Kamis, 20 April 2017

Tentang Sepupuku (3)

Mami sangat dekat dengan semua ponakannya. Namun diantara keponakan-keponakan mami, hanya anak-anak Wak Iyom lah yang paling dekat dengannya. Bukan mami pilih kasih, namun lantaran anak-anak Wak Iyom tinggalnya dekat dengan mami. Bila sepupu-sepupuku yang lain memanggil mamiku dengan panggilan “Encing” atau “Ncing Omah”, maka anak-anak Wak Iyom, semuanya, memanggil mamiku dengan panggilan Ibu. Mamiku sudah dianggap ibunya sendiri, pengganti ibu mereka yang wafat. Ini bukti betapa dekatnya mereka dengan mamiku.

Semasa hidupnya, Wak Iyom sangat aktif berkegiatan di luar rumah. Beliau berbeda dengan kakaknya Maemunah, ataupun adiknya, yakni mamiku, yang seringan di rumah. Mungkin kalau zaman sekarang, beliau ini typikal wanita karier. Ia pernah berkarier di kantor kelurahan, sebagai staf potensial di Kelurahan Bangka. Mungkin bila umurnya tak pendek, Wak Iyom ini bakalan diangkat sebagai PNS Pemprov DKI Jakarta dan bukan tak mungkin akan menjadi walikota selevel Sylviana Murni, perempuan Betawi yang berkarier dari bawah. Wak Iyom memang wanita multi talent. Tipe pekerja keras. Sayang, Tuhan lebih sayang pada Wak-ku ini. Ia wafat dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih membutuhkan belaian kasih sayangnya.

Begitulah, selepas kematian Wak Iyom, anak-anaknya diasuh oleh nenekku. Hasil didikan dan asuhan nenekku membuahkan hasil positif. Tak ada dari anak-anak wak iyom yang keleleran tak terurus dan menjadi beban masyarakat. Semuanya berhasil jadi orang. Dan, buah tak jatuh jauh dari pohonnya. Polah, tingkah, dan jejak Wak Iyom ini diteruskan oleh salah satu putrinya. Ada satu anaknya yang mewarisi bakatnya dalam bekerja. Penasaran ingin mendengar kisahnya? Oke, sedikit aku ingin menceritakan tentang sepupuku yang satu ini.

Sepupuku ini bukan lah teman sepermainanku, usianya jauh diatasku sekitar 10 tahunan. Ia seumuran dengan Bang Ojih Amin dan Bang Udin Naseh. Meski usia kami terentang jarak yang tak pendek, namun hubungan keluargaku dengannya sangat dekat. Meski jarak rumah nenekku dengan rumah mamiku tak dekat, namun hampir saban hari sepupuku ini mampir ke rumah mamiku. Ya, wajar saja karena mamiku adalah bibinya. Segala macam persoalan yang terjadi tentu diadukan pada mamiku yang secara emosional dekat dengannya. Sepulang kerja, misalnya, ia kerap mampir ke rumah mamiku untuk memandikan adikku yang bontot, yang masih kecil. Selepas itu, ia kerap membantu mamiku di dapur. Diusianya yang masih remaja, ia memang telah mulai bekerja banting tulang membiayai hidupnya. Itu terjadi tahun 85-an, ketika aku masih SD

Garis tangan dan nasib seseorang memang unik. Sepupuku ini, bila bukan karena didikan nenekku, khususnya dan saudara-saudara ibunya, mungkn takkan pernah jadi orang. Selepas Tsanawiyah, ia diarahkan nenekku untuk terus berkarier atau melanjutkan pendidikan ke jenjang agama. Ke Aliyah, tepatnya. Namun ia menampik, ia lebih memilih pindah jurusan dan bersekolah di SMA umum. Nenek tentu kecewa, namun beliau tak mengekang keinginannya. Ia bebaskan cucunya meniti jalannya, sambil terus mengarahkannya.

Nah, selepas SMA, kebetulan ada tetangga kontrakan rumah nenek yang bekerja sebagai PNS di kementerian. Dia punya anak perempuan. Anaknya ini pengen juga dimasukkan sebagai PNS. Harap maklum, zaman dulu, jadi PNS sangat mudah, asal ada yang bawa, pasti keterima. Berbeda dengan sekarang, yang butuh seleksi dan sikut sana sikut sini, bahkan ada yang berani sampai nyogok ratusan juta. Lantaran si anak butuh teman untuk pulang pergi bareng, maka tawaran bekerja jadi honorer di kementerian tersebut ditawarkan kepada nenekku. Dengan sigap nenekku mengajukan cucunya yang baru tamat SMA untuk bisa bekerja menemani anak tetangga kontrakan itu.

Sampai akhirnya sepupuku ini mulai bekerja sebagai pegawai honorer rendahan yang tugasnya hanya baca Koran dan mengetik berkas, yang kadang tak perlu diketik, heheh.. Ya, meski gajinya sebagai abdi Negara sangat sedikit, namun ia tak bergeming untuk pindah haluan, melamar bekerja ke tempat lainnya. Ia menekuni pekerjaanya dengan sabar dan telaten. Sebagai tambahan untuk uang jajan, sewaktu remaja, sepupuku ini cukup kreatif, ia membuat es rujak. Bumbu asinan rujak yang berisi kedondong, dan bangkoang, di iris tipis tipis dan dibungkus kedalam pelastik lalu dimasukkan ke dalam freezer. Es rujak ini dijajakan oleh Budi, orang kontrakan rumah. Dagangan sepupuku cukup laris, hampir tak tersisa. Rasanya seger, manis asem asin.

Lantaran sepupuku sudah bekerja, hanya di hari minggulah aku sering bertemu dengannya. Aku masih ingat, ketika aku berkisar di kelas 5 dan 6 Sekolah Dasar, kebetulan waktu itu lagi doyan-doyannya membaca. Segala macam Koran, buku, dan majalah aku baca. Lantaran minimnya buku yang tersedia, sepupuku ini paham kebutuhanku. Ia tahu kehausanku akan buku. Suatu hari ia berkata: “Mat, kakak punya buku bagus-bagus di kantor, kamu mau dibawain buku tentang apa? besok kakak bawain deh
Oh ya,” seruku dengan bersemangat.
Ketika itu aku sangat tertarik membaca kisah perjuangan pahlawan-pahlawan nasional Indonesia. Kupesan padanya agar dibawakan buku-buku biografi dari Ahmad Yani; Adam Malik; Soekarno; Syahrir; dan Bung Hatta. Benar saja, besoknya ia bawa kumpulan buku yang aku minta. Betapa girang hati ini mendapatkan buku-buku yang, bahkan, kutaksir anak-anak lain seusiaku pasti belum pernah membacanya. Bukunya tebal-tebal, ratusan halaman. Sehabis kulahap buku-buku itu, dibawakannya lagi aku buku yang lain. Ya, aku sangat berhutang budi padanya. Berkat bawaan buku-buku itu, kegemaranku membaca kisah biografi tokoh terkenal terus berlanjut hingga sekarang.

Aku masih ingat, saking sayangnya padaku, semasa pacaran dengan suaminya sekarang, lantaran butuh orang ketiga, maka sepupuku ini mengajaku nonton film. Pacarnya pun mengajak adiknya. Jadilah kami berempat menonton film “Pengkhianatan G30S/PKI”. Film ini belum pernah tayang di televisi, hanya tayang di bioskop. Kami nonton di Adi Theater, di Blok A. Ini adalah pertama kalinya aku tahu gedung bioskop. Sehabis nonton, karena pacarnya orang Padang, kami makan sate padang di parkiran depan pasar.

Oh ya, kehidupan dan kisah asmara sepupuku ini bagaikan kisah Galih dan Ratna di film tahun 80-an, yang dibintangi oleh Rano Karno dan Yessy Gusman. Kisah asmara sepupuku ini tidak direstui oleh nenek kami. Nenek menetang keras hubungan mereka. Lantaran tak peroleh restu, mereka pun seringan back street. Namun cinta tak menghalangi mereka untuk meyakinkan nenek. Nenek selalu bilang: “Kenapa sih loe suka ama Padang? Padahal anak sini yang demen loe kan banyak?” Bagi kami orang Betawi kalau bisa sebaiknya menikah dengan orang yang sesuku atau paling tidak Jawa atau Sunda tak masalah. Sebaliknya, jangan orang seberang (Sumatra/Sulawesi, dsb). Saat itu di lingkungan kami ada ledekan kalau orang Padang itu bengkok, entah apa-nya yang bengkok, heheh…

Pokoknya gw gak demen dah ama padang”. Kalimat itu sering diucapkan nenek ketika marah dan meledek sepupuku. Sepupuku menghadapinya dengan sabar. Kadang kala ia memberi argument kepada nenek bahwa jangan melihat seseorang dari suku-nya. “Lha nenek aja kawin ama china”, begitu kerap ia men-skak neneknya. Mendengar ucapan itu, nenek nyaris tak berkutik, KO. Beliau nyerah. Mungkin karena si Padang ini pendekatannya nyaris sempurna kepada mami dan nenek, akhirnya beliau merestui hubungan antara sepupuku dan si Uda. Mereka pun menikah. Tanda nenek merestui hubungan itu, beliau pun menggelar pesta yang meriah bagi mereka, pesta 2 hari 2 malam.

Begitulah, waktu terus bergulir. Tampaknya dewi fortuna masih terus melingkupi sepupuku ini. Kariernya terus menapak. Sejujurnya, menurut penilaianku, sepupuku ini biasa-biasa saja. Orangnya pintar sih, tapi tak pintar-pintar amat. Standar lah. Ibaratnya, bila ada requirement atau persyaratan, ia sekadar masuk syarat saja. Meski demikian, seperti yang pernah diucapkan Oom Ded padaku bahwa orang pintar akan kalah dengan orang yang beruntung. Nah, sepupuku ini ditakdirkan sebagai orang yang beruntung. Mau bukti? Mari kita runut satu persatu:

Pertama; Setamat SMA, bila anak-anak yang lain melanjutkan kuliah, ia memutuskan untuk bekerja ketimbang kuliah. Bekerja pun ditawarkan orang, tanpa sengaja. Ajukan lamaran, langsung diterima bekerja. Kedua; saat berkarier dan menjadi PNS, ia mengambil S2 di UI, itupun dengan biaya talangan alias minjam sana-sini sebelum diganti oleh Negara. Nah, teman S2 sepupuku ini adalah seorang menteri di tempatnya bekerja. Maka selepas S2, lantaran temen sekelas sang menteri, sepupuku ini langsung mendapat promosi menjadi pejabat eselon 4. Lepas dari sana, tampaknya keberuntungan tak mau lepas darinya, kariernya terus meroket hingga mencapai level eselon 2. Itu semua terjadi, disamping tentunya dengan sedikit kepintaran plus dibumbui dengan keberuntungan, maka klop sudah pencapaian sepupuku ini. Ia kini menjabat direktur di kantor yang cukup prestisius.

Kini, dengan jabatan sekelas Wakil Walikota di Jakarta, tampaknya mimpi Wak Iyom telah digenapkan oleh sepupuku ini. Seperti Wak Iyom yang berkarier dari bawah, Ia menapaki kariernya setapak demi setapak hingga menjadi orang dan dipanggil “Ibu” oleh anak buahnya.  Oh ya, ngomong-ngomong siapa sih sepupuku itu? Penasaran…? Tampaknya ia hanya tertawa membaca kisahku ini. Sudahlah tak usah diungkap, toh para sepupuku yang lain tentu tahu siapa yang aku maksud, heheh


Tidak ada komentar:

Posting Komentar