Berbeda dengan ayahnya yang tinggi, perawakannya
gempal, alias pendek dan sedikit gemuk. Bila berjabat dan mencium tangannya,
akan terasa basah lantaran keringat yang membasahi tangannya. Kalau ia
berjalan, kadang meludah, mengeluaran reak. Bila anak-anak sekarang tak tahu
gambaran tentangnya, maka lihatlah ke putra pertamanya. Gesture dan tindak
tanduknya persis diturunkan oleh Fachruroji. Begitulah sekilas gambaran
Madamin, panggilan ringkas orang-orang Kampung Kebon, Kemang, pada uwak-ku yang
bernama Muhammad Amin. Lantaran beliau abang dari mamiku, aku biasa memanggilnya
Ncang Amin.
Ia sudah yatim di usia yang belum akil baligh, masih kanak-kanak. Ayahnya wafat, hilang tanpa diketahui dimana jasadnya. Kehilangan figure ayah tentu sangat membekas dalam jiwa dan kepribadian Ncang
Amin. Meski ibunya menikah dengan lelaki lain, seperti yang banyak dilakukan
janda Betawi saat itu, namun figur
ayah kandung
tentu berbeda dengan ayah tiri. Dan Ncang Amin beserta adik-adiknya tentu
merasakan itu.
Lantaran anak tertua, beliau dipaksa untuk dapat
mengayomi adik-adiknya. Ncang Amin menurutku sukses bertindak sebagai seorang
abang yang baik. Ia patut dijadikan prototype
bagaimana seharusnya seorang abang bertindak kepada adik-adiknya. Beliau bisa
diandalkan oleh adik-adiknya. Saat mamiku butuh uang misalnya, Ncang Amin dapat
meminjamkannya. Tak hanya itu, saat mamiku baru saja melahirkan dan air susu
(ASI) nya sedikit, Ncang Amin dengan sigap menyuruhku agar saban pagi mengambil
susu di rumahnya. Di rumahnya memang banyak sapi perah yang dipelihara.
Karena keterbatasan ekonomi keluarga akibat ditinggal
mati suaminya, nenek-ku harus dapat survive
menghidupi anak-anaknya bahkan hingga membiayai sekolah mereka, meskipun tak
peroleh pendidikan yang memadai. Di keluarga nenek-ku hanya Ncang Amin lah yang memperoleh pendidikan lebih
tinggi ketimbang adik-adiknya. Bila yang lain hanya sampai tamat SD, maka Ncang
Amin melaju hingga hanya tamat pada tingkatan Tsanawiyah (SLTP). Disamping
karena faktor ekonomi, waktu itu pendidikan tinggi (formal) memang kurang
menjadi prioritas bagi masyarakat Betawi. Bagi orang tua, yang penting, si anak
ahli dan pintar masalah agama. Sebagai anak lelaki satu-satunya di keluarga
itu, ia diharapkan menjadi orang yang shaleh.
Sama seperti pemuda Kemang kebanyakan, Ncang Amin
berprofesi sebagai pemerah susu. Ada banyak sapi yang ia pelihara untuk diambil
susunya. Untuk memberi pakan sapi, ia bahkan sengaja membeli mobil kijang bak
terbuka untuk mengangkut rumput. Ia cukup totalitas dalam menekuni profesinya
sebagai pemerah sapi. Mungkin karena lelah mengurusi sapi-sapi-nya ia pernah
harus dioperasi lantaran penyakit turun berok-nya. Waktu itu kami bersama Wak
Hong Nio sempat menjenguknya ketika ia dirawat di RS Ridwan Meuraksa, di
Kwitang.
Sayangnya, ia tak cukup kuat untuk terus bergelut
dengan dunia persapian. Padahal, dari usaha ini ia sanggup menyekolahkan
delapan orang anaknya hingga sarjana. Selepas operasi, di saat usianya beranjak
tua, ia memutuskan pensiun dari usaha pemerahan sapi. Ia beralih untuk buka
toko di depan rumahnya, menjual aneka sembako dan kebutuhan hidup. Ia menjadi
pedagang dan penjaga warung, seperti yang dilakukan oleh paman dari pihak
ayahnya.
Semasa hidupnya, Ncang Amin sering sekali bertandang ke rumah. Hampir tak mengenal waktu
beliau main ke rumah. Kadang malam, siang ataupun pagi, selepas shubuh.
Seringnya sih pagi, sekalian jalan-jalan olahraga pagi. Beragam obrolan yang
dibicarakan oleh ayahku. Mulai dari urusan umat hingga politik. Buyaku lah yang kerap menjadi
partner bicaranya.
Aku sangat dekat dengan Ncang Amin, hampir saban hari
kita bertemu. Selepas sekolah, aku kadang bertandang ke rumah Ncangku, sekadar
numpang minum selepas main bola di lapangan dekat rumahnya. Kalau beruntung, kadang
aku bisa ikut pergi nengokin Kak
Mameh yang nyantren ke Jatiwaringin.
Dengan mobil toyoto kodok bak terbuka, aku duduk dibelakang. Kadang juga aku
ikut nyari rumput di sekitar warung buncit. Saat itu jalan-jalan naek mobil di
bak terbuka adalah hiburan yang cukup menyenangkan bagi anak kecil seusiaku. Lain
waktu ketika beliau datang ke rumah selepas magrib atau sore hari kadang kala
aku ngintilin ikut kemana ia pergi.
Pernah aku ikut ke rumah wak ku yang lain di Kebayoran Lama. Aku, yang dasarnya
memang senang dibonceng motor vespa-nya, minta ikut. Kebetulan Ncang Amin
sendirian dan mengajakku ikut. Mungkin ia butuh teman jalan.
Saban minggu atau hari libur tak pernah sekalipun aku
absen bermain ke rumahnya. Nah, tiap makan siang, entah masakan ini menjadi kegemaran
Ncang Amin atau kebetulan saja, selalu yang disuguhkan dan tersaji dimeja makan
adalah sayur kuning daging iga atau sayur tangkar. Kalaupun bukan sayur
tangkar, biasanya adalah sayur goreng asem.
Belum terlalu tua ia berpulang ke rahmatullah. Mungkin
belum genap 60 tahun. Seminggu sebelum wafat, aku masih sempat menemuinnya di
rumah. Meski masih sakit, tampak beliau agak segaran. Kami (aku, buyah, dan
ibu) dijamunya dengan ayam bakar -- yang dijual dekat Marinir Cilandak --pemberian
salah satu ponakannya yang lain. Dalam pertemuan itu selalu terselip obrolan
betapa ia sangat merindukan salah satu anaknya yang belum juga tiba ke rumah.
“Salamah kapan dateng,..? tanyanya selalu pada orang
rumah.
Ya putrinya ini boleh dibilang putri kesayangan. Ia ditunggu-tunggu
lantaran tinggalnya tidak di Jakarta, tapi di Pendopo, Sumatera Selatan.
Tatkala putrinya tiba, tak berapa lama wafatlah ia menyusul ayah, ibu, adik,
dan kakeknya. Innalilahi wa inna ilayhi
rojiun… Begitulah sekelumit kisah tentang Ncangku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar