah
dapat menggambarkan akan seperti apa kota ini seharusnya dibangun.
Bung Karno, sebagai seorang pecinta wanita,
seni dan keindahan, tentu mengharapkan kota Jakarta dibangun dengan
memperhatikan aspek estetika dan sentuhan seni yang bernilai. Kita tahu, tahun
60 dan 70-an Jakarta laksana sebuah desa di kampung. Cuma bedanya, desa ini
sangat luas. Big Village, itulah
julukan yang disematkan media barat pada Jakarta. Tak ada keteraturan
didalamnya, serba semrawut. Keindahan kota hanya dapat dipancarkan oleh
sebidang ruang yang bernama bundaran HI dengan hotel Indonesia-nya, tak lebih
dari itu.
Nah, Jakarta sekarang tentu berbeda dengan
zaman Bung Karno. Banyak perubahan yang terjadi. Namun, bila kita bandingkan
Jakarta dengan kota-kota dari negara maju lainnya di dunia, tentu bagai langit
dan sumur. Sangat jauh berbeda.
Dalam lawatan muhibahku ke negara Paman Sam
Maret 2016 silam, aku terpesona dengan setiap tampilan, icon, dan penataan kota-kota
yang kusinggahi. Akan selalu ada kekhasan dan ciri khusus yang melekat dalam
masing-masing kota. Semuanya berbeda dengan aneka rupa, bentuk dan corak.
Washington DC misalnya, diwakilkan oleh
Washington Monument yang menjulang tinggi -persis seperti Monas-, dengan
jalan-jalan yang tertata rapi dan deretan bangunan yang sejajar tingginya. Sebagai
pusat pemerintahan Amerika Serikat, DC menampilkan banyak karya monumental
berupa patung-patung pahlawan dan monument peringatan perang yang pernah
dilakoni bangsa Amerika. DC layak menyandang julukan sebagai kota peringatan
atau kota yang tak pernah lupa akan jasa para pahlawan dan pendiri Amerika.
Terbang ke barat, ke St. Louis, di kota berjuluk
The Lau ini dulunya adalah wilayah Perancis. Oleh Jefferson, tanah di tepi
sungai Mississippi itu dibeli. Di Tanah Lusiana ini ada sebuah icon kota yang
sangat menawan dan artistic. Icon itu bernama “The Arch Gateway”, yang
berbentuk oval setengah lingkaran. The Arch sendiri dibangun untuk mengenang
visi Presiden Jefferson sebagai penanda dan peringatan akan ekspansi dan perluasan
wilayah Amerika ke arah barat.
Beranjak ke Philadelphia atau Philly, kota
ini di cirikan dengan Liberty Bell-nya. Bell ini adalah lonceng tanda
peringatan kemerdekaan Amerika di tahun 1776, dimana Philly adalah kota tempat
naskah kemerdekaan Amarika ditandatangani. Kini Liberty Bell menjadi icon
Philly dan di tempatkan di Independence National Historical Park, dekat
alun-alun kota.
Begitupun dengan Salt Lake City, Ibukota
negara bagian Utah ini terkenal dengan mayoritas penganut ajaran mormon. Gereja mormon di pusat kota layak di
sandingkan dengan kuil Taj Mahal, di India sebagai icon kota berpenduduk 187
ribu jiwa ini.
Itulah Amerika, dari timur ke barat kota yang
kusambangi mempunyai bentuk dan ciri khas yang unik, yang tidak dimiliki oleh
wilayah atau kota lainnya. Keunikan tersebut terefleksikan dari monument, tugu
atau karya seni yang bernilai sejarah yang diabadikan dan ditempatkan di pusat
kota. Tiap kota berupaya berlomba memunculkan ke-khasan dalam kotanya. Kekhasan
itu yang selalu ditonjolkan, dan menjelma menjadi icon dan landmark kota.
Beruntung kita punya Soekarno, presiden yang
berjiwa seni dengan visi jauh ke depan. Di zamannya, di Jakarta dibangun Monas;
Patung Tugu Tani; Patung Pancoran; dan Tugu Selamat Datang. Istananya pun, -baik
di Bogor maupun di Jakarta- bertaburan karya-karya seni dari seniman top
mancanegara. Bayangkan, bila Bung Karno tak berbuat itu, mungkin kota ini kehilangan
‘ruh’nya. Tak ada estetika dan patung-patung bernilai seni di Jakarta. Mungkin
yang ada hanya bangunan tinggi menjulang dengan pemukiman kumuh di kiri
kanannya.
Selain monas di Jakarta, Jembatan Suramadu di
Surabaya, adakah kota-kota lainnya di Indonesia yang mempunyai physical face yang waardig yang menjadi kebanggan warga kota akan kotanya? Bila belum,
maka, menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai bagian warga kota untuk menciptakan
sesuatu yang, bahkan bisa menjadi national
pride, agar umat manusia seribu tahun lagi akan terus mengingat dan
mengenang dit heft jij gedaan. Ini
yang kita warisi untuk anak cucu kita kelak. Ini yang akan kita persembahkan
untuk generasi mendatang. Kalau bukan kita yang memulai, siapa lagi?
*dinukil dari buku Bang Ali Demi Jakarta,
karya Ramadhan, KH.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar