Rabu, 19 Oktober 2016

Ternyata Staf Pun Mempunyai Kasta

Saya ingin berbagi kisah tentang staf di kantor saya.
Bagi kami yang bekerja di instansi pemerintah, dalam hierarki kedudukan dan jabatan, ada di kenal dengan yang namanya staf dan pimpinan atau pejabat struktural. Selain pejabat, tentu ada staf. Pejabat dibantu oleh beberapa orang staf. Bisa satu staf, bisa pula banyak, tergantung kebutuhan organisasi. Bahkan adapula pejabat yang tidak mempunyai seorang pun staf. Bila ini terjadi, biasanya terdapat pada lingkup organisasi yang kecil.

Bagi pimpinan yang punya staf banyak, jangan senang dulu. Adakalanya banyak staf namun tak satu pun staf itu yang bisa kerja. Inilah yang dikatakan pimpinan yang punya staf namun tanpa staf. Praktis Ia bekerja sendirian. Tak ada seorang staf pun yang dapat diandalkan untuk membantunya bekerja, bahkan staf itu menjadi beban. Gimana gak beban, bila saban makan siang bersama, si pimpinan akan mentraktir para staf yang notabene adalah anak buahnya sendiri, hehe..

Kita mungkin pernah dengar istilah staf ahli yang merujuk kepada jabatan seseorang. Biasanya mantan pejabat yang di-lengser-kan akan di tempatkan posisinya di jajaran staf ahli. Di lingkungan militer kejadian ini adalah sesuatu yang jamak dan lazim. Yang ingin saya tekankan adalah sebenarnya tidak ada perbedaan antara staf ahli, staf senior atau staf lainnya. Staf ya staf. Kroco (titik). Tak lebih dan kurang. Meski kami sama-sama staf, namun, diantara kami para staf, ada ‘kasta’ tak tertulis yang telah dipahami oleh setiap staf, lantaran itulah terjalin harmoni diantara kami, sehingga antara staf satu dengan lainnya saling tahu diri dan respek diantara mereka.

Lalu -meski sama-sama staf- yang membedakan antara staf yang satu dengan staf yang lainnya adalah pada golongan dan tingkatan pangkat, walkasil gaji dan tunjangan diantara kami, para staf pun berbeda. Staf golongan 3A tentu berbeda dengan staf golongan 2A. Perbedaan (tunjangan) nya bisa bagai langit dan sumur. Kebanyakan staf 3A berlatar belakang pendidikan S1, berbeda dengan 2A yang hanya tamatan SMA. Pola pikir dan attitude mereka pun berbeda, meskipun sama-sama staf, hehe..  

Nah, lantaran perbedaan ‘kasta’ pendidikan inilah, staf pun ada ‘golongannya’-nya, yakni mulai dari yang ‘prestise’-nya tertinggi yakni staf ahli atau staf senior hingga staf rendahan alias staf  yang tidak mempunyai keahlian apa-apa, selain kerjanya di suruh-suruh. Kedua golongan staf inilah yang mewarnai blantika perbirokrasian di tanah air, dimana ada sebagian staf dengan keahlian yang mumpuni dan banyak sekali staf yang tak bisa apa-apa. Ada staf yang sering kerja dan ada pula staf yang hanya ngisi absen lalu duduk dan baca koran saja sepanjang hari.

Lantaran staf rendahan itu gak bisa ngapa-ngapain, maka oleh bos, tiap harinya disuruh kerja yang enteng-enteng aja, seperti disuruh moto copi, disuruh nge-fax ataupun di suruh nyopirin bos. Merekalah kasta terendah dari staf. Ya, satf rendahan ini gak bisa di suruh ngapa-ngapain selain pekerjaan yang tak membutuhkan keahlian komputer ataupun di suruh mikir yang rada berat-berat. Ciri-ciri staf rendahan model begini kebanyakan adalah usia mereka sudah mendekati pensiun; Menjadi PNS sejak zamannya Pak Harto, dimana masuk (PNS) nya pun gak pake tes, hanya bermodalkan izajah SD/SMP dan tentu dengan koneksi atau kenalan kepada pejabat yang membawanya. Biasanya si pejabat itu akan merekrut saudara atau orang sekampungnya untuk ikut bekerja di instransinya. Untuk loyalitas, mereka pasti sangat loyal kepada yang ‘membawa’-nya. Hutang budi. Maka tak heran bila pada zaman itu suatu instansi atau kantor dikuasai oleh etnis tertentu.  Di Pemprov DKI misalnya, pada rentang tahun 80 hingga 90-an terkenal dengan istilah yang disingkat “Babi Kuning”, suatu akronim yang merujuk ke etnis tertentu.

Diatas staf rendahan ini, masih ada juga staf yang rada mendingan. Ini kasta menengah. Mereka masih bisa diandalkan untuk bantu-bantu staf lainnya. Konduite kerjannya pun lumayan, bisa disuruh ngetik ataupun membantu menyiapkan kegiatan atau acara. Staf model begini kebanyakan diisi oleh para lulusan SLTA yang masih ada. Sama seperti staf rendahan, mereka masuk jadi PNS sudah lama, sejak rezim Orde Baru. Karena ijazah mereka sebatas SLTA, maka tak ada yang bisa diharapkan dari mereka selain aktivitas administrasi belaka, semisal ngetik (itupun sudah dikonsep oleh staf senior atau pejabat-nya), menghubungi narasumber, ataupun mengurus perbal surat dinas.

Nah, terakhir adalah golongan staf yang rajin kerja, mikir, dan ngonsep inilah yang menduduki kasta tertinggi. Mereka (staf senior) inilah yang kontribusinya benar-benar dibutuhkan republik ini. Ya, ini lantaran pejabat –kebanyakan- bisanya hanya nyuruh doang. Sedangkan yang mengkonsep, memikir dan meng-create adalah para staf senior. Mereka, karena nasib yang belum berpihak, belum diangkat jadi pejabat, masih menyandang status staf. Jika staf rendahan pulangnya selalu tenggo, maka staf senior ini sering sekali pulang lembur, kerja pagi pulang larut malam. Saking giatnya kerja, banyak diantara mereka yang tumbang, bila fisik tak kuat, sakit demam typoid akibatnya, sungguh kasihan..

Boleh dibilang yang mengalami suka duka dunia per-staf-an adalah para staf senior ini. Dinamika dan asam garam kerja jadi pegawai negeri benar-benar dirasakan oleh mereka. Bayangkan saja, disaat orang lain sudah tiba di rumah dan bercengkrama dengan anak istrinya, para staf senior ini masih berjibaku dan berkutat dengan kerjaan-nya. Menyusun anggran dan kegiatan, misalnya menjadi menu utamanya. Meng-create suatu pola program dan kebijakan adalah santapan harian mereka. Ringkasnya tiada hari tanpa berpikir dan berkarya. (Bagaimana dengan) Pimpinan? Ya tahu beres aja. Kebanyakan mereka (pejabat) sudah sibuk dengan kegiatan seremonial ataupun pendampingan. Namun demikian mereka juga full supported kepada anak buahnya (staf senior) yang kerja. Dengan ‘dignity’-nya mereka memberikan supervisi, arahan dan persetujuan terhadap rancangan kerja yang dibuat oleh staf senior.

Kalau tadi kita bicara duka, maka sukanya adalah kami para staf senior ini sering kali ditugaskan keluar kota bahkan keluar negeri sampai ke Amerika untuk mengikuti pelatihan atau acara yang berkaitan dengan kedinasan. Untung-untungan juga sih, tergantung rezeki, pasalnya adapula undangan kegiatan/program yang ditujukan langsung dan harus dihadiri oleh si pejabat. Namun adakalanya pula undangan itu ditujukan -karena berkaitan dengan hal-hal teknis yang hanya dikuasai oleh staf- kepada staf senior, jadilah disposisi itu jatuh ke tangan mereka.


Ya, begitulah romantika kerja, suka dan duka kami para staf senior, dimana pengabdian dan dedikasi kami tak pernah terlihat. Kami selalu bergerak dibelakang layar, ibaratnya yang punya susu kerbau, yang punya nama sapi. Yang kerja kami, yang punya nama pimpinan/pejabat, hehe.. 

Senin, 17 Oktober 2016

Cerita Tentang Orang Kaya di Jakarta

Banyak yang bilang bahwa kaya dan miskin itu relatif. Bagaimana mengukur seseorang kaya atau miskin. Apa parameternya? Apa tolak ukurnya? Bagi saya pribadi, untuk menilai seseorang masuk golongan kaya atau tidak kaya (sengaja saya gunakan kata tidak kaya untuk menggantikan kata miskin) yakni bila ia memiliki rumah pribadi (bukan ngontrak atau masih numpang dengan orang tua/mertua, hehe..) berlokasi MASIH di Jakarta, lebih spesifik lagi di kawasan Menteng, Kebayoran Baru, Kemang, dan Pondok Indah, dengan luas tanah sekitar –sedikitnya-- 500 meter persegi, plus punya kendaraan roda empat tentunya, dan penghasilan sebulan at least 20 jutaan. It’s simple parameter. Lebih dari itu, berarti kaya bingits. Nah, justru, bagi orang yang kaya bingits, bila ukurannya hanya memakai, saya punya parameter, seperti diatas, bisa jadi mereka masih dianggap belum kaya atau masuk kategori orang yang biasa-biasa saja. Jadi, mungkin inilah makna relativitas dari kekayaan atau ketidak-kayaan itu sendiri.

Jika saya amati sekilas, ada 2 (dua) type atau golongan orang kaya. Pertama; Orang kaya yang tahu bahwa ia kaya. Ia sadar bahwa ia orang kaya dan tahu akan kemana uang dan harta kekayaannya itu akan ia gunakan. Lantaran tahu bahwa ia kaya, maka ia nikmati harta kekayaannya sebaik-baiknya. Ia tidak ingin dibelenggu oleh harta dan kekayaanya, justru gunakan uang dan hartanya untuk bersenang-senang. Tiada hari tanpa kebahagiaan, tawa dan canda.

Banyak teman saya memanfaatkan kekayaannya untuk kesenangan pribadi dan keluarganya. Saban semester diisi dengan jalan-jalan, wisata kuliner, spa, hangout, dan sebagainya. Sering saya jumpai dalam updetan status di fesbuk-nya, teman saya terlihat sedang ber-selfie dengan latar belakang Menara Eifel. Di lain kesempatan saya lihat pula ia berada di Patung Liberty, NY.

Nah, menariknya golongan ini mampu mengimplementasikan kekayaanya dengan amal sosial yang bernilai ibadah. Mereka membelanjakan kekayaannya --disamping untuk kesenangan pribadi-- juga untuk kemaslahatan umat manusia. Mereka mendonasikan sebagian –entah besar atau kecil—harta yang dimiliki untuk amal ibadah sosial secara simultan dan beriringan. Tak jarang mereka saban tahun suka ber-umroh ke Masjidil Haram, Kerap mengundang anak yatim untuk perayaan hari ulang tahunnya ataupun perayaan kesyukuran lainnya. Bahkan, saking ‘riya’ nya foto-foto aktivitas sosial dengan para pengurus panti sosial di unggah di medsos. Dengan kata lain, Ia dan harta kekayaannya bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia. Inilah jenis atau type orang kaya yang saya istilahkan “High Quality Rich.” Orang kaya model ini adalah mereka yang sadar bahwa meraka kaya sehingga mampu dan mendayagunakan potensi kekayaannya untuk sesuatu yang bernilai sosial, produktif, rekreatif, dan multi useful. Tegasnya, kekayaan yang ia miliki mampu membuat ia dihormati, dipandang dan dianggap oleh masyarakat sekitar.

Nah, ada pula orang kaya yang sadar bahwa ia kaya namun mereka membelanjakan kekayaannya hanya untuk kepentingan dan ego pribadi dan keluarga saja tanpa memperhatikan lingkungan sekitar. Bahasa sosiologinya “Asosial. Tidak peduli akan nasib tetangga yang kesusahan. Tidak care terhadap anak yatim dan janda sekitar rumah yang perlu disantuni. Bahkan, tidak pernah ikut iuran satpam atau iuran RT/RW. Bila ada tetangga selemparan rumah yang meninggal, ia tidak melayat ataupun menitipkan amplop uang duka kepada shohibul musibah. Golongan ini berprisnsip: “gw gak ngerugiin loe, so jangan janggu gw.” “Loe asik, gw asik.” Walhasil, mereka menikmati kekayaannya hanya untuk kepentingan diri sendiri, hanya untuk pemuasan ego dan nafsu pribadi, tanpa peduli dengan lingkungan masyarakat sekitar. Sepanjang tidak merugikan orang lain, buat apa pusing mikirin orang lain. Ego lah yang timbul.

Sebaliknya, ada pula golongan kedua, yakni orang kaya yang tidak sadar bahwa ia kaya sehinga tidak bisa menikmati dan memanfaatkan harta kekayaannya. Mereka diperbudak oleh hartanya. Mereka ini, sibuk bekerja dari pagi buta hingga malam berselimut gelap. Yang ada dibenaknya bagaimana uang hari ini terkumpul banyak. Buka toko dipagi hari, berdagang seharian di toko, tutup toko lalu pulang, begitu seterusnya. Bagi mereka yang kerja kantoran, eksekutif papan atas, misalnya, pergi saat belum tampak mentari, pas jam pulang tak sempat bersua dengan kelembutan mentari. Jika saya lirik dari penampilannya tentu gajinya sekitar 30 jutaan. Mobil keluaran terbaru, walaupun masih ada sisa kredit 12 bulan.

Karena tidak sadar bahwa ia kaya, maka hampir dibilang tidak ada kamus ber-leisure dan bersenang-senang dalam hidup mereka. Tiap akhir pekan menghadang, hanya pergi ke mall lalu balik ke rumah. Tak pernah sekalipun saya lihat keluarga mereka plezier ke Bali, misalnya. Namun demikian, beruntung mereka masih mau iuran RT/RW, masih mau nyumbang pembangunan gedung PAUD, dan masih peduli dengan menyantuni anak tetangga yang ileran dan belekan lantaran kurang gizi. Menarik memang, meski gak pernah jalan-jalan ke Lombok, mereka juga masih sempet-sempetnya nyumbang kegiatan maulid Nabi SAW di mushola deket rumah. Golongan ini ‘pelit’ terhadap diri sendiri, namun royal terhadap lingkungan sekitar. Mereka masih mau bersosialisasi dengan warga sekitar tempat tinggal.

Nah, celakanya golongan kedua ini adalah meski kaya, namun tidak sadar ia kaya malahan justru apaptis terhadap lingkungan sosialnya. Sungguh, saya kasihan terhadap mereka, tidak bahagia hidupnya. Dibudak oleh harta, tanpa mampu menikmatinya. Pergi pagi, pulang malam, begitu saban hari menumpuk dan mengumpulkan harta. Apesnya lagi, dalam tata pergaulan masyarakat pun golongan ini nyaris diacuhkan bahkan tidak di reken keberadaannya oleh Pak RT/RW. Kalau ia mati, entah ketabrak Bus TransJakarta atau tertimpa pohon tumbang, dipastikan gak ‘kan ada orang yang men-shalatinya, bahkan tetangga kiri kanan pun segan bertandang ke rumahnya tuk ngelawat.  


Maka, beruntunglah kita bila diamanahi kekayaan oleh Tuhan YME dan sadar bahwa kita kaya karena-Nya dan membelanjakan kekayaan itu untuk diri sendiri, keluarga, dan masyarakat sekitar, amien.