Mami
sangat dekat dengan semua ponakannya. Namun diantara keponakan-keponakan mami,
hanya anak-anak Wak Iyom lah yang paling dekat dengannya. Bukan mami pilih
kasih, namun lantaran anak-anak Wak Iyom tinggalnya dekat dengan mami. Bila
sepupu-sepupuku yang lain memanggil mamiku dengan panggilan “Encing” atau “Ncing
Omah”, maka anak-anak Wak Iyom, semuanya, memanggil mamiku dengan panggilan
Ibu. Mamiku sudah dianggap ibunya sendiri, pengganti ibu mereka yang wafat. Ini
bukti betapa dekatnya mereka dengan mamiku.
Semasa
hidupnya, Wak Iyom sangat aktif berkegiatan di luar rumah. Beliau berbeda
dengan kakaknya Maemunah, ataupun adiknya, yakni mamiku, yang seringan di
rumah. Mungkin kalau zaman sekarang, beliau ini typikal wanita karier. Ia
pernah berkarier di kantor kelurahan, sebagai staf potensial di Kelurahan
Bangka. Mungkin bila umurnya tak pendek, Wak Iyom ini bakalan diangkat sebagai
PNS Pemprov DKI Jakarta dan bukan tak mungkin akan menjadi walikota selevel
Sylviana Murni, perempuan Betawi yang berkarier dari bawah. Wak Iyom memang
wanita multi talent. Tipe pekerja keras. Sayang, Tuhan lebih sayang pada Wak-ku
ini. Ia wafat dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih membutuhkan belaian
kasih sayangnya.
Begitulah,
selepas kematian Wak Iyom, anak-anaknya diasuh oleh nenekku. Hasil didikan dan
asuhan nenekku membuahkan hasil positif. Tak ada dari anak-anak wak iyom yang keleleran tak terurus dan menjadi beban
masyarakat. Semuanya berhasil jadi orang. Dan, buah tak jatuh jauh dari
pohonnya. Polah, tingkah, dan jejak Wak Iyom ini diteruskan oleh salah satu
putrinya. Ada satu anaknya yang mewarisi bakatnya dalam bekerja. Penasaran
ingin mendengar kisahnya? Oke, sedikit aku ingin menceritakan tentang sepupuku
yang satu ini.
Sepupuku
ini bukan lah teman sepermainanku, usianya jauh diatasku sekitar 10 tahunan. Ia
seumuran dengan Bang Ojih Amin dan Bang Udin Naseh. Meski usia kami terentang
jarak yang tak pendek, namun hubungan keluargaku dengannya sangat dekat. Meski jarak
rumah nenekku dengan rumah mamiku tak dekat, namun hampir saban hari sepupuku
ini mampir ke rumah mamiku. Ya, wajar saja karena mamiku adalah bibinya. Segala
macam persoalan yang terjadi tentu diadukan pada mamiku yang secara emosional dekat
dengannya. Sepulang kerja, misalnya, ia kerap mampir ke rumah mamiku untuk
memandikan adikku yang bontot, yang masih kecil. Selepas itu, ia kerap membantu
mamiku di dapur. Diusianya yang masih remaja, ia memang telah mulai bekerja
banting tulang membiayai hidupnya. Itu terjadi tahun 85-an, ketika aku masih SD
Garis
tangan dan nasib seseorang memang unik. Sepupuku ini, bila bukan karena didikan
nenekku, khususnya dan saudara-saudara ibunya, mungkn takkan pernah jadi orang.
Selepas Tsanawiyah, ia diarahkan nenekku untuk terus berkarier atau melanjutkan
pendidikan ke jenjang agama. Ke Aliyah, tepatnya. Namun ia menampik, ia lebih
memilih pindah jurusan dan bersekolah di SMA umum. Nenek tentu kecewa, namun beliau
tak mengekang keinginannya. Ia bebaskan cucunya meniti jalannya, sambil terus
mengarahkannya.
Nah,
selepas SMA, kebetulan ada tetangga kontrakan rumah nenek yang bekerja sebagai
PNS di kementerian. Dia punya anak perempuan. Anaknya ini pengen juga
dimasukkan sebagai PNS. Harap maklum, zaman dulu, jadi PNS sangat mudah, asal
ada yang bawa, pasti keterima. Berbeda dengan sekarang, yang butuh seleksi dan
sikut sana sikut sini, bahkan ada yang berani sampai nyogok ratusan juta. Lantaran si anak butuh teman untuk pulang
pergi bareng, maka tawaran bekerja jadi honorer di kementerian tersebut
ditawarkan kepada nenekku. Dengan sigap nenekku mengajukan cucunya yang baru
tamat SMA untuk bisa bekerja menemani anak tetangga kontrakan itu.
Sampai
akhirnya sepupuku ini mulai bekerja sebagai pegawai honorer rendahan yang
tugasnya hanya baca Koran dan mengetik berkas, yang kadang tak perlu diketik,
heheh.. Ya, meski gajinya sebagai abdi Negara sangat sedikit, namun ia tak
bergeming untuk pindah haluan, melamar bekerja ke tempat lainnya. Ia menekuni
pekerjaanya dengan sabar dan telaten. Sebagai tambahan untuk uang jajan,
sewaktu remaja, sepupuku ini cukup kreatif, ia membuat es rujak. Bumbu asinan
rujak yang berisi kedondong, dan bangkoang, di iris tipis tipis dan dibungkus
kedalam pelastik lalu dimasukkan ke dalam freezer. Es rujak ini dijajakan oleh
Budi, orang kontrakan rumah. Dagangan sepupuku cukup laris, hampir tak tersisa.
Rasanya seger, manis asem asin.
Lantaran
sepupuku sudah bekerja, hanya di hari minggulah aku sering bertemu dengannya. Aku
masih ingat, ketika aku berkisar di kelas 5 dan 6 Sekolah Dasar, kebetulan
waktu itu lagi doyan-doyannya membaca. Segala macam Koran, buku, dan majalah
aku baca. Lantaran minimnya buku yang tersedia, sepupuku ini paham kebutuhanku.
Ia tahu kehausanku akan buku. Suatu hari ia berkata: “Mat, kakak punya buku bagus-bagus di kantor, kamu mau dibawain buku
tentang apa? besok kakak bawain deh”
“Oh ya,” seruku dengan bersemangat.
Ketika
itu aku sangat tertarik membaca kisah perjuangan pahlawan-pahlawan nasional
Indonesia. Kupesan padanya agar dibawakan buku-buku biografi dari Ahmad Yani;
Adam Malik; Soekarno; Syahrir; dan Bung Hatta. Benar saja, besoknya ia bawa
kumpulan buku yang aku minta. Betapa girang hati ini mendapatkan buku-buku
yang, bahkan, kutaksir anak-anak lain seusiaku pasti belum pernah membacanya. Bukunya
tebal-tebal, ratusan halaman. Sehabis kulahap buku-buku itu, dibawakannya lagi
aku buku yang lain. Ya, aku sangat berhutang budi padanya. Berkat bawaan
buku-buku itu, kegemaranku membaca kisah biografi tokoh terkenal terus
berlanjut hingga sekarang.
Aku
masih ingat, saking sayangnya padaku, semasa pacaran dengan suaminya sekarang,
lantaran butuh orang ketiga, maka sepupuku ini mengajaku nonton film. Pacarnya
pun mengajak adiknya. Jadilah kami berempat menonton film “Pengkhianatan
G30S/PKI”. Film ini belum pernah tayang di televisi, hanya tayang di bioskop. Kami
nonton di Adi Theater, di Blok A. Ini adalah pertama kalinya aku tahu gedung
bioskop. Sehabis nonton, karena pacarnya orang Padang, kami makan sate padang
di parkiran depan pasar.
