Kamis, 06 April 2017

Tentang Uwak-ku (1)

Berbeda dengan ayahnya yang tinggi, perawakannya gempal, alias pendek dan sedikit gemuk. Bila berjabat dan mencium tangannya, akan terasa basah lantaran keringat yang membasahi tangannya. Kalau ia berjalan, kadang meludah, mengeluaran reak. Bila anak-anak sekarang tak tahu gambaran tentangnya, maka lihatlah ke putra pertamanya. Gesture dan tindak tanduknya persis diturunkan oleh Fachruroji. Begitulah sekilas gambaran Madamin, panggilan ringkas orang-orang Kampung Kebon, Kemang, pada uwak-ku yang bernama Muhammad Amin. Lantaran beliau abang dari mamiku, aku biasa memanggilnya Ncang Amin.

Ia sudah yatim di usia yang belum akil baligh, masih kanak-kanak. Ayahnya wafat, hilang tanpa diketahui dimana jasadnya. Kehilangan figure ayah tentu sangat membekas dalam jiwa dan kepribadian Ncang Amin. Meski ibunya menikah dengan lelaki lain, seperti yang banyak dilakukan janda Betawi saat itu, namun figur ayah kandung tentu berbeda dengan ayah tiri. Dan Ncang Amin beserta adik-adiknya tentu merasakan itu.

Lantaran anak tertua, beliau dipaksa untuk dapat mengayomi adik-adiknya. Ncang Amin menurutku sukses bertindak sebagai seorang abang yang baik. Ia patut dijadikan prototype bagaimana seharusnya seorang abang bertindak kepada adik-adiknya. Beliau bisa diandalkan oleh adik-adiknya. Saat mamiku butuh uang misalnya, Ncang Amin dapat meminjamkannya. Tak hanya itu, saat mamiku baru saja melahirkan dan air susu (ASI) nya sedikit, Ncang Amin dengan sigap menyuruhku agar saban pagi mengambil susu di rumahnya. Di rumahnya memang banyak sapi perah yang dipelihara.

Karena keterbatasan ekonomi keluarga akibat ditinggal mati suaminya, nenek-ku harus dapat survive menghidupi anak-anaknya bahkan hingga membiayai sekolah mereka, meskipun tak peroleh pendidikan yang memadai. Di keluarga nenek-ku hanya Ncang Amin lah yang memperoleh pendidikan lebih tinggi ketimbang adik-adiknya. Bila yang lain hanya sampai tamat SD, maka Ncang Amin melaju hingga hanya tamat pada tingkatan Tsanawiyah (SLTP). Disamping karena faktor ekonomi, waktu itu pendidikan tinggi (formal) memang kurang menjadi prioritas bagi masyarakat Betawi. Bagi orang tua, yang penting, si anak ahli dan pintar masalah agama. Sebagai anak lelaki satu-satunya di keluarga itu, ia diharapkan menjadi orang yang shaleh.

Sama seperti pemuda Kemang kebanyakan, Ncang Amin berprofesi sebagai pemerah susu. Ada banyak sapi yang ia pelihara untuk diambil susunya. Untuk memberi pakan sapi, ia bahkan sengaja membeli mobil kijang bak terbuka untuk mengangkut rumput. Ia cukup totalitas dalam menekuni profesinya sebagai pemerah sapi. Mungkin karena lelah mengurusi sapi-sapi-nya ia pernah harus dioperasi lantaran penyakit turun berok-nya. Waktu itu kami bersama Wak Hong Nio sempat menjenguknya ketika ia dirawat di RS Ridwan Meuraksa, di Kwitang.

Sayangnya, ia tak cukup kuat untuk terus bergelut dengan dunia persapian. Padahal, dari usaha ini ia sanggup menyekolahkan delapan orang anaknya hingga sarjana. Selepas operasi, di saat usianya beranjak tua, ia memutuskan pensiun dari usaha pemerahan sapi. Ia beralih untuk buka toko di depan rumahnya, menjual aneka sembako dan kebutuhan hidup. Ia menjadi pedagang dan penjaga warung, seperti yang dilakukan oleh paman dari pihak ayahnya.

Semasa hidupnya, Ncang Amin sering sekali bertandang ke rumah. Hampir tak mengenal waktu beliau main ke rumah. Kadang malam, siang ataupun pagi, selepas shubuh. Seringnya sih pagi, sekalian jalan-jalan olahraga pagi. Beragam obrolan yang dibicarakan oleh ayahku. Mulai dari urusan umat hingga politik. Buyaku lah yang kerap menjadi partner bicaranya.

Aku sangat dekat dengan Ncang Amin, hampir saban hari kita bertemu. Selepas sekolah, aku kadang bertandang ke rumah Ncangku, sekadar numpang minum selepas main bola di lapangan dekat rumahnya. Kalau beruntung, kadang aku bisa ikut pergi nengokin Kak Mameh yang nyantren ke Jatiwaringin. Dengan mobil toyoto kodok bak terbuka, aku duduk dibelakang. Kadang juga aku ikut nyari rumput di sekitar warung buncit. Saat itu jalan-jalan naek mobil di bak terbuka adalah hiburan yang cukup menyenangkan bagi anak kecil seusiaku. Lain waktu ketika beliau datang ke rumah selepas magrib atau sore hari kadang kala aku ngintilin ikut kemana ia pergi. Pernah aku ikut ke rumah wak ku yang lain di Kebayoran Lama. Aku, yang dasarnya memang senang dibonceng motor vespa-nya, minta ikut. Kebetulan Ncang Amin sendirian dan mengajakku ikut. Mungkin ia butuh teman jalan.

Saban minggu atau hari libur tak pernah sekalipun aku absen bermain ke rumahnya. Nah, tiap makan siang, entah masakan ini menjadi kegemaran Ncang Amin atau kebetulan saja, selalu yang disuguhkan dan tersaji dimeja makan adalah sayur kuning daging iga atau sayur tangkar. Kalaupun bukan sayur tangkar, biasanya adalah sayur goreng asem. 

Belum terlalu tua ia berpulang ke rahmatullah. Mungkin belum genap 60 tahun. Seminggu sebelum wafat, aku masih sempat menemuinnya di rumah. Meski masih sakit, tampak beliau agak segaran. Kami (aku, buyah, dan ibu) dijamunya dengan ayam bakar -- yang dijual dekat Marinir Cilandak --pemberian salah satu ponakannya yang lain. Dalam pertemuan itu selalu terselip obrolan betapa ia sangat merindukan salah satu anaknya yang belum juga tiba ke rumah.
“Salamah kapan dateng,..? tanyanya selalu pada orang rumah.
Ya putrinya ini boleh dibilang putri kesayangan. Ia ditunggu-tunggu lantaran tinggalnya tidak di Jakarta, tapi di Pendopo, Sumatera Selatan. Tatkala putrinya tiba, tak berapa lama wafatlah ia menyusul ayah, ibu, adik, dan kakeknya. Innalilahi wa inna ilayhi rojiun… Begitulah sekelumit kisah tentang Ncangku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar