Senin, 03 April 2017

Tentang Sepupuku (2)

Wak Iyom dan Anaknya.
Entah aku harus memanggil apa kepada kakak mamiku ini. Dalam kehidupanku, tak sekalipun aku pernah menyapa namanya. Bila uwak-uwak-ku yang lain aku panggil dengan sapaan Ncang Amin dan Nyak Mun, tidak dengan kakak mamiku ini. Ingatanku tentangnya hanya sedikit, bahkan nyaris tak ada. Pasalnya, saat beliau mangkat, aku masih berusia puluhan bulan, belum banyak interaksi yang aku lakukan dengannya. Nah, kali ini aku ingin menceritakan kisah tentangnya dan anak-anaknya secara berseri. Untuk mudahnya, maka aku panggil beliau Wak Iyom, sapaan untuk Romlah, kakak mamiku.

Semasa mudanya, hubungan mamiku dan Wak Iyom sangat dekat. Maklum, Wak Iyom adalah kakak langsung mamiku, setelah Ncang Amin, lalu Nyak Mun. Saking dekatnya hubungan mereka, setelah Wak Iyom wafat, cincin emas bertahtakan berlian(?) milik Wak Iyom dikenakan oleh mamiku. Anak-anak Wak Iyom tak ada yang tahu bila cincin ibu mereka dipakai oleh mamiku. Baru ketika anak-anak Wak Iyom dewasa dan berumah tangga, ibuku membuka rahasia kepada mereka bahwa cincin yang selama ini ia kenakan adalah milik Wak Iyom. Oleh mamiku, cincin itu di alih (estafet) kan kepada Sri, anak Wak Iyom nomor tiga. Tentu mamiku mempunyai pertimbangan tertentu mengapa cincin emas itu diberikan kepada Sri dan bukan kepada Fauziah atau Lily.

Wak Iyom meninggal di tahun 1978. Masih berusia muda, sekitar 35-an. Beliau wafat sebab sakit yang dideritanya. Sejenis tumor/kanker, aku pun tak tahu pasti, namun penyakit itu cukup ganas untuk ukuran penyakit di kampungku saat itu yang kebanyakan kena penyakit asma dan cika. Berulang kali beliau keluar masuk rumah sakit untuk dioperasi. Selepas operasi, bukannya sembuh, namun tumor itu berpindah pindah dan terakhir ada di kepala, sampai-sampai kepala Wak Iyom di gunduli, dan memakai wig. Aku pernah melihat wig-nya. Aku masih sempat ingat dan menyaksikan saat-saat menjelang kematiannya, ketika ia tergolek lemah di dipan kamarnya yang temaram. Mamiku yang dekat dengannya tak sampai hati melihatnya..

Karena masih kecil, tak ada bayangan sedikitpun yang terlintas di benakku mengenai sosok dan profile Wak Iyom, apakah ia ramah, baik, ataukah bagaimana. Meski secara fisik dan psikologis aku tak dekat dengannya, namun saban tahun aku tak pernah melewatkan untuk menziarahi makamnya. Bersama anak-anakku, Razi dan Ranza, aku kenalkan mereka dengan salah satu neneknya. Tatkala bersimpuh dimakamnya, kedua anak-anakku tertawa dan tersenyum dengan riangnya. Tampaknya mereka tahu bahwa jasad yang bersemayam dibawah sana, semasa hidupnya adalah pribadi yang menyenangkan, ramah dan baik bagi anak dan para keponakannya. Terharu aku menyaksikan tingkah polah anak-anakku di pusara Wak Iyom.

Mami, seperti juga Ncang Amin dan Nyak Mun pasti sangat dekat dengan semua ponakannya. Meski semuanya dekat, namun bagi mamiku, ada salah anak Wak Iyom yang paling ia sayang. Saking sayangnya, bahkan sayangnya menyamai sayangnya mami kepada kami, anak-anaknya. Ya, sepupuku ini pantas diberi kasih sayang lebih lantaran kisah pilu yang sering menerpanya. Ia ditinggal mati ibunya, Wak Iyom saat usianya belum genap 4 lebaran. Ia masih terlalu kecil untuk dipaksa berpisah dari belaian dan kasih sayang seorang ibu. Maka, wajar bila mamiku menaruh perhatian yang lebih padanya lantaran dari anak-anaknya Wak Iyom, ia yang paling kecil, dan masih sangat butuh perhatian dan lindungan seorang ibu.

Sepupuku ini memang terlemah diantara saudara-saudarnya yang lain. Bukan itu saja, waktu kecil, bahkan hingga saat ini, ia masih sering sakit-sakitan, badannya ringkih, mungkin karena kurang asupan ASI dari ibunya, dulu. Sepeninggal ibunya, tanggung jawab kepengasuhan sepupuku ini diemban oleh nenek kami. Nah, mamiku, lantaran anak bontot, sangat dekat dengan ibunya (nenek). Meski sepupuku ini tinggal dengan nenekku, namun hampir saban hari ia main ke rumah kami. Begitulah, mamiku menjadi ibu baginya. Mengenang masa-masa itu, wajar bila tak hanya mami yang iba padanya, saudara-saudara yang lainpun demikian adanya.

Dan, bila kedua kakaknya yang lain masih beruntung lantaran masih mempunyai ayah, maka sepupuku ini tak beribu dan berayah sejak ia berusia enam belas tahun. Ayahnya, Suhaimih, adalah orang yang berpangaruh di Kelurahan Bangka. Orang-orang menyebutnya Mandor Imih. Saat itu, bila kita menjumpai kesulitan di kelurahan/kecamatan lantaran birokrasi yang ngejelimet, bilang saja kalau kita adalah keponakannya Mandor Imih, dijamin urusan di pemerintahan lancar.

Semasa kecil --disamping dengan hafiz-- aku dan sepupuku ini sering main bareng. Dari cucu-cucunya Kong Muti, hanya kami bertiga; Aku, ia, dan Suhartini (Tini) Naseh, yang satu lating. Di SD, bertiga kami main bersama-sama. Namun bila selapas SD aku dan Tini masih bersama hingga ke Pesantren Darunnajah, ia menyempal. Nah, barulah ketika tamat Tsanawiyah (SMP), aku berpisah dengan Tini dan kembali bersamanya di Jombang, Jawa Timur.

Banyak kisah menarik yang terjadi padanya sewaktu di Jombang. Ia seringkali kerasukan mahluk halus. Aku kasihan padanya, sudah yatim piatu, ehh sering pula diganggu oleh jin. Tak terbilang berapa kali ia kesurupan. Dan, sudah berapa kali pula guru agama kami mengusir jin itu, namun hari ini lepas, minggu besok sepupuku ini kembali kesurupan lagi. Bila ia kesurupan di kelas, ia meronta-ronta tak jelas, oleh teman-teman, tubuhnya digotong ke perpustakaan, lalu dipanggillah ustaz. Setelah jin itu berhasil dikeluarkan, badannya lemas, mukanya pucat pasi. Tak tega aku melihatnya. Bisa berhari-hari ia tak masuk kelas lantaran harus diinapkan di rumah guruku yang ahi mengusir jin itu.  

Setamat dari Jombang, kami kembali bersama. Aku di Unpad, ia, lantaran tak secerdasku, heheh.. nyangkut di IKIP Bandung. Jadilah minimal saban bulan bila kebetulan aku main ke Lembang, pulangnya pasti mampir ke kost-annya di kawasan Geger Kalong. Bukan karena aku rindu padanya, namun aku sedang memantau kali-kali aja ada teman kost-an-nya atau teman kampusnya yang bisa dijadiin gebetan. Sayangnya, baik di kost-an maupun teman-teman kampusnya, tak ada satupun teman wanitanya yang kutaksir. Semua temannya, wajahnya, 11 12 dengannya. Apes..


Bagaikan kisah ratapan anak tiri di film-film jadul tahun 80-an, begitulah sedikit cerita tentang kehidupan sepupuku. Banyak duka ketimbang tawa lantaran ia tak berayah dan beribu. Namun, yang aku salut dan berikan ajungan jempol padanya, meski yatim piatu, ia tetap tabah menjalani kehidupan ini. Ia tidak terpuruk meratapi nasib namun menghadapi hidup dengan tegar dan kokoh. Kini ia bahagia dengan suami dan anak-anaknya serta saudara-saudara lain yang selalu menyayangi dan mengasihinya. Oh ya, ngomong-ngomong siapa sih sepupuku itu? Penasaran…? Tampaknya ia hanya menangis sedih membaca kisahku ini. Kisahku ini mungkin membangkitkan kesedihan dan duka yang mendalam baginya. Ia mungkin teringat ibunya yang telah lama tiada namun bahagia di sana. Sudahlah hapuskan air matamu, duhai sepupuku. Jadikan kisah ini sebagai dongeng pengantar tidur bagi anak-anak mu. heheh

1 komentar:

  1. Meski hanya sebuah oretan pendek sebuah ingatan..namun ..cerita ini nyatanya mampu membuat gw menghabiskan tissue berlembar lembar setiap kali gw membacanya.. thanks my bloved brother..setidaknya lo telah membuat gw jadi tau tentang isi kepala lo mengenai gw...hiks..gw tersanjung sangat qi..😢😍😢

    BalasHapus