Oh
ya, kehidupan dan kisah asmara sepupuku ini bagaikan kisah Galih dan Ratna di
film tahun 80-an, yang dibintangi oleh Rano Karno dan Yessy Gusman. Kisah
asmara sepupuku ini tidak direstui oleh nenek kami. Nenek menetang keras
hubungan mereka. Lantaran tak peroleh restu, mereka pun seringan back street. Namun cinta tak menghalangi mereka untuk
meyakinkan nenek. Nenek selalu bilang: “Kenapa
sih loe suka ama Padang? Padahal anak sini yang demen loe kan banyak?” Bagi
kami orang Betawi kalau bisa sebaiknya menikah dengan orang yang sesuku atau paling
tidak Jawa atau Sunda tak masalah. Sebaliknya, jangan orang seberang (Sumatra/Sulawesi, dsb). Saat
itu di lingkungan kami ada ledekan kalau orang Padang itu bengkok, entah apa-nya
yang bengkok, heheh…
“Pokoknya gw gak demen dah ama padang”. Kalimat
itu sering diucapkan nenek ketika marah dan meledek sepupuku. Sepupuku
menghadapinya dengan sabar. Kadang kala ia memberi argument kepada nenek bahwa
jangan melihat seseorang dari suku-nya. “Lha
nenek aja kawin ama china”, begitu kerap ia men-skak neneknya. Mendengar ucapan itu, nenek nyaris tak berkutik, KO.
Beliau nyerah. Mungkin karena si Padang
ini pendekatannya nyaris sempurna kepada mami dan nenek, akhirnya beliau
merestui hubungan antara sepupuku dan si Uda. Mereka pun menikah. Tanda nenek
merestui hubungan itu, beliau pun menggelar pesta yang meriah bagi mereka,
pesta 2 hari 2 malam.
Begitulah,
waktu terus bergulir. Tampaknya dewi fortuna masih terus melingkupi sepupuku
ini. Kariernya terus menapak. Sejujurnya, menurut penilaianku, sepupuku ini
biasa-biasa saja. Orangnya pintar sih, tapi tak pintar-pintar amat. Standar lah. Ibaratnya, bila ada requirement atau persyaratan, ia sekadar
masuk syarat saja. Meski demikian, seperti yang pernah diucapkan Oom Ded padaku
bahwa orang pintar akan kalah dengan orang yang beruntung. Nah, sepupuku ini
ditakdirkan sebagai orang yang beruntung. Mau bukti? Mari kita runut satu
persatu:
Pertama;
Setamat SMA, bila anak-anak yang lain melanjutkan kuliah, ia memutuskan untuk
bekerja ketimbang kuliah. Bekerja pun ditawarkan orang, tanpa sengaja. Ajukan
lamaran, langsung diterima bekerja. Kedua; saat berkarier dan menjadi PNS, ia
mengambil S2 di UI, itupun dengan biaya talangan alias minjam sana-sini sebelum
diganti oleh Negara. Nah, teman S2 sepupuku ini adalah seorang menteri di tempatnya
bekerja. Maka selepas S2, lantaran temen sekelas sang menteri, sepupuku ini
langsung mendapat promosi menjadi pejabat eselon 4. Lepas dari sana, tampaknya
keberuntungan tak mau lepas darinya, kariernya terus meroket hingga mencapai
level eselon 2. Itu semua terjadi, disamping tentunya dengan sedikit kepintaran
plus dibumbui dengan keberuntungan, maka klop sudah pencapaian sepupuku ini. Ia
kini menjabat direktur di kantor yang cukup prestisius.
Kini,
dengan jabatan sekelas Wakil Walikota di Jakarta, tampaknya mimpi Wak Iyom
telah digenapkan oleh sepupuku ini. Seperti Wak Iyom yang berkarier dari bawah,
Ia menapaki kariernya setapak demi setapak hingga menjadi orang dan dipanggil
“Ibu” oleh anak buahnya. Oh ya, ngomong-ngomong siapa sih sepupuku itu?
Penasaran…? Tampaknya ia hanya tertawa membaca kisahku ini. Sudahlah tak usah
diungkap, toh para sepupuku yang lain tentu tahu siapa yang aku maksud, heheh…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar