Wak
Iyom dan Anaknya.
Entah
aku harus memanggil apa kepada kakak mamiku ini. Dalam kehidupanku, tak
sekalipun aku pernah menyapa namanya. Bila uwak-uwak-ku yang lain aku panggil
dengan sapaan Ncang Amin dan Nyak Mun, tidak dengan kakak mamiku ini. Ingatanku
tentangnya hanya sedikit, bahkan nyaris tak ada. Pasalnya, saat beliau mangkat,
aku masih berusia puluhan bulan, belum banyak interaksi yang aku lakukan
dengannya. Nah, kali ini aku ingin menceritakan kisah tentangnya dan anak-anaknya
secara berseri. Untuk mudahnya, maka aku panggil beliau Wak Iyom, sapaan untuk
Romlah, kakak mamiku.
Semasa
mudanya, hubungan mamiku dan Wak Iyom sangat dekat. Maklum, Wak Iyom adalah
kakak langsung mamiku, setelah Ncang Amin, lalu Nyak Mun. Saking dekatnya
hubungan mereka, setelah Wak Iyom wafat, cincin emas bertahtakan berlian(?)
milik Wak Iyom dikenakan oleh mamiku. Anak-anak Wak Iyom tak ada yang tahu bila
cincin ibu mereka dipakai oleh mamiku. Baru ketika anak-anak Wak Iyom dewasa
dan berumah tangga, ibuku membuka rahasia kepada mereka bahwa cincin yang
selama ini ia kenakan adalah milik Wak Iyom. Oleh mamiku, cincin itu di alih
(estafet) kan kepada Sri, anak Wak Iyom nomor tiga. Tentu mamiku mempunyai
pertimbangan tertentu mengapa cincin emas itu diberikan kepada Sri dan bukan
kepada Fauziah atau Lily.
Wak
Iyom meninggal di tahun 1978. Masih berusia muda, sekitar 35-an. Beliau wafat
sebab sakit yang dideritanya. Sejenis tumor/kanker, aku pun tak tahu pasti,
namun penyakit itu cukup ganas untuk ukuran penyakit di kampungku saat itu yang
kebanyakan kena penyakit asma dan cika. Berulang kali beliau keluar masuk rumah
sakit untuk dioperasi. Selepas operasi, bukannya sembuh, namun tumor itu berpindah
pindah dan terakhir ada di kepala, sampai-sampai kepala Wak Iyom di gunduli,
dan memakai wig. Aku pernah melihat wig-nya. Aku masih sempat ingat dan menyaksikan
saat-saat menjelang kematiannya, ketika ia tergolek lemah di dipan kamarnya
yang temaram. Mamiku yang dekat dengannya tak sampai hati melihatnya..
Karena
masih kecil, tak ada bayangan sedikitpun yang terlintas di benakku mengenai sosok
dan profile Wak Iyom, apakah ia ramah, baik, ataukah bagaimana. Meski secara
fisik dan psikologis aku tak dekat dengannya, namun saban tahun aku tak pernah melewatkan untuk menziarahi makamnya.
Bersama anak-anakku, Razi dan Ranza, aku kenalkan mereka dengan salah satu
neneknya. Tatkala bersimpuh dimakamnya, kedua anak-anakku tertawa dan tersenyum
dengan riangnya. Tampaknya mereka tahu bahwa jasad yang bersemayam dibawah sana,
semasa hidupnya adalah pribadi yang menyenangkan, ramah dan baik bagi anak dan
para keponakannya. Terharu aku menyaksikan tingkah polah anak-anakku di pusara
Wak Iyom.
Mami,
seperti juga Ncang Amin dan Nyak Mun pasti sangat dekat dengan semua
ponakannya. Meski semuanya dekat, namun bagi mamiku, ada salah anak Wak Iyom
yang paling ia sayang. Saking sayangnya, bahkan sayangnya menyamai sayangnya
mami kepada kami, anak-anaknya. Ya, sepupuku ini pantas diberi kasih sayang
lebih lantaran kisah pilu yang sering menerpanya. Ia ditinggal mati ibunya, Wak
Iyom saat usianya belum genap 4 lebaran. Ia masih terlalu kecil untuk dipaksa
berpisah dari belaian dan kasih sayang seorang ibu. Maka, wajar bila mamiku
menaruh perhatian yang lebih padanya lantaran dari anak-anaknya Wak Iyom, ia
yang paling kecil, dan masih sangat butuh perhatian dan lindungan seorang ibu.
Sepupuku
ini memang terlemah diantara saudara-saudarnya yang lain. Bukan itu saja, waktu
kecil, bahkan hingga saat ini, ia masih sering sakit-sakitan, badannya ringkih,
mungkin karena kurang asupan ASI dari ibunya, dulu. Sepeninggal ibunya,
tanggung jawab kepengasuhan sepupuku ini diemban oleh nenek kami. Nah, mamiku,
lantaran anak bontot, sangat dekat dengan ibunya (nenek). Meski sepupuku ini tinggal
dengan nenekku, namun hampir saban hari ia main ke rumah kami. Begitulah,
mamiku menjadi ibu baginya. Mengenang masa-masa itu, wajar bila tak hanya mami
yang iba padanya, saudara-saudara yang lainpun demikian adanya.
Dan,
bila kedua kakaknya yang lain masih beruntung lantaran masih mempunyai ayah,
maka sepupuku ini tak beribu dan berayah sejak ia berusia enam belas tahun. Ayahnya,
Suhaimih, adalah orang yang berpangaruh di Kelurahan Bangka. Orang-orang
menyebutnya Mandor Imih. Saat itu, bila kita menjumpai kesulitan di
kelurahan/kecamatan lantaran birokrasi yang ngejelimet,
bilang saja kalau kita adalah keponakannya Mandor Imih, dijamin urusan di pemerintahan
lancar.
Semasa
kecil --disamping dengan hafiz-- aku dan sepupuku ini sering main bareng. Dari
cucu-cucunya Kong Muti, hanya kami bertiga; Aku, ia, dan Suhartini (Tini) Naseh,
yang satu lating. Di SD, bertiga kami main bersama-sama. Namun bila selapas SD
aku dan Tini masih bersama hingga ke Pesantren Darunnajah, ia menyempal. Nah, barulah
ketika tamat Tsanawiyah (SMP), aku berpisah dengan Tini dan kembali bersamanya
di Jombang, Jawa Timur.
Banyak
kisah menarik yang terjadi padanya sewaktu di Jombang. Ia seringkali kerasukan
mahluk halus. Aku kasihan padanya, sudah yatim piatu, ehh sering pula diganggu oleh jin. Tak terbilang berapa kali ia
kesurupan. Dan, sudah berapa kali pula guru agama kami mengusir jin itu, namun
hari ini lepas, minggu besok sepupuku ini kembali kesurupan lagi. Bila ia
kesurupan di kelas, ia meronta-ronta tak jelas, oleh teman-teman, tubuhnya
digotong ke perpustakaan, lalu dipanggillah ustaz. Setelah jin itu berhasil
dikeluarkan, badannya lemas, mukanya pucat pasi. Tak tega aku melihatnya. Bisa
berhari-hari ia tak masuk kelas lantaran harus diinapkan di rumah guruku yang
ahi mengusir jin itu.
Setamat
dari Jombang, kami kembali bersama. Aku di Unpad, ia, lantaran tak secerdasku, heheh.. nyangkut di IKIP Bandung.
Jadilah minimal saban bulan bila
kebetulan aku main ke Lembang, pulangnya pasti mampir ke kost-annya di kawasan
Geger Kalong. Bukan karena aku rindu padanya, namun aku sedang memantau kali-kali aja ada teman kost-an-nya atau
teman kampusnya yang bisa dijadiin
gebetan. Sayangnya, baik di kost-an maupun teman-teman kampusnya, tak ada
satupun teman wanitanya yang kutaksir. Semua temannya, wajahnya, 11 12
dengannya. Apes..
Bagaikan
kisah ratapan anak tiri di film-film jadul
tahun 80-an, begitulah sedikit cerita tentang kehidupan sepupuku. Banyak duka
ketimbang tawa lantaran ia tak berayah dan beribu. Namun, yang aku salut dan
berikan ajungan jempol padanya, meski yatim piatu, ia tetap tabah menjalani
kehidupan ini. Ia tidak terpuruk meratapi nasib namun menghadapi hidup dengan
tegar dan kokoh. Kini ia bahagia dengan suami dan anak-anaknya serta
saudara-saudara lain yang selalu menyayangi dan mengasihinya. Oh ya, ngomong-ngomong siapa sih sepupuku itu?
Penasaran…? Tampaknya ia hanya menangis sedih membaca kisahku ini. Kisahku ini
mungkin membangkitkan kesedihan dan duka yang mendalam baginya. Ia mungkin
teringat ibunya yang telah lama tiada namun bahagia di sana. Sudahlah hapuskan
air matamu, duhai sepupuku. Jadikan kisah ini sebagai dongeng pengantar tidur
bagi anak-anak mu. heheh…
Meski hanya sebuah oretan pendek sebuah ingatan..namun ..cerita ini nyatanya mampu membuat gw menghabiskan tissue berlembar lembar setiap kali gw membacanya.. thanks my bloved brother..setidaknya lo telah membuat gw jadi tau tentang isi kepala lo mengenai gw...hiks..gw tersanjung sangat qi..😢😍😢
BalasHapus